Perkembangan ekonomi pertanian beberapa waktu terakhir menarik dicermati. Kenaikan permintaan pangan India dan China, serta konversi komoditi pangan ke bahan bakar nabati, mengakibatkan kenaikan harga pangan dunia. Secara bersamaan, kenaikan harga minyak dunia, sebagai salah satu input produksi pangan, ikut nimbrung dalam masalah pangan tersebut. Dampaknya, menurut laporan Bank Dunia, kenaikan harga pangan tersebut mereduksi upaya-upaya pengentasan kemiskinan selama tujuh tahun.
Ekonomi global tersebut ikut mempengaruhi ketidak pastian ekonomi nasional. Keadaan ini makin mempersulit upaya-upaya pemulihan ekonomi yang oleh pemerintah ditargetkan tumbuh sebesar 7 persen. Saat bersamaan, upaya pemerintah memperkuat anggaran dengan pengurangan beban subsidi makin mempersulit keadaan. Itulah yang melandasi berbagai kesulitan ekonomi yang dirasakan masyarakat, antara lain kenaikan harga-harga bahan pangan, minyak goreng; serta kelangkaan minyak tanah, gas, BBM, dan pupuk bersubsidi.
Permasalahan ekonomi dalam perspektif pertanian, bagi bangsa ini sudah dikenali. Pengalaman memperlihatkan sektor pertanian menjadi buffer terhadap masalah dan dinamika ekonomi. Saat krisis, share ekonomi sektor pertanian merambat naik (hingga 20 persen, tahun 1999); sementara saat ekonomi normal, share pertanian menurun (hingga 13 persen). Hal ini sangat alamiah sejalan dengan sistem agribisnis yang belum terkonsolidasi. Padahal bila sistem agribisnis domestik sudah mapan, maka kaitan hulu-hilir dan penunjangnya akan mampu menahan gejolak ketidak-imbangan ekonomi.
Bangsa ini sudah pernah melewati kesulitan ekonomi, yang menurut ekonomi neoklasik, dipahami sebagai gangguan terhadap faktor-faktor input atau dikelompokkan man-made capital, human capital dan natural capital. Saat ini makin disadari bahwa faktor-faktor input itu hanya menjelaskan 40 hingga 60 persen kinerja ekonomi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, yang disadari makin penting adalah social capital. Bahkan social capital dapat berfungsi mengembalikan keberadaan dan fungsi man-made capital, human capital dan natural capital.
Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, norma, trust, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan adalah sumber legitimasi fungsi tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pembangunan (Serageldin, 1996).
Bagaimanakah social capital bangsa ini. Hjerppe (2003) menguraikan social capital dalam tiga level.
Pada level makro (institutional environment), teramati dari aspek legal atau politik, yang mendasari sistem produksi, konsumsi dan distribusi. Sasarannya adalah transparansi dan accountibility tata kelola agar dapat menarik investasi. Sejak reformasi, telah banyak penyempurnaan kelembagaan ekonomi nasional untuk memberi ruang aktivitas ekonomi lebih efisien. Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengawal sistem hukum, Bank Indonesia (BI) berperan dalam track moneter, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melindungi struktur pasar, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawal tata kelola pemerintahan.
Pada level meso atau wilayah (institutional arrangement ), terfokus kepada aturan atau mekanisme alokasi sumberdaya untuk mencapai suatu transaksi. Pada tingkat region ini, tercipta kelembagaan ekonomi ekologi, cluster, atau kaitan ekonomi sektor riil. Sejak reformasi, bargaining power petani telah terakomodasi untuk menghasilkan nilai tambah, dalam beragam kerjasama model koperasi, industri, inti-plasma. Hal ini telah terbukti mampu menstabilisasi sistem produksi jagung, tebu, ternak (unggas, susu dan telur) dan perikanan (ikan darat dan laut). Kemampuan kewirausahaan petani telah terbangun untuk membuat pilihan yang rasional dalam berproduksi.
Social capital tingkat wilayah adalah mutlak domain pemerintah daerah. Era otonomi seharusnya dioptimalkan untuk kerjasama ekonomi dan pemberdayaan wilayah. Hanya sedikit wilayah yang berhasil, misalnya provinsi Gorontalo, dengan pengembangan jagung. Share PDRB propinsi Gorontalo naik dari 0.11 menjadi 0.13 persen PDB nasional dalam periode 2000 hingga 2005. Sementara propinsi lain masih menata infrastruktur atau sibuk dengan perpolitikan lokal, sehingga share dalam PDB nasional menurun, antara lain Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada level mikro, wujud social capital dicerminkan dalam kualitas hubungan diantara individu atau rumah tangga, untuk saling memberi nilai tambah ekonomi. Keluarga atau rumah tangga petani adalah potensi social capital terbesar bangsa ini. Stok nilai-nilai moral dan akhlak di dalam keluarga petani adalah sumber kearifan individu untuk berpikir, bersikap dan berperilaku. Social capital itu berkaitan dengan kemampuan dalam dua hal, yakni (i) mempertahankan nilai-nilai sosial dan aktualisasi kehidupan ekonomi, dan (ii) memelihara kelestarian fungsi lingkungan. Kemampuan itu sudah ada dalam masyarakat, dan seyogyanya disinergikan dalam pembangunan pertanian.
Kearifan tidak hanya melahirkan pribadi yang cerdik tetapi juga cendikia yang senantiasa memberi manfaat ke lingkungannya. Dalam ceramah di Bank Pembangunan Asia, Manila, 3 Oktober 2007, Partha Dasgupta menyatakan sumberdaya manusia cerdik bukan jaminan bagi pertumbuhan ekonomi. SDM yang cerdik perlu meletakkan dirinya, atau membumi dalam kerangka institusi. Institusi inilah yang membawa dan menjamin keberlanjutan pertumbuhan.
Social capital menegaskan pentingnya pendekatan ekonomi untuk memahami permasalahan. Ia berjalan dalam instrumen ekonomi yang disepakati, di antaranya melalui sinyal harga. Terjadinya transaksi menunjukkan trust terhadap harga, trust terhadap alokasi sumberdaya, dan itu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Karenanya, sekalipun manuver politik terus mengemuka, demo di mana-mana, sementara transaksi ekonomi normal saja, itu pertanda social capital terpelihara, dan dalam track yang benar.
Tulisan ini belum pernah diterbitkan, ditulis pada bulan April 2008