Mbah Surip meninggal dunia. Saya dan anda semua terkaget dengan berita hari ini. Baru kemarin sore diberitakan infotainment, beliau sakit. Masuk angin dan flu, kata puteranya. Itu sakit biasa saja, lanjutnya. Tapi ada teman pekerja seni, mengatakan beliau sakit.. kecapaian.
Mbah Surip adalah pekerja seni dalam kategori sukses di usia tua. Persis sama dengan jalan hidup Gombloh. Keduanya mengasah seni dari perjalanan hidup dan kerasnya kehidupan. Mereka menulis lirik dari kehidupan orang kebanyakan. Lirik dan lagunya sederhana, sesederhana sikap dan pemahaman masyarakat untuk keluar dari permasalahan. Lihatlah, lirik lagu ‘Tak Gendong”, begitu sederhana pesan yang disampaikan, sekaligus dikemas sebagai kritik sosial ‘hiburan’. Ia ingin menghibur dengan bersedia menggendong, … dari pada naik pesawat. Pesan yang egaliter, sekaligus sindiran yang menghibur kepada mereka yang berada, yang biasa naik pesawat. Cermin pekerja seni yang berpikir luas dan berkreasi bebas.
Sosok Mbah Surip sebagai individu muncul dari hasil seleksi alam yang spesifik, kalau tidak sporadis. Kesederhanaan, sosok egaliter, dan kebebasan menjadi kekuatan yang mengalahkan lingkungan kompetisi industri musik yang keras, yang mengutamakan CDE (cantik, duwit, dan kEncan). Konsep CDE bahkan bisa mengorbitkan artis sekalipun tanpa modal kualitas suara.
Sebaliknya Jackson adalah pekerja seni yang sukses, populer, dan dikenal sejak muda. Jackson tercipta oleh paduan seni, iptek, dan manajemen. Manajemen Jackson telah menjadi institusi yang siap melayani industri musik dunia. Manajemen mampu melahirkan histeria penggemar (Jackomania) seluruh dunia. Pendek kata, pribadi Jackson telah mengalami metamorfosa fisik dan batin untuk memenuhi permintaan manajemen industri musik. Tanda-tanda hilangnya privasi Jackson, adalah dengan melarang dunia infotainment mengekspos anak-anaknya. Ia ingin anaknya hidup normal, tidak seperti dirinya yang terlanjur populer sejak usia mua.
Sebelum Jackson meninggal, ia sempat mengeluh dan ragu, karena merasa terlalu berat untuk tampil dalam 50 show seperti yang diminta manajemen. Sejujurnya ia hanya mampu 10 kali show saja. Hal sama juga dialami Mbah Surip. Ia terlalu lelah, capai, dan tersiksa mengikuti acara interview dengan infotainment, acara live di TV, menyanyi, jumpa penggemar, dan lain-lain. Lebih memprihatinkan, Mbah Surip tidak mau ke rumah sakit karena merasa tetap akan dikejar infotainment dan penggemar.
Kedua artis tersebut pun telah meninggal. Mereka berdua telah berkorban dalam menjalankan profesinya. Korban dari permintaan industri musik. Mereka tidak mampu menanggung beban di luar kemampuannya.
Posted inGeneral