Hampir setiap hari TV menyuguhkan gambar kejadian kriminal. Koran juga menyajikan berita penyalahgunaan wewenang jabatan. Radio melaporkan kecelakaan lalu lintas. Gambar pelanggaran sungguh nyata di hadapan mata, terdengar jelas di telinga, merasuk di dalam perasaan. Pelanggaran seperti itu ternyata sungguh .. sungguh dekat dalam kehidupan semua orang, dalam keseharian, melekat dalam setiap aktivitas. Penulis ingin menunjukkan hal-hal sederhana betapa mudahnya pelanggaran itu terjadi.
Dalam suatu rapat, pemimpin rapat telah dengan baik menyampaikan arahan dan agenda rapat. Ia membatasi diskusi pada dua topik, katakan A dan B. A dan B telah banyak didiskusikan dalam rapat-rapat sebelumnya sebagai jalan keluar dari permasalahan. Namun ternyata ada peserta rapat masih saja ingin memaksakan topik C. Akibatnya diskusi menjadi berlama-lama hanya untuk mengembalikan kepada fokus A dan B. Peserta rapat bersitegang hanya untuk memilah dan memfokuskan rapat. Pada kesempatan rapat lain, seorang pimpinan menyampaikan arahan rapat dengan ’berlama-lama’ atau ngalor ngidul. Diskusi dalam rapat tidak fokus dan membosankan. Peserta rapat keluar masuk ruangan, bahkan ada yang kabur tanpa ijin.
Penulis pernah menghadiri undangan sosialisasi Renstra DPR (sekitar bulan Februari 2011). Peserta sosialisasi adalah para pejabat struktural PT negeri dan swasta dan beberapa dosen, dengan menghadirkan nara sumber anggota DPR. Penulis menyiapkan diri sebagai pendengar sebagaimana layaknya sosialisasi. Penulis kaget, karena forum itu menjadi bergairah dan gerah karena para dosen ‘menyerang’ anggota DPR, dengan menyatakan Renstra ‘seharusnya’ bla.. bla. Sungguh forum sosialisasi menjadi tidak pas. Peserta satu per satu ijin keluar tanpa pamit..
Deskripsi di atas adalah contoh melanggar yang sederhana. Hal-hal yang sering ditemui dalam keseharian. Pada dasarnya, melanggar dimulai dari cara berpikir/pandang, sikap dan perilaku yang tidak proporsional, salah menempatkan diri, tidak disiplin, atau keluar dari sistem. Semua itu mengakibatkan kemudharatan, merugi, dan tentu saja tidak produktif.
Pelanggaran disiplin adalah hal umum ditemui di suatu kantor atau perusahaan. Pelanggaran disebabkan berbagai alasan, mulai hal-hal yang accident atau sistematik. Melanggar karena accident misalnya terlambat masuk kantor karena menunggu/mengantar keluarga yang sakit. Sementara pelanggaran sistematik adalah yang disengaja dan direkayasa dengan mencari kelemahan sistem untuk kepentingan sendiri.
Membangun sistem pada dasarnya adalah membangun disiplin. Melalui sistem disusun filosofi, konsep, peraturan, prosedur, petunjuk teknis dan ukuran baku mutu agar organisasi berjalan mencapai tujuan mutu yang diharapkan. Sistem itu pun mensyaratkan mutu SDM, peralatan, manajemen sesuai kebutuhan dan peruntukan mutu. Dengan demikian, suatu tugas yang telah tersistem akan memiliki standar SDM, prosedur (ruang dan waktu), dan indikator keluaran kinerja. Sistem akan berfungsi manakala ada kedisiplinan melaksanakan standar-standar tersebut tanpa kecuali. Dengan kata lain pelanggaran dalam suatu tugas berarti ada paling sedikit satu standar (dari banyak standar) yang tidak terpenuhi untuk mendukung fungsi tugas.
Bagaimana mencegah pelanggaran?
Upaya atau cara mencegah pelanggaran dapat berangkat dari fenomena sistem dan disiplin. Upaya membangun sistem berarti membangun iptek dan hasil-hasil turunannya untuk kemanfaatan umat manusia. Sementara disiplin dibangun dari pendekatan pendidikan. Sebagai contoh, sistem mitigasi bencana gempa disusun mulai deteksi dini, infrastruktur (dan tata ruang), evakuasi hingga restorasi wilayah. Sistem tersebut memadukan iptek hingga ilmu sosial di dalam rangka mengantisipasi bencana, penyelamatan dan perlindungan manusia, serta restorasi (pemulihan wilayah gempa). Di Jepang sistem mitigasi bencana telah ditekankan kepada masyarakat sejak pendidikan dasar (anak-anak). Anak-anak tersebut memahami benar kehidupan mereka dekat dengan gempa. Hingga dewasa mereka sadar cara merespon gempa. Ketika menjadi insinyur sipil atau tukang bangunan mereka disiplin/ketat mengikuti standar bangunan tahan gempa. Ekonom juga mengerti alokasi anggaran untuk gempa. Politisi mengusulkan dan menerima policy gempa secara bijaksana. Pihak Asuransi juga menerima resiko gempa. Dokter-dokter disiapkan untuk penanganan korban trauma gempa. Nelayan juga mengerti tanda-tanda tsunami. Secara umum, orang Jepang juga tidak panik saat terjadi gempa, saat evakuasi, atau saat menunggu bantuan. Mereka dengan tertib antri menunggu bantuan, serta mempercayai bahwa bencana gempa juga dirasakan orang lain.
Model pembelajaran jaman sebelum tahun tujuh puluhan, atau di pesantren tradisionil terbukti menanamkan pendekatan sistem dan kedisiplinan. Siapapun mahfum sistem kiyai – santri sebagaimana hubungan antara guru (yang amanah) dan murid (yang patuh tawadu’) yang sama-sama berdedikasi. Mereka saling berdisiplin diri untuk mengasah, asih dan asuh untuk mementingkan pembelajaran ilmu agama dan perilaku (lakon) dalam kerangka kepasrahan total kepada Allah SWT. Demikianlah, lulusannya menjadi orang-orang yang tangguh dan punya ghirah untuk mengemban amanah untuk kemanfaatan umat. Demikian pula para guru atau pengasuh tetap menjalankan fungsinya secara konsisten semata-mata karena idealisme pengabdian kepada ilmu agama.
Model pembelajaran saat ini dapat mengambil banyak manfaat dari pengalaman sebelumnya. Para pendidik atau guru saat ini perlu menunjukkan ketangguhan dan ghirah seperti halnya guru-guru dahulu. Pendidik juga perlu menunjukkan keteladanan dalam memelihara sistem dan kedisiplinan sebagaimana makna kata guru (digugu lan ditiru). UU Guru dan Dosen mengatakan secara jelas, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan. Lebih penting lagi, guru atau dosen juga memiliki tanggungjawab moral membangun SDM bangsa, yang memahami cara kerja sistem dan memiliki kedisiplinan.
Membangun model pembelajaran saat ini menghadapi tantangan yang komplek. Saat ini, banyak lembaga pendidikan mulai melanggar khitahnya, dimana guru, dosen dan mahasiswa (termasuk kiyai dan santri) terjebak dalam lingkaran komersialisasi, hedonisme dan kepentingan pragmatis lainnya. Dunia kerja agaknya menuntut lembaga pendidikan mengajarkan ketrampilan berbisnis. Ini sering dimaknai tidak proporsional, dosennya juga harus berbisnis (sampingan atau amatiran).. sehingga melanggar (melupakan) fungsinya sebagai pendidik dan ilmuwan. Sementara di kalangan pesantren, sekarang muncul kiyai politisi, kiyai selebriti, serta santri perlente berbaju necis.
Kepada saudara-sadaraku sebangsa dan setanah air; para guru dan dosen, mahasiswa dan pelajar, siyai, santri, politisi, birokrat dan aparat, pengusaha, selebriti, tokoh masyarakat, tentara dan polisi, buruh, petani, nelayan dll, tetap fokus tawadu’ dibidang masing-masing. Jauhi pelanggaran. Mari banyak belajar iptek dan hidup berdisiplin. Insya Allah bangsa ini akan besar dan maju.
Vila Bukit Sengkaling, Lembah Panderman, 30 Maret 2011