Dosen Entrepreneur

Tantangan pengembangan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi masih sangat besar.  Tantangan terbesar masih terletak pada mutu kurikulum dan tenaga kependidikan.  Kurikulum umumnya belum menemukan standar aspek psikomotorik untuk mengikuti perkembangan iptek dan permintaan industri atau masyarakat  Tenaga kependidikan, khususnya dosen, umumnya memiliki kemampuan terbatas sebagai entrepreneur.  Tulisan ini mencoba menguraikan karakter dosen kewirausahaan dan upaya mengembangkan kemampuan dosen tersebut.

Sedikitnya ditemukan tiga tipe dosen kewirausahaan. Pertama, dosen kewirausahaan ter-paksa (DKP).  Perguruan tinggi menugaskan dosen tertentu untuk memberi kuliah kewirausahaan kepada mahasiswa, dengan kriteria sedang/pernah menjalankan usaha bisnis, punya latar belakang ilmu manajemen dan dianggap mampu melaksanakan tugas.

Kedua, dosen kewirausahaan akademik (DKA).  Perguruan tinggi menugaskan dosen yang punya kemampuan analisis sintesis, bisa jadi khususnya dosen senior, untuk mengajar kewirausahaan.   Kemampuan analisis sintesis dipentingkan karena kewirausahaan senantiasa berhadapan permasalahan dan pengambilan keputusan.  DKA diharapkan menunjukkan siasat jitu letak dan besaran nilai tambah dan bagaimana merealisasikannya.

Ketiga, dosen kewirausahaan konsultan (DKK).  Perguruan tinggi menugaskan kepada dosen yang punya pengalaman penelitian, hak kekayaan intelektual, dan mitra industri; untuk mengajar kewirausahaan.  DKK seperti ini sukses dalam karir akademik, bahkan mencapai jabatan guru besar, dan bermanfaat untuk industri maupun masyarakat.  DKK menguasai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik keilmuan dan rekayasa; sehingga menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial yang tinggi dan berkelanjutan.  DKK tidak perlu formal masuk dalam jajaran manajemen bisnis, birokrasi, atau jabatan tertentu.  DKK lebih tertarik untuk meneliti dan menemukan nilai-nilai tambah baru untuk disumbangkan untuk kepentingan umat.

Penulis yakin DKP, DKA dan DKK dapat mengantarkan tujuan pembelajaran kewirausahaan asal dosen senantiasa memperkaya iptek kewirausahaan dan mampu membangkitkan partisipasi mahasiswa.  Menurut laporan ASHE Higher Education (2007), keberhasilan studi mahasiswa ditentukan oleh dua ukuran, yakni (i) jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran dan (ii) kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumberdaya, kurikulum, fasilitas dan program aktivitas yang menarik partisipasi mahasiswa.  Dengan demikian kompetensi dosen kewirausahaan tidak lepas dari layanan yang disediakan perguruan tinggi.

Upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan dosen kewirausahaan disampaikan berikut.  Pertama, pelatihan dosen kewirausahaan.  Bagaimanapun juga variasi, di antara khususnya DKP sangatlah tinggi, dari ilmu alam (ilmu teknik, kesehatan, MIPA/Pertanian), humaniora (hukum, ekonomi, sosial, politik, agama), atau seni (sastra, musik, tari, rupa).  Pelatihan bertujuan untuk mengurangi variasi kemampuan dengan materi internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.  Materi lanjutan adalah peningkatan ketrampilan (transfer knowledge) dalam aspek pemasaran, finansial, dan teknologi; spesifik latar akademik dosen.  Dirjen Dikti, Depdiknas, mentargetkan pelatihan dosen kewirausahaan untuk 1600 dosen pada tahun 2009.

Kedua, pengembangan kelembagaan.  Langkah ini ditujukan untuk membangun bisnis (business setup).  Perguruan tinggi mendirikan lembaga (kajian) kewirausahaan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek bisnis.  Kebutuhan sumberdaya manusia, anggaran dan penunjang diorganisasikan mengikuti kaidah-kaidah corporate di perguruan tinggi.  Perguruan tinggi yang lembaga bisnisnya maju menurunkan kompetensinya kepada yang sedang berkembang.  Disini dibentuk forum dosen kewirausahaan untuk mengembangkan komunikasi dan sharing manfaat di antara dosen.

Ketiga, pengembangan produk iptek.  Perguruan tinggi yang memiliki DKK memiliki modal kuat untuk berbisnis.  Produk paten atau hak kekayaan intelektual dapat dikembangkan; atau dipasarkan kepada industri; sehingga menghasilkan income bagi perguruan tinggi.  Disinilah nyata-nyata  terbangun entrepreneurial university, seperti di National University of Singapore (NUS).  Hingga tahun 2004, NUS telah menghasilkan 239 lisensi yang terdistribusi 45 persen produk paten, 30 persen non paten, dan 25 persen produk dimanfaatkan untuk pemerintah (Wong, 2006)

Keempat, ketersediaan anggaran.  Pengembangan bisnis perlu modal.  Dirjen Dikti, Depdiknas telah menyusun Program Mahasiswa Wirausaha atau PMW (Student Entrepreneur Program) dalam bentuk hibah kepada  mahasiswa yang menjalankan dunia bisnis rill dibawah bimbingan dosen kewirausahaan.   Perguruan tinggi juga dapat mengalokasi anggarannya untuk hal yang sama.  Anggaran sesungguhnya tidak menjadi masalah manakala penguasaan iptek dosen telah mengikuti kebutuhan industri atau masyarakat.  Modal akan datang mengikuti insentif dari usaha bisnis

  • 4 Comments

      • sementara ini sy belum ada info, mungkin di univ ciputra. terimakasih atas perhatiannya

      • blog ini ingin membagi manfaat, terimakasih atas perhatiannya

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *