Dibalik Keyakinan

Penulis saat ini menjalankan tugas yang teramat berat, sedang menjalankan amanah untuk kemanfaatan banyak orang.  Saat menerima amanah tersebut, hanya keyakinan saja yang penulis punya.  Keyakinan yang dilandasi doa.  Keyakinan, doa, sabar, keyakinan, doa, sabar dan hanya berdoa.  Penulis yakin hanya itulah yang bisa menolong dan memberikan jalan keluar.  Penulis yakin, doa banyak orang itu; dalam kebersamaan; perasaan yang sama, tekad yang sama, keinginan yang sama, akan memberikan energi yang luar biasa bagi organisasi ini untuk bergerak maju.

Upaya membangun kebersamaan atau memahami perasaan, yang paling tepat adalah dengan berkomunikasi.  Komunikasi dalam suasana bebas, menghargai, menghormati dan penuh kekeluargaan.  Benar para pembaca.  Beberapa hari terakhir ini penulis sengaja bertemu dengan banyak orang.  Penulis ingin belajar menjadi pendengar, ingin memperoleh informasi, ingin berkaca dari pikiran saudara-saudaraku, dari senior, yunior atau sebayaku.  Ya benar, yang paling tepat adalah hanya dengan mendengar.  Lagi pula, penulis juga punya kelemahan dalam menggurui, atau cenderung banyak omong.  Menggurui berkonotasi sengaja meninggikan diri, sejenis dengan menyombongkan diri. Sungguh mengejutkan, dan sekaligus bersyukur.  Penulis memperoleh pembelajaran yang luar biasa.  Hati penulis merasa bergetar, sejenak terdiam, kemudian mata berkaca-kaca.  Pembelajaran yang luar biasa.  Penulis bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang itu.  Mereka berpikir luar biasa, berucap luar biasa dan bersikap luar biasa.  Dengan jujur penulis akui, meraka adalah orang-orang yang luar biasa.

Catatan-catatan pembelajaran tersebut penulis urakan berikut.

Kesabaran.  Seseorang dengan kalem dan lembut menyatakan: “Kami ini sudah sangat-sangat sabar.  Teramat sabar”.  Kawan tersebut memberi makna mendalam tentang makna sabar, antara lain sangat loyal, sangat cinta, sangat memahami, dan mau berjuang untuk organisasi. “Andai kata tidak sabar, kami sudah demo, protes keras atau sudah keluar dari kantor ini”, ucapnya. Penulis meresapi benar alasan-alasan dibalik kesabaran itu. Merekalah ujung terdepan dalam layanan dari berbagai fungsi unit-unit kerja Ditengah dinamika keterbatasan dan kendala tugas yang menjadi tanggungjawabnya, sesungguhnya mereka yang mengupayakan sistem tetap berjalan.  Mereka sesungguhnya telah menunjukkan pengendalian diri, dan mementingkan berjalannya sistem organisasi, sehingga berjalan sesuai dengan mekanismenya.  Kesabaran itulah yang menggugurkan pendekatan/sudut pandang rasio memahami organisasi ini.  Mengapa? Karena rasio memandang underestimate organisasi ini.  Ini bermakna, kesabaran telah menunjukkan daya jangkau melebihi aspek rasio.

Disiplin dan kebersamaan.  Semua orang memandang disiplin adalah kunci utama kinerja organisasi.  Banyak yang bersepakat dengan itu.  Apabila seluruh SDM berdisiplin pasti akan tercapai kemajuan.  Namun seseorang menyatakan, disiplin memerlukan penempatan yang proporsional.  Disiplin perlu diimbangi dengan kesejahteraan.  Seorang teman mengatakan: “Ukuran kedisiplinan lebih tepat dan perlu didahulukan kepada atasan, sementara ukuran kesejahteraan dikenakan harusnya dikedepankan untuk bawahan.  Pernyataan ini terucap dari seorang karyawan staf.  Ia beralasan, banyak kejadian-kejadian yang kurang proporsional yang mudah teramati.  Sayangnya penyelesaian masalah tersebut selalu tidak tepat, atau salah sasaran.  Atasan tidak tersentuh kedisiplinan, bawahan tidak terkena kesejahteraan.  Bawahan lebih sering terkena pelanggaran disiplin, sementara atasan lepas dari tanggungjawab disiplin.

Menjadi yatim piatu. Dalam keadaan susah atau senang, seseorang seyogyanya  senantiasa ingat kepada Tuhan.  Seorang teman memberi pesan: “Tolong jalankan kepemimpinan yang berlandaskan norma keagamaan.  Hanya Allah yang memberikan perlindungan dan pertolongan.  Kepemimpinan tidak sekedar manajemen organisasi semata, namun penuh dengan nilai-nilai spiritual”.  Teman tersebut bahkan minta penulis menjadi yatim piatu, sebagaimana seseorang yang berjalan di padang pasir sendirian.  Sehingga dengan itu, maka hanya pertolongan Allah yang menghidupkan manusia.  Hanya upaya-upaya manusia sendiri, dan doa, yang menentukan masa depan manusia itu sendiri.  Sekalipun menjadi pemimpin dengan gelar profesor, ia adalah tidak bermakna.  Sikap itu perlu terus diciptakan agar selalu rendah hati terhadap orang-orang lain.  Kerendahan hati yang dimiliki yatim-piatu.

Kepercayaan.  Kepercayaan adalah modal luar biasa bagi upaya-upaya pengembangan.  Seorang anak yang dipercaya orang tuanya, dengan positif akan dimanfaatkan dan direalisasikan sebagai prestasi.  Ia akan bebas berimprovisasi merealisasikan potensinya menjadi produktivitas tinggi. Penulis bersyukur dalam perjalanan hidup ini sering menerima kepercayaan; dan penulis manfaatkan hingga detik ini, termasuk menerima amanah waktu untuk mengisi blog ini dan berbagai dengan para pembaca.

Saat mendekati sekelompok orang, penulis didatangi seseorang sambil berbisik: “Beri kami kepercayaan.  Insya Allah kami mau belajar, kami akan tertantang menyelesaikan masalah.  Penulis tertegun mendengar hal itu, dengan sedikit mengamati gurat kecemasan di wajahnya.  Kemudian penulis menanyakan ruang lingkup tugas dan kemampuannya.  Jawabannya sangat logis dan layak dipercaya.

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa ingin dipanjangkan UMURNYA, dilapangkan RIZKINYA dan diselamatkan dari SU’UL KHATIMAH, hendaklah dia bertakwa kepada Allah dan BERSILATURRAHIM.” [HR Bazzar]

Penulis sungguh menyukai silaturahim ini.  Penulis benar-benar menikmati komunikasi mendengar itu.  Terkadang ada saja kawan yang berbicara bertele-tele, ngalor ngidul.. namun itu segera berakhir menjadi joke nan menghibur, karena dipulihkan oleh ledekan kawan yang lain.  Ya.. ledekan, usil, ataupun gurauan itu sungguh alamiah.. hiburan yang murah.

Saudaraku semua.. mohon doanya.

 

Vila Bukit Sengkaling, 5 Oktober 2011

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *