Berpikir aneh

Sebastian Vettel telah memenangkan juara dunia ajang F1 tahun 2011, kendati masih menyisakan empat balapan hingga akhir musim.   Ia memegang rekor termuda menjadi juara dunia dua kali berturut-turut, memecahkan rekor lama yang dipegang Schummy.  Hingga balapan ke lima belas di Suzuka, Jepang, ia telah memenangi 9 balapan. Tulisan ini tidak berkehendak mengulas perihal balapan F1.  Tetapi mencoba melihat sisi lainnya, dengan mengutip kata-kata Vetel: ”Saya pikir, ketika kita mulai berpikir terlalu banyak, apalagi yang di luar kendali kita, maka biasanya yang kita inginkan justru terlepas.  Dan itu salah.  Aku tidak mau berpikir aneh-aneh” (Jawapos, 7 Oktober 2011) .  Pernyataan Vettel itu disampaikan ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang peluangnya memenangi balapan musim ini.

Makna pernyataan Vettel sangatlah mendalam.  Itu menunjukkan kedalaman pemahaman Vettel perihal keterbatasan rasio dan pemikiran manusia.  Seorang Vettel tahu batas-batas kelemahannya meski dunia balap F1 terkenal canggih, terukur, rigid dan sistemik. Memang, kemampuan rasio manusia sangat luar biasa.  Telah banyak kemajuan dan kemudahan karena rasio dan berbagai produk iptek yang dihasilkan.  Itu semua berjalan sesuai dengan penelaahan manusia terhadap hukum-hukum Allah (sunatullah).

Namun terkadang rasio manusia juga tidak terkendali.  Rasio telah dimanfaatkan untuk menekan kemampuan makhluk lainnya.  Rasio digunakan untuk kepentingan individu atau kepentingan manusia semata.  Konsepsi umum tentang ekonomi pasar adalah realitas ekspektasi rasio ekonomi yang justru menghasilkan krisis ekonomi.  Masih kuat dalam benak perihal krisis ekonomi Asia tahun 1998, dan krisis global tahun 2008.  Kiranya hal ini tentu tidak pada tempatnya.  Konsepsi ekonomi dunia saat ini sedang menelaah pentingnya ekonomi riil, ekonomi syariah dan ekonomi institusi.

Rasio terkadang juga tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau menjadi tidak rasionil.  Lihat saja, saat takut terhadap ruang gelap.  Maka ketakutan itu menimbulkan rasio-rasio yang nyleneh, ada pocong, hantu atau dedemit lainnya.   Seseorang yang berpendidikan tinggi pun menjadi tidak rasionil saat kedudukannya (atau jabatannya) mendekati habis.  Lahirlah post power syndrome, mendatangi paranormal untuk menyelamatkan jabatannya.  Seseorang yang menduduki jabatan baru pun, menjadi tidak rasional karena mandi kembang kursi kantornya.

Saat ini, di Indonesia (atau seluruh dunia) sedang memulai keberangkatan haji.  Seperti biasanya calon haji senantiasa hafal dengan nasehat akhlak haji: “Yang penting ikhlas, pasrah, dan istiqomah beribadah”.  Nasehat itu diperlukan dan relevan untuk mengendalikan rasio manusia.  Bahwa memang ada kekuatan di luar kemampuan rasio yang menjalankan kehidupan umat manusia. Jemaah calon haji yang berusia resiko tinggi menurut ukuran medis, ternyata tampil greng dalam beribadah.  Sebaliknya, yang saat berangkat sehat walafiat, tampak loyo di tanah suci.

Karena itu, sebaiknya jangan terlalu rasionil, tidak perlu mengandalkan semata-mata pikiran manusia.  Semata-mata pikiran yang dikembangkan sendiri.  Berbagai fenomena yang cenderung mengandalkan rasio antara lain:

Ketakutan.  Takut sesungguhnya suatu perasaan yang wajar dan rasionil.  Takut kehilangan jabatan, takut tidak lulus ujian, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang-orang yang disayang, takut sakit dan rasa cemas lainnya.  Yang tidak wajar adalah takut yang berkepanjangan.  Pada pikiran biasanya ditayangkan film yang disutradarai sendiri, ditonton sendiri, dan endingnya takut sendiri.  Pada posisi ini pikiran terbelenggu rasa takut yang berlebihan dan berkepanjangan sehingga tidak proporsional lagi untuk memulihkan keadaan.  Seorang mahasiswa yang takut tidak lulus ujian harus melawan perasaaannya dengan perencanaan dan kerja keras belajar.  Bukan dengan cara menyiapkan kerpekan/contekan.

Dont be angry manMemaksakan kehendak.  Selalu saja dalam sekumpulan orang ada yang punya kecenderungan memaksa diri.  Orang seperti ini, sesungguhnya memiliki kemampuan analisis yang baik dan logis.  Bahkan teramat logis dan rasionil.  Orang seperti ini makin menyolok tampilannya karena ada yang ingin diharapkan, ingin diusung, ingin dipaksakan.  Cara berpikirnya sangat logis dan masuk akal sebagai landasan argumentasinya.  Namun, karena caranya yang memaksa, menekan dan menyerang.  Maka biasanya terjadi penolakan oleh orang-orang sekelilingnya.  Orang-orang seperti ini patut dikasihani, terkucil.  Cara berpikirnya tidak mempertimbangkan keadaan lingkungannya.  Dalam organisasi modern, orang-orang seperti ini “habis” kariernya, selalu ditolak lingkungannya.

Tidak percaya diri.  Penulis sangat sering menemui kejadian-kejadian seseorang yang percaya diri (PD) tampil di muka umum sekalipun kemampuannya belum memadai.  Penulis sangat kagum dengan mereka.  Pernah penulis memuji seorang mahasiswa atas presentasi seminar yang bagus dan baik.  Ia menjawab:”Saya cuma nekad dan pasrah Pak”.  Mahasiswa tersebut memang sering menjawab berbagai pertanyaan dengan “Saya tidak meneliti tentang hal itu” sebagai jawaban diplomatis atas kekurangannya.  Sebaliknya, banyak orang yang tampil tidak jujur, tidak terbuka; mengandalkan pendekatan personal meminta dukungan dan bantuan.  Orang-orang ini menggunakan rasio dari pikiran sendiri, cara-cara sendiri, dan untuk kepentingan sendiri.  Dengan kata lain tidak PD, tidak siap berkompetisi secara jujur dan terbuka.

Lupa diri.  Kemampuan rasio pada tingkat tertentu menghasilkan sikap lupa diri.  Lupa diri umumnya dimiliki seseorang yang punya “kelebihan” dan underestimate terhadap lingkungannya.  Seorang guru besar cenderung meremehkan guru kecil.  Seorang pejabat membandingkan dengan anak buah.  Seorang jendral tidak mau bersosialisasi dengan bintara.  Seorang Doktor tidak menghargai master.  Real Madrid underestimated terhadap Real Betis.  Perbandingan, pembedaan atau diskriminasi itu lahir dari (ukuran)  rasio sebagaimana dipelajari dalam konsepsi statistika.  Fenomena ini dengan mudah diamati oleh lingkungannya.  Orang-orang memberi komentar seperti  “Bapak itu sekarang bersikap lain setelah menjadi anggota dewan”.  “Ibu itu sekarang tidak mau menyapa kita sejak naik haji”. “Ia menjadi berbeda sejak punya jabatan”

Para pembaca, bagaimana menghindari cara perpikir atau rasio yang berlebihan.  Jawabannya sederhana: “Yang penting ikhlas, pasrah, dan istiqomah beribadah”.  Hanya orang-orang yang mau belajar bisa bersikap demikian.  Seorang Vettel saja bisa.  Mengapa kita tidak?

Vila Bukit Sengkaling, Lembah Panderman, 13 Oktober 2011

2 Comments

  1. berfikikir aneh yg membahayakan.
    Langit yg terguncang hny membuahkan seikat gegap gempita & riuhnya kicauan kawula..
    Gelegar sangkakala di hari penghujaman menjadi titik balik,,
    Serasa esok tak hanya diam, menggugah rasa yg sedikit terperanjat…
    Tak ayal, sebuah bendo samudra menjadi penghubung hati.
    Siapkan diri demi menyongsong rusaknya tatanan.
    Yg kuat bertahan, yg lemah pasti mati Itulah hukum rimba raya dalam sebuah kitab gumelar.seorang politikus sejati boleh untuk menginjak kepala teman sendiri demi sebuah kekuasaan.itulah yang dinamakan lumrahe urip marang jagat alam ndunyo.

    • dengan memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan, dan tunduk pada sunatullah; pasti akan membangun muamallah yang baik pula. Tidak perlu berpikir yang terlalu rasionil dan aneh-aneh. Terimakasih atas komentarnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *