Kembalinya Sang Penggembala

prof mukthie
Hari Rabu, 20 Januari 2010, saya menghadiri undangan yang bertema Kembalinya Sang Penggembala, di suatu Hotel ternama di  Malang.  Acara digagas oleh Kali Metro Community (mas Luthfi dan kawan-kawan, Intrans).  Siapa sang penggembala itu?  Beliau adalah Prof H.A. Mukthie Fadjar.  Beliau telah purna tugas dari Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI sejak Desember 2009 (usia 67 tahun) dengan predikat tanpa cela.  Acara ini lebih merupakan silaturahmi kemanusiaan antar komunitas, sekaligus membaca perjalanan hidup seorang gembala.

Undangan mendapatkan beberapa buku, di antaranya melukiskan perjalanan hidup Prof Mukthie, Sang Penggembala (Fadjar, 2009).  Deskripsi profil hidup beliau dalam video juga ditampilkan.  Saya baca otobiografi beliau secara seksama.  Beliau mengalami pahitnya kehidupan dan suka duka akademis.  Beliau suka membuat puisi disamping intensif sebagai aktivis organisasi di lingkungannya.  Beliau ibarat buku berjalan perihal aktifitas organisasi.  Organisasi telah menjadi modal kecendekiawanan dan mendukung jenjang karier beliau.  Beliau orang yang konsisten, berintegritas tinggi, dan tetap bersahaja dalam berbagai lingkungan.

Tentu saja profil dan kinerja beliau tidak lepas dari keluarga yang melahirkan dan membesarkannya.  Beliau dilahirkan dari orangtua yang mementingkan pendidikan sekalipun dalam keadaan keterbatasan.  Seluruh saudaranya tergolong orang berhasil, dan berpendidikan.  Ada yang menjadi menteri, dosen, maupun guru.  Wajar bila keluarga Fadjar merupakan teladan untuk kita semuanya.

Dari acara itu, secara sekilas ada dua kesan mendalam yang saya peroleh.  Pertama, keluarga Fadjar tidak mewariskan materi kepada anak-anaknya, tapi yang lebih dipentingkan adalah pendidikan.  Dengan pendidikan, anak akan berkemampuan hidup dan berkehidupan.  Hal ini sesungguhnya bukan hal sederhana.  Pernyataan itu begitu sering kita baca dan dengar, namun tidak tersadar melupakannya.

Benarkah budaya kita memang ‘jauh’ dari unsur pendidikan.  Sering kita melihat potret orang kaya, menumpuk properti materi, tanah, atau rumah.  Untuk apa? Katanya untuk anak-anaknya nanti.  Mereka lupa,.. Allah memberi rejeki sesuai dengan ombo ati (kelapangan hati) masing-masing.  Mereka lupa, Allah dapat membantu memberi perlindungan dan pertolongan.  Mereka lupa, tidak sadar .. hanya berpikir jangka pendek.  Mereka lupa, .. akan kebesaran Allah.

Nampaknya konsep kepemilikan (property right) yang kita pahami perlu dirubah.  Budaya kepemilikan tanah, harta, dan materi lain, harusnya  lebih menekankan kepada manfaat sosial, bukan individualis dilandasi pendekatan kapitalis.  Budaya kita relatif lemah mendefinisikan konsep kecukupan, lihat Kenneth Arrow (2004).  Konsep zakat (infaq dan sodaqoh), pajak progresif, belum terbangun secara sistematis.

Kesan kedua, dalam sambutannya, Prof. Mukthie mengatakan telah memperoleh bonus usia 4 tahun, dibanding usia Rasulullah.  Saya memang sudah saatnya dan harus berhenti, tegas beliau.  Bonus usia ini merupakan usia sosial, sehingga tidak saatnya lagi menduduki jabatan tertentu.  Biarlah orang-orang muda mengembangkan kariernya.  Ucapan ini menunjukkan cara berpikir yang simpel, kualitas kedalaman beragama, untuk menelaah dan memahami fenomena dunia sebagaimana adanya.

Prof. Mukthie mengingatkan kita semua tidak takut menghadapi persoalan dunia.  Meletakkan kepentingan dunia secara jernih, menunjukkan tipisnya perbedaan powerful dan powerless.

Sumber Pustaka

Arrow, K., P Dasgupta, L. Goulder, G. Daily, P. Ehrlich, G. Heal, S Levin, K. G. ¨ran Ma¨ler, S. Schneider, D. Starrett and B. Walker.  2004.  Are We Consuming Too Much? Journal of Economic Perspectives—18(3):  147–172

Fadjar, A. M.  2009.  Sang Penggembala.  Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *