Guru dan guru

Apa jadinya bila guru bertemu dengan kolega guru lainnya, katakan saja mereka baru kenal masing-masing dari kota yang berbeda.  Tentu banyak hal yang bisa didiskusikan, dari perihal profesi hingga tentang keadaan murid dan dinamika kehidupan lainnya.  Demikianlah, penulis sempat memotret, merenungkan dan larut dalam diskusi tersebut, dan memperoleh banyak pelajaran berharga dari mereka.  Mereka, masing-masing guru Fendi dan Yati berasal dari dua sekolah swasta yang memiliki karakter berbeda.  Mereka berdua ditemani kolega guru masing-masing dalam suasana yang terbuka, penuh joke dan dalam suasana kekeluargaan.

Penulis menelaah diskusi dan curhat mereka dalam beberapa hal. Pertama, sejarah.  Guru Fendi menyatakan sekolahnya sudah berdiri sejak tahun 1950an, didirikan oleh pegawai pabrik tekstil dengan misi mencetak lulusan yang punya bekal ketrampilan dalam pertekstilan.  Misi itu sekarang mengalami perkembangan, diarahkan seperti halnya sekolah umum.  Guru Yati mengatakan: “Sekolah kami didirikan oleh orang-orang yang berdedikasi untuk pembangunan pendidikan.  Sekolah kami berdiri sejak awal tahun 1970, dan telah mengalami perubahan nama beberapa kali.  Bahkan yayasan sekolah kami telah memiliki satuan pendidikan tinggi dan setingkat SMA”.

Kedua, perihal tempat kerjanya.  “SMK tempat kami mengajar ada di desa.  SMK kami dikenal sebagai sekolah dengan biaya pendidikan murah.  Kami mendidik siswa agar mereka siap kerja”, demikian kata guru Fendi.  Fasilitas sekolah sangat terbatas, sehingga peran guru sangat penting agar materi belajar terserap oleh siswa, lanjut guru Fendi.  Hal ini ditanggapi ibu guru Yati: “Meskipun kami hidup di kota, siswa kami berasal dari kalangan bawah.  Kami harus berkompetisi dengan sekolah lain untuk mendapatkan murid baru.  Itu sebabnya jumlah siswa kami tidak sebanyak seperti sekolah pak Fendi.  Bahkan kami memberikan beasiswa agar dapat menarik calon siswa”.

Hal ketiga yang didiskusikan adalah perihal kesibukan guru.  Guru Fendi mengatakan: ”Guru di SMK kami berjumlah 72 orang dengan rata-rata mengajar hingga 70 jam seminggu.  Rasio guru terhadap murid memang rendah, namun kami tidak dapat menambah guru karena keterbatasan beaya operasional.  Guru-guru yang ada dioptimalkan dengan mengajar pagi dan sore. Hanya saja para guru senior sangat kesulitan dengan beratnya beban mengajar tersebut.  Bahkan pak Fendi menyebut pak Mahfud yang duduk di sebelahnya sebagai guru senior yang sering ‘mbolos’ karena karena sakit.  Hal ini disambung secara diplomatis bu guru Yati: “Kondisinya hampir sama dengan kami.  Kami memiliki karyawan sangat banyak untuk mendukung pemeliharaan sekolah dan aset-aset sekolah yang telah berkembang.   Guru-guru di sekolah kami mengajar dalam beban realtif tidak cukup banyak karena keterbatasan murid.  Sebagian besar guru kami adalah pegawai negeri sipil dipekerjakan (PNS Dpk).  Ini sangat membantu keadaan anggaran sekolah.

Keempat, perihal tanggungjawab mengelola sekolah.  Kebetulan guru Fendi maupun Yati sedang menjalankan tugas sebagai kepala sekolah.  Guru Yati, yang juga adalah anggota Yayasan, menyatakan: “ Sejak awal kami berkomitmen untuk mengembangkan pendidikan, karenanya Yayasan bertanggungjawab mensupport semua satuan pendidikan.  Rasa tanggungjawab itulah yang kami share bersama dengan semua pihak untuk keberlanjutan penyelenggaraan pendidikan.  Guru maupun karyawan menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk memberikan layanan ke siswa. Dalam nada yang sama Guru Fendi menyatakan, “Setiap awal tahun ajaran kami dan Yayasan senantiasa berhitung-hitung, agar pemasukan dari siswa baru mencukupi untuk biaya operasional dan gaji para guru.  Setiap awal bulan, kami berkejaran dengan iuran SPP siswa untuk operasional sekolah dan gaji guru.

Diskusi semakin cair karena guru Fendi menyebut sertifikasi.  Kami bersyukur, ada sertifikasi sehingga ada tambahan penghasilan  bagi para guru.  Sambil berkelakar, guru Fendi menyatakan tunjangan sertifikasi dimaknai sebagai tabungan sekaligus modal hutang.  Guru-guru sudah keburu berhutang sementara tunjangan tidak rutin turunnya.  Jadi, tunjangan sertifikasi.. justru meningkatkan hutang. Hal ini kurang lebih sama.. di-amin-i oleh guru Yati.  Karena sertifikasi ada guru yang sudah indent mobil keluaran terbaru.

Cerita dua guru tersebut menunjukkan betapa dinamisnya profil guru di tengah perkembangan saat ini.  Profesi guru saat ini secara struktural membuat mereka kurang mandiri, kurang mampu berimprovisasi untuk mengembangkan profesinya.  Sebagai akibatnya, profesi guru tidak memiliki roh sebagai pendidik yang pantas digugu lan ditiru, sehingga tidak layak dikenang masyarakat sekelilingnya.  Prof Soetandyo menyatakan, guru sekarang terlalu diatur oleh birokrasi, dibatasi rambu-rambu mutu.  Hal ini bermakna, seorang guru .. cenderung tidak dipercaya, oleh karenanya dibangun suatu sistem mutu untuk mengawalnya.  Dahulu, yang menilai mutu guru adalah para kolega guru yang terpercaya.  Seorang diberi predikat guru besar karena diberikan penghargaan guru besar oleh koleganya, bukan oleh pejabat administrasi penilai angka kredit.

Cerita guru Fendi menunjukkan satu fenomena.  Ada guru swasta yang penuh haru biru mengejar setoran dengan banyak mengajar.  Karena hanya dengan mengajar ia mendapatkan penghasilan yang cukup.  Itu dilakukan di antara kesadaran untuk memelihara idealisme sebagai seorang pendidik untuk mendidik siswa-siswa yang kurang mampu.  Guru seperti ini mengalami tekanan luar biasa, dan tidak mudah menjadi konsisten dalam profesinya. Dalam posisi ini, siswa melihat guru hanya mengajar di kelas saja.  Siswa tidak memperoleh pembelajaran dan keteladanan guru dari luar kelas berupa ilmu asah asih dan asuh (softskill)

Fenomena kedua, ada guru PNS yang ‘kurang mengajar’ karena keterbatasan siswa.  Guru-guru ini sebenarnya memiliki peluang besar untuk membimbing softskill siswa.  Guru seperti ini dapat melahirkan siswa-siswa berprestasi melalui inovasi dan kreativitas mengembangkan ipteks dan ketrampilan.  Namun, sekali lagi potensi ini jarang terealisasi dan tidak mudah dijalankan.  Guru PNS lebih banyak mengikuti nalurinya sendiri di sela-sela waktu luangnya.  Ada guru yang punya hobi di luar kompetensi profesi guru, ada yang .. malah punya profesi lain.

Pertemuan guru Fendi dan Yati dapat dijadikan pelajaran berharga.  Pengalaman tersebut harusnya dapat menemukan solusi.  Masing-masing dapat saling mensyukuri dengan beraktivitas konsisten di profesinya.  Kolega guru Yati harus menunjukkan rasa syukurnya karena lebih beruntung, hidup di kota dengan kelebihan pendapatan sebagai PNS. Sesungguhnya masih banyak ditemukan guru yayasan, guru tidak tetap, atau guru honorer yang ada di pelosok tanah air di sekolah-sekolah swasta, pesantren, atau yayasan yang profilnya sama dengan kolega guru Fendi.  Hal ini memang problem nasional dalam dunia pendidikan.

Solusi perihal di atas memang memerlukan peran pengambil kebijakan pendidikan.  Guru Yati harus mengupayakan program pengembangan softskill dan kompetensi bagi kolega gurunya. Hal ini adalah modal penting bagi pembelajaran kepada siswa.  Guru Fendi perlu mengusulkan program guru sukarelawan yang dibiayai negara.  Pemerintah perlu serius menyelesaikan kasus-kasus guru swasta, atau kekurangan guru di tempat-tempat tertentu, melalui ikatan dinas untuk sukarelawan guru.  Dan tentu saja tunjangan sertifikasi .. juga lancar datangnya.

Ohh guru…tanggungjawabmu besar, pengorbananmu lebih besar.  Selamat memperingati hari pendidikan nasional.

Vila Bukit Sengkaling, 13 Mei 2011

1 Comment

  1. Ambar Kristiyanto

    Assalamualaikum wwbr,Prof Iwan insyaallah tanggung jawab dan pengorbanan yang besar oleh seorang guru akan menuai hasil yang besar pula baik di dunia maupun di akherat kelak.amien .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *