Abstract
Pancasila as the nation’s view of life need to be implemented in a real life. This has been implemented by the founding fathers through a hard work and struggle resulting in the independence of Indonesia. At present, the values of Pancasila philosophy is very important to produce quality human beings, who have a strong character in spirituality, self confidence, and high work ethic to support national development. This paper attempts to describe it through the improvement of human resources in the environmentally sustainable development.
At the level of state administrators, the high quality of human resources is shown in the formulation of regulations or policies in strengthening the functions of state institutions, local autonomy and natural resource management. At the level of economic actors or society, quality human resources is in line with the increase of economic welfare in the field of urban development, ecotourism and infrastructure. These high quality of human resources are responsible to realize prosperity in enhancing human dignity as a nation.
Pendahuluan
Ukuran kualitas SDM sesungguhnya adalah muara dari proses-proses pembangunan dalam segala bidang. Konsepsi pembangunan terbaru adalah meletakkan manusia sebagai pusat perhatian. Konsep ini memperhatikan bahwa manusia perlu menyadari potensinya untuk meningkatkan pilihan-pilihan untuk membawa kehidupannya lebih bernilai (UNDP, 2009). Untuk itu setiap negara perlu menyusun kebijakan yang menjamin kesejahteraan yang lebih baik dengan cara memperbaiki lingkungan dan menjauhkan manusia dari konflik dan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan World Development Report (WDR) tahun 2009, IPM Indonesia masih berada diperingkat ke 111, tertinggal dibanding Thailand (peringkat 87), Malaysia (66), Filipina (105) atau Singapura (23); sekalipun lebih baik dibanding Myanmar (138) dan Vietnam (116) (UNDP, 2009). Tidak jauh berbeda, indeks kompetisi global atau IKG (Global Competitive Index) Indonesia (peringkat 54) juga ketinggalan dibanding Singapura (3), Malaysia (24), dan Thailand (36), namun lebih baik dibanding Filipina (75) dan Vietnam (87) (Worl Economic Forum, 2009).
Data di atas menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih menjadi tugas yang sangat berat. Rendahnya indeks kualitas dan kompetisi manusia Indonesia menunjukkan rendahnya kemampuan survival dikaitkan dengan tantangan dan dinamika global (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). Indonesia masih berhadapan dengan keadaan krisis global (tahun 1999 dan 2009) yang belum sepenuhnya pulih. Hal ini ditambah dengan tekanan politik domestik yang belum cukup kondusif bagi perekonomian (kasus bank Century). Pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi hanya 4.5 persen, sementara masih ditemukan pengangguran sebesar 8.34 persen atau setara 8.5 juta orang (BPS, 2010).
Keadaan dan permasalahan di atas sangat kontradiktif dengan semangat dan cita-cita kebangsaan yang telah dideklarasikan para pendiri bangsa (founding fathers). Para pendiri bangsa mampu menggali nilai-nilai budaya luhur terutama nilai-nilai filsafat, baik itu filsafat hidup (atau disebut filsafat Pancasila) maupun filsafat keagamaan. Hal ini memberikan identitas dan martabat sebagai bangsa yang beradab, sekaligus memiliki jiwa dan kepribadian yang religius (Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1997). Falsafah kebangsaan itulah yang menghasilkan semangat juang para pendahulu sehingga membebaskan dari belenggu penjajahan.
Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa perlu diimplementasi untuk membangkitkan semangat juang bangsa. Semangat juang itu bukan saja untuk menyelesaikan permasalahan keterpurukan ekonomi, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Kualitas itu akan lahir dari manusia yang berkarakter religius, percaya diri, dan memiliki etos kerja yang tinggi (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). SDM berkualitas inilah yang akan menyusun konsep-konsep kebijakan pembangunan dan menjalankan penyelenggaraan negara yang lebih berorientasi kepada kesejahteraan dalam rangka peningkatan harkat bangsa sebagai manusia.
Konsep pembangunan yang mengutamakan manusia (UNDP, 2009) telah berkembang. Konsep ini telah diimplementasikan dalam sasaran pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) oleh 189 negara termasuk Indonesia pada tahun 2000 (UNDP, 2005). Dengan demikian konsep pembangunan saat ini sesungguhnya telah bersifat utuh, termasuk memadukan aspek lingkungan (natural capital), sosial (social capital), dan ekonomi (man-made capital) (Serageldin, 1996), dalam rangka memberikan manfaat kesejahteraan untuk generasi sekarang maupun akan datang.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dalam rangka pembangunan nasional.
Pendekatan Konseptual
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran, atau secara singkat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan tentang hakekat. Maknanya, dengan mencari atau menyakan apa hakekat, sari, esensi atau inti segala sesuatu, maka jawaban yang didapatkan berupa kebenaran yang hakiki (Sunoto, 1995). Hal ini diperkuat Noorsyam (2009a), yang menyakatakan nilai-nilai filsafat merupakan derajad tertinggi pemikiran untuk menemukan hakekat kebenaran.
Filsafat dapat dilihat dalam dua aspek, sebagai metode dan pandangan (Poespowardojo, 1994). Sebagai metode, filsafat menunjukkan cara berpikir dan analisis untuk menjabarkan ideologi Pancasila. Sebagai pandangan, filsafat menunjukkan nilai dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi ideologi Pancasila.
Dengan demikian, menurut Poespowardojo (1994), filsafat Pancasila dapat didefinisikan secagai refleksi kritis dan rasional tentang pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh. Filsafat mampu membuka pemikiran yang lebih luas dan rasional sehingga cara pandang terhadap ideologi menjadi lebih terbuka dan fleksibel (tidak kaku atau beku). Manusia diberi peluang mengembangkan persepsi, wawasan dan sikapnya secara dinamis agar menemukan kebenaran, arti dan makna hidup. Oleh karena itu filsafat dapat dilaksanakan dengan membahas perihal kehidupan, misalnya pembangunan, modernisasi, kemiskinan, keadilan dan lain-lain.
Menurut Noorsyam (2009b), filsafat pancasila memberi tempat yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sebagai implementasi sila pertama dan kedua Pancasila). Karenanya setiap manusia seyogyanya mengutamakan asas normatif religius dalam menjalankan kehidupannya, sebagai berikut:
1. Perlunya keseimbangan antara hak asasi manusia (HAM) dengan kewajiban asasi manusia (KAM). HAM akan tegak bila manusia menunaikan KAM sebagai amanah dari Tuhan
2. Menunaikan KAM mencakup (i) pengakuan sumber HAM (life, liberty, prosperity) adalah Tuhan, (ii) mengakui dan menerima penciptaan alam semesta dan (iii) bersyukur kepada Tuhan atas anugerah dan amanah yang diberikan kepada manusia.
Manusia diberi oleh Tuhan kemampuan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya (Al Baqarah : 30 – 34). Manusia diminta untuk mengelola seluruh alam dan seisinya dan diperuntukkan bagi umat manusia. Alam dan seisinya tersebut dalam pengertian lingkungan hidup (menurut UU 23 tahun 1997) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Menurut Hasibuan (2003), manusia Indonesia memiliki potensi illahiyah, dan bisa merealisasikan potensi illahiyahnya menjadi manfaat seluruh bangsa. Anugerah kemerdekaan adalah bukti realisasi illahiyah yang diberikan para pendiri bangsa ini.
Dengan menunaikan kekhalifahan itu manusia senantiasa mengalami pembelajaran. Pembelajaran diperlukan agar bangsa Indonesia dapat melalui tantangan internal maupun global dan berbagai dinamikanya. Proses pembelajaran dan iptek diharapkan menghasilkan kemampuan untuk mengadakan adaptasi atau justifikasi terhadap proses kehidupan yang baru dan menjalankan inovasi untuk menciptakan kualitas dan daya saing yang makin baik. Daya saing hanya akan meningkat, seiring dengan proses pembelajaran yang rasional dan kritis serta kreativitas di kalangan masyarakat (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010).
Menurut Laboratorium Pancasila IKIP Malang (1997), Pancasila sebagai falsafah pandangan hidup bangsa, seyogyanya dicerminkan ke dalam prinsip-prinsip nilai dan norma kehidupan dalam berbangsa, bernegara dan berbudaya. Poespowardojo dan Hardjatno (2010) menyatakan moral Pancasila perlu ditransformasi menjadi moral atau etika politik kehidupan negara yang harus ditaati dan diamalkan dalam penyelenggaraan negara. Moral diamalkan menjadi norma tindakan dan kebijaksanaan, serta dituangkan dalam perundang-undangan, untuk mengatur kehidupan negara, dan menjamin hak-hak dan kedudukan warga negara. Tidak semua norma moral harus dijadikan norma yuridis. Norma yuridis ditetapkan sejauh itu mengatur tindakan-tindakan lahiriah yang menyangkut masyarakat, sedangkan masalah yang semata-mata batiniah adalah urusan pribadi masing-masing warga negara. Dengan demikian, nampaklah bahwa materi perundang-undangan terbatas pada moral bersama rakyat (public morality).
Pendekatan Implementasi
Implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa menggunakan pendekatan konsep pengembangan social capital[1] (Hjerppe, 2003), dalam dua tingkatan. Pertama, pada tingkat makro (institutional environment), mengidentifikasi aspek legal atau politik, yakni aturan hukum dan mekanisme yang mendasari penyelenggaraan negara. Hal ini sejalan dengan Poespowardojo dan Hardjatno (2010) yang menyatakan kebutuhan trasformasi dari moral Pancasila menjadi norma tindakan dan kebijakan, yang dituangkan dalam perundang-undangan. Sasarannya adalah transparansi dan accountibility tata kelola pembangunan. Pendekatan ini untuk membuktikan terjadinya peningkatan kualitas SDM penyelenggara negara.
Kedua, pada tingkat wilayah (institutional arrangement), mengidentifikasi aturan atau mekanisme alokasi sumberdaya di antara unit-unit ekonomi. Pada tingkat region ini, tercipta kelembagaan ekonomi ekologi, cluster, atau kaitan ekonomi riil, yang berdampak langsung kepada masyarakat. Pendekatan ini untuk membuktikan terjadinya peningkatan kualitas SDM masyarakat sebagai akibat peningkatan kesejahteraan ekonomi.
[1] Social capital merupakan jalinan ikatan-ikatan budaya, governance, dan social behaviour yang membuat sedemikian rupa sehingga fungsi dan tatanan sebuah masyarakat adalah lebih dari sekedar jumlah individunya. Social capital dan wujudnya sebagai kelembagaan inilah sumber dari legitimasi berfungsinya tatanan masyarakat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, maupun untuk kepentingan mediasi terhadap konflik dan kompetisi (Serageldin, 1996). Upaya membangun social capital adalah cermin peningkatan equity, social cohesiveness, dan partisipasi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dan koordinasi bersama yang kuat antar individu-individu dari beragam disiplin, organisasi kemasyarakatan (misalnya LSM), private sector, dan pemerintah pada tingkat lokal, regional hingga nasional, sehingga membentuk sinergi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan.