Oleh : Dr.Fatkhurohman,SH.,MH

Menarik untuk disimak berita memprihatinkan pada harian Kompas Senin tanggal 18 April 2016, dimana Kementrian Dalam Negeri membatalkan 920 peraturan bermasalah, mayoritas berupa peraturan derah menghambat investasi dan menciptakan intoleransi dan diskrimasi. Kepmendagri bahkan menargetkan 3000 perda serupa dibatalkan pada juni 2016.

Sebelumnya masih dalam harian yang sama , pada hari  Jumat,tanggal  24 Agustus 2012 laporan Kemendagri diawal Tahun 2011 menunjukan bahwa sejak tahun 2002-2009 Kemendagri telah membatalkan total 1.878 perda pajak dan retribusi daerah. Ditahun 2010 Mendagri telah melakukan pengkajian terhadap 2400 perda dari 3000 perda. Hasil kajian menunjukan 329 perda dinyatakan bermasalah. Dikatakan bermasalah karena bertentangan dengan peraturan-peraturan di atasnya. Selanjutnya masih dalam  laporan Kepmendagri  bahwa sepanjang  Tahun 2009-2012 Kemendagri telah mengevaluasi sekitar 13.000 perda dimana sebanyak 824 perda telah diklasifikasi dan dinyatakan salah karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya, bertentangan dengan kepentingan umum, atau mengganggu ketentraman dan ketertiban.

Batas-batas  pengaturan

Dari kenyataan ini   pertanyaannya adalah mengapa hal ini selalu terulang dan terus  terulang. Pada hal menurut ketentuan regulasi hal ini seharusnya tidak akan pernah terjadi, karena peraturan perundang-undangan secara preventif sudah memberikan rambu-rambu yang sangat jelas tegas baik pada proses pembuatan maupun sampai dengan tahap implementasi. Lahirnya ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memayungi proses pembuatan  peraturan daerah dimana di dalamnya sangat menegaskan ketentuan pembuatan regulasi yang baik dan benar baik pada  baik  tataran azas dan tataran norma. Pada Pasal  5 disebutkan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan   keterbukaan.

Sedangkan pada tataran norma hukum  adalah seperti diatur dalam  Pasal 249 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Peraturan daerah   dilarang  bertentangan  dengan ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang  lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

Tidak berhenti disitu saja, dari 2 (dua) tataran tersebut masih lagi dilengkapi dengan pintu terakhir yang bernama evaluasi sebelum raperda disyahkan menjadi sebuah perda seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Disebutkan pada pasal 251 bahwa   evaluasi akan dilakukan oleh gubernur terhadap perda kabupaten/kota dan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap raperda provinsi. Pemberian Sanksipun seperti yang diatur pada pasal 252  sangat jelas dan tegas  bagi daerah yang tidak melaksanakan hasil evaluasi. Beberapa sanksi yang akan diterapkan adalah  berupa sanksi administrasi dan/atau sanksi penundaan evaluasi rancangan perda. Sanksi administrasi ini dikenakan  kepada  kepala  Daerah  dan  anggota  DPRD berupa  tidak  dibayarkan  hak-hak  keuangan  yang  diatur dalam  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  selama 3 (tiga) bulan. Sanksi  ini  tidak diterapkan  pada  saat  penyelenggara  Pemerintahan  Daerah masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk Perda Provinsi dan kepada Menteri untuk Perda Kabupaten/Kota. Selanjutnya ada ketentuan juga yang menyebutkan bahwa bagi penyelenggara  Pemerintahan  Daerah  provinsi atau  kabupaten/kota  masih  memberlakukan  Perda mengenai  pajak  daerah  dan/atau  retribusi  daerah  yang dibatalkan  oleh  Menteri  atau  dibatalkan  oleh  gubernur sebagai  wakil  Pemerintah  Pusat,  dikenai  sanksi  penundaan atau  pemotongan  DAU  dan/atau  DBH  bagi  Daerah bersangkutan.

Semua ketentuan ketentuan tersebut menjadi pembatas yang tegas pada proses lahirnya peraturan daerah yang mencakup beberapa   tahapan  baik perencanaan, penyusunan,  pembahasan,  penetapan,  sampai dengan   pengundangan. Bahkan masyarakatpun secara konstitusional  berhak  memberikan  masukan  secara  lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.

Ketatnya aturan main tidak sedikitpun memberikan peluang untuk para legislator baik pemerintah daerah dan DPRD  provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyusun raperda  di luar rambu rambu yang ada. Dengan kata lain, atas dasar ketatnya ketentuan pembentukan perda tersebut  sebenarnya tidak  mungkin terjadi sampai ada ribuan perda yang dibatalkan baik oleh maupun pemerintah pusat melalui Menteri dalam Negeri maupun Gubernur.

