Artikel ini telah terbit di blog kompasiana
Wong ndeso (orang desa) adalah sebutan bernada mengecilkan atau menyepelekan kepada orang yang berasal dari desa. Pandangan atau stigma ini sekaligus menunjukkan pentingnya orang-orang yang berasal dari kota dengan segala kelebihan dan keunggulannya. Karena itu sebutan wong ndeso dapat menempatkan seseorang menjadi tidak nyaman, direndahkan atau diremehkan.
Jaman telah berubah. Saat ini eranya kemajuan dan globalisasi. Saat ini, keunggulan kota tidak bersifat absolut. Kemajuan teknologi informasi, ketersediaan infrastruktur, transportasi dapat menjembatani kesenjangan kota desa. Memang benar dominasi keunggulan masih di kota, namun sesungguhnya dalam jangka pendek keunggulan itu dengan segera menyebar ke wilayah hinterland termasuk desa-desa sekitarnya. Saat ini permintaan desa terhadap keunggulan atau kemajuan juga sangat tinggi. Gejala perubahan atau pengaruh globalisasi tersebut juga berdampak kepada pola berpikir, bersikap dan bertindak para wong ndeso. Bila dahulu, para wong ndeso itu malu-malu menyebut atau menonjolkan dirinya. Sekarang, mereka tidak malu atau bahkan merasa nyaman atau bangga disebut wong ndeso. Fenomena ini makin kentara pada masyarakat yang egaliter, yang terbiasa bersikap jujur dan terbuka mengaku sebagai wong ndeso sekalipun sudah tinggal dan bersosialisasi dengan kehidupan kota.
Perubahan pandangan terhadap karakter wong deso menarik diuraikan. Perubahan tersebut paling tidak disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, telah terjadi transformasi dari masyarakat tradisionil menjadi masyarakat modern yang rasional. Dalam kondisi ini, masyarakat telah mampu melepas atribut-atribut yang dianggap tidak perlu dan tidak rasional untuk menyampaikan aspirasi kepada kehidupan lebih baik, mencapai produktivitas lebih tinggi, memperoleh nilai tambah, atau mencapai kepuasan. Sebagai contoh, penduduk kota yang telah mapan tidak malu lagi menyebut dirinya dari Gunung Kidul, Kediri, Lamongan, Bangkalan atau Tegal. Contoh lain, banyak orang kota tidak merasa gengsi makan di warung sederhana, tidak malu berbahasa Tegal atau Madura, atau tidak risih masuk ke pasar-pasar tradisionil. Penyebutan asal daerah atau contoh perilaku tersebut sama sekali tidak penting dan tidak berdampak kepada kehidupannya. Emangnya gue pikirin, begitu bahasa Betawinya.
Kedua, otokritik untuk mengakselerasi atau memotivasi perubahan. Menyebut diri sebagai wong ndeso dapat bermakna otokritik tentang ketidak-mampuan atau ketidak-mengertian seperti halnya wong ndeso dahulu. Tentu saja penyebutan tersebut menjadi motivasi untuk memperbaiki dan merubah diri. Ada cerita, seorang dosen tiba-tiba menjadi wong ndeso dihadapan mahasiswa karena gaptek dengan komputer jenis terbaru. Padahal dosen itu telah terbiasa dengan komputer dalam tugas-tugasnya. Sikap dosen tersebut biasa saja dan tidak sedikitpun merasa rendah dihadapan mahasiswanya.
Ketiga, sindiran terhadap kemapanan. Bahasan ini adalah yang paling umum untuk menyindir kelompok tertentu dalam masyarakat mapan yang berkarakter feodal. Kritikan atau sindiran ini sering digunakan dalam demo menuntut suatu perubahan struktural. Demo teatrikal tentang nasib petani yang tertindas, atau tentang orang desa yang tidak punya lahan. Bukan hanya itu, sebagian kalangan mapan juga sengaja menjadi wong ndeso dengan maksud menyindir kelompoknya yang feodal. Seiring dengan peningkatan kualitas kedalaman beragama, kelompok masyarakat menengah kota memilih jalan hidup sederhana (zuhud) seperti halnya wong ndeso. Perilaku hidup bersahaja ini sangat efektif untuk menjadi teladan atau alternatif bagi kehidupan kota yang hedonistik. Kehidupan kota yang feodal justru merendahkan martabat kemanusiaan, dimana di dalamnya banyak terjadi penyalahgunaan wewenang, korupsi dan ragam penghisapan sumberdaya ekonomi. Suatu kehidupan yang penuh kosmetik, palsu dan hanya mengejar keduniawian.
Tukul Arwana adalah fenomena wong ndeso yang memerankan dengan sukses tiga uraian diatas. Tukul adalah wong ndeso beneran, yang mau belajar dan bekerja keras meninggalkan atribut irasional sehingga sukses menapak karier sebagai entertainer. Tentu saja, Tukul adalah orang yang jujur. Jujur membuka dirinya yang wong ndeso, lugu, ndesit, namun sekaligus memotivasi dirinya untuk belajar, belajar dan belajar perihal ilmu entertain. Perilaku Tukul di acara ‘Bukan Empat mata” menjadi efektif untuk menyindir kelompok mapan. Ia bisa mengerjai selebritis yang mapan dalam kendalinya untuk bersikap jujur, terbuka dan peduli dengan persoalan kemasyarakatan.
Karakter wong ndeso yang jujur, relijius, bersahaja, ramah, dan dengan sikap tenggangrasanya sangat penting untuk membangun bangsa ini. Karakter wong ndeso yang rasionil dan suka bekerja keras adalah modal dasar intrinsik bagi bangunan kualitas SDM bangsa Indonesia. Kehadiran wong ndeso sangat dinantikan untuk membangun karakter bangsa Indonesia di tengah lingkungan global yang kompetitif. Para founding father seperti Sukarno, Hatta dan Sudirman adalah wong ndeso yang rajin belajar dan suka bekerja keras hingga menjadi orang besar di jamannya. Lebih baik menjadi wong ndeso yang bersahaja dibanding orang kota feodal yang malas belajar. Jadilah wong ndeso yang jujur, kompeten dan kompetitif. Jangan malu menjadi wong ndeso.
Pancagatra, Jakarta, 13 Oktober 2010