Ada hal menarik yang disajikan dalam kompaskarier.com edisi sabtu 24 April 2010. Tulisan itu menunjukkan banyak hal tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang anak buah, atau bawahan untuk menghadapi dan bekerjasama dengan atasan di dalam kerangka mengembangkan kompetensi dan sense of duty unit kerja. Tulisan ini mencoba mengulas dan memperluas kolom tersebut dalam kaitan dengan pengembangan SDM dan meningkatkan produktivitas di bidang masing-masing.
Pada dasarnya tidak mudah menjadi anak buah atau bawahan. Ia harus siap-siap repot, atau perlu berenergi besar agar mampu mengimbangi atasannya. Dalam budaya kita, anak buah dituntut senantiasa menyesuaikan dengan atasan. Bila atasan berkarakter disiplin, anak buah mengimbangi dengan tekun dan konsisten. Bila atasan teliti, anak buah perlu berperilaku cermat. Bila atasan pemarah, anak buah harus mengimbangi dengan kesabaran…meskipun lebih sering terbawa tegang dan emosi. Bila atasan lembut, anak buah terbawa suasana kenyamanan.
Bagaimana seharusnya menjadi anak buah atau bawahan? Untuk menjawab hal ini sebenarnya simpel saja. Penulis mengajak pembaca untuk menerawang jauh ke depan. Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin atas atasan. Paling tidak itu untuk memimpin diri sendiri/atau keluarga, atau lingkungan unit kerja. Suatu saat amanah menjadi pemimpin akan datang. Suatu saat kita tidak punya pilihan, kita diminta untuk menjadi pemimpin, mungkin besok, minggu depan, tahun depan atau beberapa tahun lagi. Kapan kesempatan itu akan datang tergantung kesiapan kita. Oleh karena itu, jadilah anak buah yang smart, tangguh, yang senantiasa belajar untuk berkembang, dan menunjukkan karakter seorang pemimpin atau atasan. Rasanya benar ungkapan berikut: To be a good leader, you must first become a good follower.”
Penulis sengaja menyajikan fakta pembangunan ekonomi Cina yang tumbuh pesat. PDB Cina pada tahun 2007 sebesar 3205.5 miliar dolar (PDB terbesar sesudah Amerika Serikat), dengan pertumbuhan rata-rata (dalam periode 1990 hingga 2007) sebesar 8.9 persen per tahun (World Development Report 2009). Kekuatan ekonomi Cina sesungguhnya menggemparkan dunia, karena berpotensi mengganggu keseimbangan ekonomi dunia (Garnaut, 2009), dan tentu saja mengancam hegemoni Amerika Serikat.
Kesuksesan China tersebut banyak didukung oleh kesiapan SDM yang didukung policy ketenagakerjaan untuk menghasilkan tenaga trampil (high skilled worker). Menurut Byham (2010), SDM setingkat manajer di Cina pada dasarnya pekerja keras, agresif, ambisius, berani mengambil resiko dan banyak di antaranya lulusan luar negeri. Sayang mereka cenderung pragmatis dan individualis sehingga gagal menurunkan potensinya untuk mengembangkan perusahaan. Kekeliruan itu diakibatkan dua hal: (i) proses rekrutmen cenderung mementingkan aspek performance individu dibanding potensi pengembangan perusahaan dan (ii) visi dan misi perusahaan dikaitkan dengan pengembangan (jaringan) bisnis tidak mampu diterjemahkan.
Untuk memecahkan kekeliruan tersebut, dibuat sejenis program acceleration pool. Program ini bertujuan membekali SDM dengan kegiatan training dan mentoring, yang di dalamnya dilatih menyelesaikan assignment tertentu, sehingga SDM dapat menunjukkan ketrampilan dan kemampuan sesuai dengan potensinya, dikaitkan dengan kebutuhan organisasi perusahaan. Kedaan seperti ini menegaskan kembali pendapat Dasgupta (2007), yang menyatakan sumberdaya manusia cerdik bukan jaminan bagi pertumbuhan ekonomi. SDM yang cerdik perlu meletakkan dirinya, atau membumi dalam kerangka institusi. Institusi inilah yang membawa dan menjamin keberlanjutan pertumbuhan.
Pemerintah Cina telah menyusun policy yang menekankan institusional bulding sebagai kriteria kualitas SDM. Menurut MLSS-ILO (2006), tenaga trampil memiliki kriteria tinggi dalam (i) kemampuan operasional sesuai bidangnya, (ii) inovasi menuju perbaikan, (iii) kinerja dan tanggungjawab, (iv) manfaat bagi lingkungan kerja (pekerja lain), dan (v) menjadi teladan bagi generasi muda. Adapun konstruksi sistem kebijakan ketenagakerjaan memuat ciri-ciri (i) integrasi tenaga trampil dalam manajemen strategi perusahaan, (ii) perbaikan sistem evaluasi yang transparan dan adil, (iii) perbaikan sistem motivasi, (iv) mekanisme social security, dan (v) investasi finansial dalam pengembangan tenaga trampil.
Mengacu kepada pengalaman Cina tersebut, maka sesungguhnya dalam posisi sebagai anak buah, atasan, atau siapapun harus mengacu kepada strategi organisasi atau institusi. Pikiran, sikap, dan perilaku SDM harus dikaitkan dan sejalan dengan visi dan misi institusi. Sepintar apapun seseorang, bila ia berjalan sendirian tanpa terkait dengan institusi, maka kepintaran tidak bermanfaat bagi lingkungan dan institusi. Sebaiknya orang yang ’pintar’ sendiri harus berada di luar institusi.
Kembali kepada bahasan dalam awal penulisan, maka bekal bagi seorang pekerja atau anak buah hanyalah ’patuh’ kepada visi dan misi organisasi. Anak buah tidak perlu takut kepada atasan selama mampu mengawal visi dan misi. Dengan kompetensi dan ketrampilan, seorang anak buah menjalankan fungsi organisasi yang secara kebetulan ’ditempatkan’ untuk membantu dan bekerjasama dengan atasan. Dalam posisi ini yang dikembangkan adalah sense of duty, bukan sense of privacy. Menjalankan kewajiban sewajarnya sesuai ‘tupoksi’ organisasi tidak perlu berlebihan hingga masuk wilayah pribadi. Dengan demikian, tidak perlu lagi seorang bawahan berperilaku berlebihan kepada atasan dengan alasan takut kehilangan pekerjaan. Tidak perlu menyampaikan bisikan bila dapat dinyatakan secara terbuka. Tidak perlu menjadi orang suruhan bila dapat berinisiatif dengan ide-ide brilian. Tidak perlu ragu berbeda pendapat bila untuk menemukan kebaikan. Tidak perlu malu mengakui kesalahan bila itu memang kelalaian dalam tanggungjawabnya. Tidak perlu overacting bila dapat disampaikan dengan rendah hati.
Seorang bawahan memang dituntut kemampuan berkomunikasi. Hal ini bukan saja untuk menyelesaikan pekerjaan formal, tetapi juga untuk ‘bersahabat atau berteman’ dalam hubungan informal dengan atasan. Pertemanan ini justru mampu mengikat silaturahmi lebih langgeng, dan mendasari hubungan formal dalam pekerjaan. Hubungan pertemanan ini menjadi modal bagaimana berkomunikasi secara formal dalam menyampaikan pendapat, berbicara, dan berargumentasi dengan atasan. Seorang bawahan harus berani menyampaikan profesionalitas dan kompetensi untuk memelihara pencapaian tujuan organisasi. Memang hal ini tidak mudah, ia secara mandiri harus belajar banyak hal, mengadopsi pengalaman orang lain, mengeksekusi teknologi dan memahami karakter organisasi. Pendeknya, seorang bawahan dituntut perlu belajar berkarakter sebagai leader.
Dalam lingkungan yang penuh tantangan dan kompetisi. Peran anak buah sangat penting sebagai buffer menggenapi kompetensi atasan. Terlebih, banyak atasan yang ’tahu beres’ setiap urusan, maka ini sesungguhnya menjadi peluang anak buah mengoptimalkan potensi dan kompetensinya. Anak buah yang profesional perlu trampil menguasai pekerjaan lebih dari ’tupoksi’ sehingga ia dengan mudah membantu tugas-tugas atasan. Tentu saja ia dituntut menguasai lapangan dan informasi, serta pintar berimprovisasi menyajikannya sesuai kebutuhan profesional. Dengan demikian, ia dengan mudah membaca, menebak dan mengeksekusi pekerjaan dan ’nyambung’ dengan kebutuhan atasan.
Patuh kepada atasan, tidak harus menjadi orang suruhan. Bekerja untuk organisasi tanpa kehilangan karakter mandiri. When you go above and beyond the tasks assigned to you, .. you will get a great opportunity in your own hand.
Daftar Pustaka
Byham, W. C. 2010. Developing the Next Generation of Chinese Business Leaders. China Business Review. January-February 2010. Online material. Dasgupta, P. 2007. Measuring sustainable development: Theory and application. Asian Development Review, vol. 24(1):1-10 Garnaut, J. 2009. China’s sky-high growth does not tell the full story. Sydney Morning Herald, 1 Juni 2010 MLSS-ILO. 2006. Report from the International Forum on High Skill Worker Development in China. Ministry of Labour and Social Security (Pople Republic of China) and the International Labour Organization Beijing, 30-31 October 2006