Keanekaragaman Hayati untuk Siapa?

Lahan kering menempati setengah dari lahan pertanian  produktif di dunia.  Ia digunakan untuk kepentingan pertanian, perkebunan dan peternakan untuk mensuplai kebutuhan pangan sepertiga penduduk dunia.  Ancaman kerusakan lahan kering terutama terjadi di Afrika dan Asia Selatan bukan hanya bersentuhan dengan problem kemiskinan tetapi juga potensi kerusakan fungsi lingkungan.  Ancaman serupa sebenarnya juga berlaku di Indonesia.  Kemiripan potensi ancaman ditandai dengan pendapatan rendah, kepadatan penduduk tinggi (khususnya di Jawa), pertanian padat karya dan kemampuan berwirausaha rendah.

Keanekaragaman Hayati

Upaya mengembangkan atau meningkatkan produktivitas lahan kering pertanian tidaklah sederhana.  Instrumennya dapat berupa teknologi, investasi, kebijakan harga komoditi, pajak dan subsidi, distribusi komoditi, tata ruang atau pendidikan ketrampilan. Namun penulis ingin mengajak kepada hasil-hasil konvensi keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) sejak disepakati dari konperensi Rio tahun 1992, dimana Indonesia sudah meratifikasi melalui UU 5 tahun 1994.  Sebelumnya, juga sudah ada UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman didalam species, antara species dan ekosistem (pasal 2 UU No 5 tahun 1994).  Yang menarik, komitmen konservasi keanekaragaman hayati dapat menjadi sistem yang baku untuk pengembangan sektor pertanian termasuk peningkatan produktivitas lahan kering.

Konservasi keanekaragaman hayati telah diterapkan petani jaman dahulu.  Mereka menghormati prinsip tiga strata atau zona.  Pertama, hutan atau wilayah yang harus dilindungi (sebagian mengartikan dikeramatkan); berfungsi menyimpan air, memiliki flora fauna endemik dan sebagai sumber penghidupan.  Kedua, wilayah penyangga yang digunakan untuk kepentingan produksi terbatas, misalnya perburuan, tanaman tahunan, atau rekreasi.  Ketiga, wilayah produksi berupa lahan pertanian, pemukiman atau kegiatan ekonomi lain.  Tiga strata itu menyerupai konsep cagar biosfer dari UNESCO pada tahun 1995, yang masing-masing berfungsi (i) konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap;  (ii) logistik, untuk mendukung aktivitas wisata, pendidikan dan pelatihan lingkungan; dan (iii) pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia.

Tiga zona itu tidak harus dipahami sebagai lingkaran konsentris.  Ia dapat diterapkan dengan menyesuaikan keadaan atau untuk memenuhi kondisi dan kebutuhan setempat.  Salah satu kekuatan terbesar dari konsep cagar biosfer adalah fleksibilitas dan kreativitasnya yang telah dibuktikan dalam berbagai situasi.

Saat sekarang, prinsip tiga strata hanya ditemui pada kelembagaan kawasan konservasi.  Di luar itu, lahan kering pertanian (zona ketiga) langsung berbatasan dengan zona pertama yang dilindungi, atau saling terpisah sama sekali.   Pada kondisi ini, dua zona tidak saling melindungi dan melemahkan daya dukung secara keseluruhan.  Pada posisi ini konservasi sumber daya keanekaragaman hayati tidak lagi terjamin, sehingga terbuka peluang proses desertifikasi atau kerusakan lahan-lahan kering pertanian.

Terselenggaranya kelembagaan kawasan konservasi, dalam kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) maupun pelesarian alam (Taman Nasional atau TN, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam), adalah wujud komitmen konservasi keanekaragaman hayati.  Namun ia masih belum mencukupi untuk menghasilkan manfaat dan kesejahteraan.  Masih diperlukan instrumen untuk mengoperasionalkan ke dalam suatu usaha bisnis untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi.  Bagaimana dengan wilayah di luar kawasan konservasi.  Instrumen usaha bisnis apa yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi sekaligus upaya konservasi keanekaragaman hayati.  Disinilah sebenarnya pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan oleh pakar sosial, ekonomi dan lingkungan.  Perlu disegerakan karena ancaman kemiskinan dan kerusakan lahan pertanian saling kejar mengejar.

Kebijakan pembangunan dalam kerangka konservasi keanekaragaman hayati telah tersusun dalam The Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) (Bappenas, 2003).  IBSAP memuat arah kebijakan dan rencana aksi hingga 2020.  Pesan pokok IBSAP adalah pemanfaatan sumber daya keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.  Masyarakat diharapkan memiliki kemampuan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati berbasis pengetahuan dan kearifan lokal.  Kegiatan pengelolaan dilaksanakan secara bertanggungjawab dan adil, yang diformulasikan melalui kebijakan harga dan perolehan keuntungan yang mampu mengkonservasi sumber daya keanekaragaman hayati, menghasilkan kesejahteraan kepada penduduk lokal, dan mengentaskan kemiskinan.

Potensi Ekowisata

Jasa ekowisata dapat menjadi jalan keluar bagi Indonesia maupun negara berkembang lainnya.  Lazimnya proses transformasi struktur ekonomi, bergerak dari sektor pertanian, manufaktur kemudian ke sektor jasa.  Bagi Indonesia yang masih belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi, transformasi dari sektor pertanian ke manufaktur menghadapi kendala yang serius, yakni kelemahan dalam hal-hal permodalan, ketrampilan maupun kewirausahaan untuk mengolah produk-produk pertanian.   Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar tenaga kerja masih menggantungkan kepada sektor pertanian dan mengeksploitasi lahan pertanian.  Hanya sebagian kecil saja petani di desa yang sukses berwirausaha  mengolah hasil-hasil pertanian.

Jalan keluar yang disarankan adalah proses transformasi yang tak lazim, yakni melompat dari pertanian ke sektor jasa.  Petani secara berangsur-angsur dapat mengembangkan jasa-jasa lingkungan dan sosial spesifik di wilayahnya masing-masing.  Momentum tradisi, budaya dan eksotisme lingkungan lokal dapat dikemas sebagai produk wisata yang menarik pengunjung dari luar wilayah. Dengan demikian, petani memiliki pilihan berproduksi, yakni dari pertanian, jasa wisata, maupun penunjang wisata lainnya.   Hal ini pada gilirannya akan menghasilkan insentif untuk mengkonservasi sistem produksi pertanian, nilai-nilai tradisi dan budaya serta lingkungan.

Di kawasan TN Bromo Tengger Semeru, produk dan jasa ekowisata yang dikemas penduduk setempat meliputi jasa portir, transportasi (offroad), sajian tari kuda lumping, warung-toko dan jasa penginapan, melibatkan lebih dari setengah rumah tangga (Cochran, 2000).    Aktivitas ini mendukung sajian pemandangan lautan pasir dan kawah Bromo, pendakian Semeru, flora-fauna, hingga sajian budaya seperti Karo dan Kasodo

Di TN Gunung Halimun, berdiri usaha pondok wisata berbentuk usaha koperasi. Produk dan jasa ekowisata lain meliputi: (i) akomodasi kamar atau penginapan, lahan perkemahan, sewa peralatan lapang,  (ii) usaha makan dan minuman, (iii) suvenir dan asesoris, (iv) jasa pemanduan dan portir, (v) laundry, (vi) atraksi seni tradisionil dan (vi) transportasi.  Pondok wisata juga berfungsi untuk perkantoran, ruang pertemuan, tempat pelatihan dan aktivitas sosial lain (misalnya pengajian)  (Dalem, 2002)

Pengembangan ekowisata juga dapat menjadi model pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) dan pembangunan berkelanjutan.  Karakteristik jasa pariwisata adalah multi sektor, memuat interaksi yang kuat di dalam sistem yang terdiri sektor ekonomi, sosial dan lingkungan.  Hal ini berimplikasi lahirnya kompetensi spesifik di dalam sistem sejalan dengan jumlah, sebaran dan keragaman wilayah tujuan wisata.  Karenanya tidak ada stakeholder dominan di dalam jasa pariwisata.  Mereka merupakan stakeholder yang dalam skala ekonomi berukuran kecil atau menengah.  Justru hal tersebut menguntungkan dan efektif di dalam pengambilan keputusan khususnya membentuk jaringan dan menangkap pasar di seluruh dunia. Sementara jasa wisata ekowisata dapat menjamin sustainability akibat perolehan nilai tambah kepada seluruh stakeholder khususnya penduduk lokal.

Sumber Pustaka:

Bappenas.   2003.  Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAB).  The National Development Planning Agency (Bappenas), Jakarta

Cochrane, J.  2000.  Factors Influencing Ecotourism Benefits to Small, Forest-Reliant Communities: A Case Study of Bromo-Tengger-Semeru National Park, East Java.  Department of Southeast Asia Studies, University of Hull,   Hull, United Kingdom

Dalem, A. A. G. R.  2002.  Ecotourism in Indonesia.  In: Hundloe, T (ed.).  Linking Green Productivity to Ecotourism: Experiences in the Asia-Pacific Region. Asian Productivity Organization (APO), Tokyo, Japan.  85-97

Naskah ini ditulis pada tanggal 2 Juni 2006

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *