Makna sebuah peta

Tokoh NgadasHari kemarin itu, sungguh suatu pengalaman yang sangat bermakna. Pada tanggal 13 Juni 2011, penulis sedang melaksanakan diskusi di kampus Universitas Widyagama Malang dengan Penduduk (desa) Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Diskusi bertajuk Pengembangan Kewirausahaan Jasa Ekowisata di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS). Diskusi ini merupakan bagian dari pelaksanaan program penelitian hibah bersaing (PHB) DP2M Dikti tahun 2011, dimana penulis bertindak sebagai ketua peneliti, dengan anggota Purnawan Dwikora Negara, SH., MH dan Dra. Wiwin Purnomowati, Msi.  Pengalaman ini menambah deret memori penulis perihal Ngadas

Bagi penulis, hal ini merupakan pengalaman yang sangat bernilai, karena bisa bertemu dengan tokoh-tokoh desa Ngadas yang luar biasa, khususnya bapak Ngantrulin. Luar biasa bermakna merekalah penentu konservasi tradisi, budaya dan nilai-nilai Tengger. Tokoh tersebut menjalankan siklus hidup budaya Tengger dan mempertahankannya dari berbagai pengaruh perkembangan dunia luar dan kemajuan jaman. Seharusnya budaya Tengger, khususnya Ngadas, menjadi perhatian semua pihak untuk diperhatikan, dihargai dan dipertahankan; seperti halnya suku Badui di provinsi Banten. Suku Tengger di Ngadas masih menyimpan nilai tradisi asli dibanding di Ngadisari atau Ranupane. Suku Tengger di dua desa terakhir ini telah relatif maju dan banyak terpengaruh budaya pasar.

Makna berikutnya, penulis tidak menyangka bisa ikut hadir bersama para tokoh-tokoh itu di Universitas Widyagama. Tidak heran kalau pak Purnawan begitu antusias dan memandang momentum ini sangat luar biasa. Karena memang tidak mudah menghadirkan 15 orang penduduk Tengger di luar komunitasnya. Penulis sangat mengagumi kerendahan hati mereka. Tutur katanya begitu lembut, tenang, mantab dan berisi. Tidak ada hal-hal yang menunjukkan posisi formal ketokohan mereka, seperti halnya perilaku pejabat pemerintah. Padahal merekalah sebenarnya sentral dari perjalanan tradisi dan budaya Tengger yang asli sekaligus menjadi subyek pengembangan ekowisata di TN BTS.

Kepentingan mengkonservasi budaya Tengger adalah sejalan dengan upaya mengkonservasi lingkungan gunung Bromo dan TN BTS. Julukan gunung paling spektakuler terhadap Bromo, harusnya diimbangi dengan perhatian khusus terhadap suku Tengger Desa Ngadas. Karena itu apabila ingin serius mengembangkan potensi ekowisata Tengger, peran Ngadas harus diperhatikan dan ditingkatkan sesuai tata nilai dan tradisi Tengger Ngadas.

Sesuai dengan tujuan penelitian, diskusi diarahkan untuk menggali keinginan dan harapan penduduk lokal, dan berbagai kebutuhan untuk pengembangan jasa ekowisata. Syukur alhamdulillah mereka antusias dan menanggapi positif diskusi ini. Beberapa harapan disampaikan untuk upaya-upaya mengkonservasi budaya dan lingkungan berbasis Bromo dan Tengger. Mereka berterimakasih, bahwa pemnerintah telah melakukan banyak hal untuk meningkatkan ketrampilan dalam jasa usaha ekowisata, misalnya pelatihan mengelola homestay, bagaimana melayani tamu/wisatawan, dll.

Namun mereka juga berharap agar pemerintah menyediakan infrastruktur transportasi yang layak, melatih kemampuan berbahasa Inggris, dan perlakuan yang setara oleh aparat pemerintah lokal. Mereka mengeluh: ”Desa kami hanya dilewati saja oleh penduduk Tumpang atau Gubuk Klakah; pada hal kami yang merawat dan memelihara jalan”.

Sebelumnya, saat penulis menyampaikan pengantar diskusi, para tokoh itu menunjukkan rasa senang sekaligus bangga terhadap salah satu slide yang penulis sajikan. Slide itu adalah peta GoogleEarth yang menunjukkan lansekap pegunungan Bromo dari arah desa Ngadas. Pak Mulyadi Bromoputro dengan bersemangat mengatakan: ”Kami ingin peta itu yang dipasang di bandara, stasiun, atau terminal di jalan-jalan kota Malang (gambar atas).

Beberapa orang, berkali-kali menginginkan peta tersebut untuk dipromosikan.  Mereka yakin peta itu akan menarik wisatawan untuk datang ke Bromo melalui Ngadas.  Bromo selama ini hanya dilihat dari sisi utara, seperti yang banyak terpampang di jalan-jalan Surabaya, Pasuruan hingga Probolinggo” (gambar bawah). Penulis terkejut, peta itu ternyata membuat peserta diskusi bersemangat.

Sesungguhnya, peta GoogleEarth tersebut telah beberapa kali penulis presentasikan, dua kali di forum DP2M-Dikti dan sekali di ESC Rennes (Prancis), tanpa memberi makna apapun.   Namun, sungguh aneh.. justru oleh penduduk Ngadas .. peta itu diberi makna dan menjadi bermakna.

Penulis menemukan hal luar biasa.. penduduk Ngadas yang biasa, sederhana.. ternyata mampu melihat yang hal yang luar biasa dan bermakna.  Sudah sewajarnya semua orang perlu dan harus mendengarnya, dan memaknainya.

Bacaan tambahan (kompas.com 1, 2, mediaindonesia.com 3, 4)

Malang, 14 Juni 2014

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *