UWG, 24/1/2025. Polemik penerbitan sertifikat kepemilikan lahan di atas perairan laut kembali menjadi sorotan. Kasus terbaru muncul di Sidoarjo, Jawa Timur, di mana ditemukan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah perairan laut. Menanggapi hal ini, Dr. Ibnu Subarkah, SH., M.Hum., pakar hukum dari Universitas Widya Gama Malang (UWG), memberikan pandangannya.

Menurut Dr. Ibnu, meski penerbitan sertifikat tersebut memunculkan banyak polemik, prinsip hukum kausalitas tetap harus menjadi acuan. “Karena belum ada akibat yang ditimbulkan, maka solusi hukum yang dapat diambil saat ini adalah membatalkan penerbitan sertifikat tersebut,” ujarnya. Ia menambahkan, prinsip kausalitas menuntut bahwa segala akibat hukum harus didasarkan pada sebab yang sah dan beralasan.

Temuan Sertifikat di Lautan Sidoarjo

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur sedang menyelidiki tiga sertifikat HGB di atas lautan Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Sertifikat ini mencakup total 656,83 hektare dan dimiliki oleh dua perusahaan, yaitu PT Surya Inti Permata (dua sertifikat) dan PT Semeru Cemerlang (satu sertifikat).

Kepala BPN Jawa Timur, Lamri, mengungkapkan bahwa sertifikat tersebut diterbitkan pada 1996 dan akan habis masa berlakunya pada 2026. Dua sertifikat atas nama PT Surya Inti Permata mencakup masing-masing 285,16 hektare dan 219,31 hektare, sementara satu sertifikat milik PT Semeru Cemerlang seluas 152,36 hektare.

Namun, hingga kini, pihak BPN belum dapat memastikan kondisi dan status lahan tersebut. “Jika hasil investigasi menunjukkan bahwa lahan tersebut berada di wilayah perairan, maka kami akan melakukan penghapusan hak atas tanah, yaitu pembatalan sertifikat,” tegas Lamri.

Dugaan Penyimpangan

Menurut Dr. Ibnu, penerbitan sertifikat HGB di wilayah perairan laut menimbulkan kecurigaan adanya kolusi antara pihak perusahaan dengan pejabat daerah, seperti bupati, camat, kepala desa, hingga notaris atau pejabat pembuat akta tanah. “Ada potensi keterlibatan cukong dan oknum aparat dalam penerbitan sertifikat ini. Hal ini perlu diusut tuntas untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang,” tuturnya.

Kedua perusahaan yang memiliki sertifikat tersebut diketahui terkait dengan almarhum Henry J. Gunawan, seorang pengusaha properti Surabaya yang sempat tersandung sejumlah kasus hukum, termasuk penipuan, penggelapan, dan penempatan keterangan palsu dalam akta. Henry meninggal dunia di Rutan Medaeng pada 22 Agustus 2020.

Langkah Hukum dan Solusi

Dr. Ibnu menegaskan bahwa pembatalan sertifikat harus dilakukan secara transparan dan sesuai prosedur. Selain itu, ia menyarankan agar ada evaluasi menyeluruh terhadap proses penerbitan sertifikat di wilayah lain yang berpotensi bermasalah.

“Kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan, terutama di wilayah pesisir. Jangan sampai celah hukum dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi yang merugikan negara dan masyarakat,” tutup Dr. Ibnu. (San/pip)