Munculnya fakta pembatalan perda sontak menimbulkan kekagetan publik yang luar biasa dan tentunya dengan pola yang berbeda-beda tanggapanya, mulai dari tingkat rasa malu yang harus ditanggung para legislator karena diangggap tidak cakap dalam bekerja sampai dengan hilangnya trilyunan keuangan negara mengingat ongkos pembuatan perda tidaklah sedikit. Fakta ini sekaligus menimbulkan 2 (dua) dampak buruk baik yang bersifat  psikis bagi legislator maupun yang bersifat ekonomis bagi negara secara luas.

Pihak yang bertanggung jawab

Dari kenyataan ini sebenarnya beberapa hal yang harus diperhatikan adalah ada pada pihak pemerintah dan pada pihak DPRD. Atas kejadian ini maka dapatlah dikatakan bahwa pemerintah pusat dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya terkait dengan peranan  dan tanggung jawabnya mengawal perda. Seharusnya dengan peristiwa pembatalan perda ini sebenarnya yang terjadi adalah tidak lebih suatu kejadian yang menampar muka sendiri, karena pemerintah pusat melalu Kementrian Dalam Negeri tidak bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Kalau saja dari awal pendampingan baik sisi prosedur dan materi pembentukan perda ini berjalan dengan baik maka peristiwa ini tidak mungkin akan terjadi. Jadi dengan mengumumkan kepada publik terhadap pembatalan perda sebenarnya sama saja telah membuka aib gagalnya sebuah kewenangan atributif pemerintah pusat kepada khalayak ramai.  Rencana untuk menerapkan E-Perda untuk mempermudah proses pendampingan pembuatan perda adalah sesuatu ihtiar yang perlu disambut baik. Namun sekali lagi  tanpa mengetahui lebih mendalam latar belakang dan berbagai alasan gagalnya kewenangan pemerintah daerah dalam membuat perda baik yang bersifat internal dan  eksternal maka usaha itu akan berakhir dengan sia-sia.

Bagi pemerintah daerah dan DPRD selaku legislator daerah peristiwa pembatalan perda yang selalu terulang ini sebenarnya telah membenamkan kredibilitas selaku pihak yang paling bertanggungjawab atas lahirnya perda. Sebagai evaluasi maka ada beberapa  maka cara yang harus dipakai untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan  mengidentifikasi secara cermat alasan-alasan kenapa perda itu dibatalkan oleh pemerintah pusat dan Gubernur. Kalau dibatalkan disebabkan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi maka pihak legislator harus banyak belajar mensinkronisasikan norma perda dengan norma yang ada di atasnya. Sedangkan kalau dasar pembatalan disebabkan karena bertentangan dengan kepentingan umum maka pihak legislator daerah harus harus bertindak cermat agar subtansi perda tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kepentingan umum yang meliputi:  terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya  kegiatan  ekonomi  untuk  meningkatkan kesejahteraan masyarakat,  dan/atau   diskriminasi  terhadap  suku,  agama  dan  kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Untuk bisa melakukan hal ini maka pihak legislator harus segera membekali diri dengan cara sesering mungkin  mengasah diri tentang pengetahuan ilmu perundang-undangan baik dalam bentuk pelatihan-pelatihan sampai harus mengirim ke sekolah formal yang terkait dengan problematika ini. Langkah ini lebih mengarah kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).  Di luar itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa penyusunan perda tidak akan terlepas dari tari ulur kepentingan terselubung baik yang berbau ekonomis politis berbagai kelompok yang menginginkan sesuatu  masuk dalam subtansi perda,  terkadang membuat kacau balaunya sistematika penyusunan perda. Terhadap masalah ini sebenarnya tergantung kepada sikap tegas legislator sendiri untuk berani menolak pesanan pesanan norma tersebut.

Peristiwa ini harus menyadarkan semua pihak yang terlibat dalam pembentukan perda, pertama bahwa tunduk kepada aturan main pembuatan perda adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Kedua, pengingkaran terhadap segala bentuk aturan pembentukan perda hanya membuat pemerintah daerah baik provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota akan turun derajat kenerja pemerintahannya dan akan terancam oleh berbagai sanksi dari pemerintah pusat.

Sebagai sebuah berlabuhnya berlakunya hukum, maka  penting juga memperhatikan pikiran Gustav Radbruch (21 November 1878)  seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman dan pernah menjabat sebagai menteri kehakiman  jaman Republik Weimar Radbruch bahwa muara penting pembentukan hukum (baca : perda)  adalah tercapainya  keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Dengan dibatalkannya peraturan daerah maka  secara langsung masyarakat sebagai objek regulasi akan kehilangan juga hal tersebut dan itu berarti identik dengan  akan dan telah terjadinya instabilitas pemerintahan di daerah. Rangkaian peristiwa ini kalau tidak segera diikuti oleh langkah-langkah konkrit untuk berbenah maka akan membuat masa depan pembentukan perda semakin lama akan semakin suram karena selalu terjebak pada pusaran kemauan yang tidak mau berbenah dari waktu kewaktu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.