Wajah-wajah . .

Penulis agak ragu memulai menulis. Takut mengganggu kekhusukan beribadah haji.  Namun hasrat menulis ini nampaknya tak tertahankan.  Beberapa tulisan selama ibadah haji akan muncul tidak secara berurutan, lepas-lepas, temanya perihal yang ringan-ringan atau mungkin serius, juga berbentuk puisi, yang mengalir dari pengamatan atau pikiran spontan. 

Tulisan ini dimulai dengan pengamatan beberapa hari ketika baru saja tiba di Mekah.  Kami, penulis, istri dan rombongan bersyukur dapat melewati tahapan umroh wajib dengan lancar, selesai tepat bakda Subuh, 29 Oktober 2011. Alhamdulillah kami dalam keadaan sehat, dapat menjalankan ibadah sholat wajib dan sunah, memanjatkan doa, dan membaca Quran di Masjidil Haram.  Kami sangat menikmati keadaan dan suasana baru di tanah suci ini sekalipun memberatkan secara fisik. Jarak maktab dengan masjid sekitar 2 km.  Kami juga menikmati pemandangan di dalam masjid dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, berpindah antar lantai, melihat Ka’bah dari berbagai sisi.

Hingga saat ini diperkirakan sudah ada empat juta jemaah calon haji dari seluruh dunia yang mendatangi kota Mekah.  Sebanyak itu pula wajah-wajah calon haji menampilkan potretnya.

Penulis memulainya dengan wajah-wajah gembira.  Bagaimanakah mereka itu?  Itulah yang dapat diamati di sekitar Marwah.  Wajah gembira, ceria, diiringi senda gurau dan saling sapa karena mereka sedang atau selesai tahalul atau potong rambut.  Mereka bersyukur karena menyelesaikan tahapan akhir umroh wajib, bagi yang menunaikan haji tammatu.  Betapa tidak, para jemaah tersebut baru saja hadir di Mekah, langsung ke maktab, dan pergi thawaf.  Hal yang benar-benar melelahkan secara mental dan fisik.

Hal gembira lain adalah saat berkenalan antar jemaah baik dengan bangsa sendiri maupun dengan dari negara lain. Diantara mereka saling bersalaman, berbincang, bahkan diiringi tertawa geli karena seringkali menggunakan bahasa Tarzan.  Mereka saling memberi permen atau kue. Nampak juga ada yang belajar Quran dengan yang lebih fasih.

Wajah gembira sangat banyak ditemui terutama di waktu senggang di seputaran luar masjid Haram, di pelataran luar Sai, atau di luar pintu 79 (sekitar hotel grand zam zam).  Disinilah para jemaah bersenda gurau dengan kawan, kerabat, atau kenalannya.  Terkadang mereka sambil tiduran, makan, minum, atau menelepon.  Mereka dapat tertawa lepas saat menelfon, mungkin sedang mengabarkan kepada keluarganya di tanah air.  Penulis sering mengamati jamaah dari India sangat-sangat menikmati udara bebas di pelataran luar masjid.

Bagaimana dengan wajah-wajah berharap? Wajah-wajah inilah yang paling banyak ditemui, bercampur dengan rasa haru dan tangisan.  Umumnya mereka sedang memanjatkan doa kepada Allah, memohon ampunan, kelapangan/keringanan jalan, kemudahan hidup, dan  kedamaian/ketenangan. Penulis banyak menemui hal tersebut di sekitar arah segaris Multazam. Mereka berdoa sambil memandangi Ka’bah, beberapa diantaranya menangis sesenggukan.  Di tempat ini penulis ikut hanyut dalam haru dan tangis. . . merasakan syukur luar biasa bisa hadir di Baitullah ini. Penulis berdoa untuk kedamaian bangsa-bangsa di dunia, kemakmuran bangsa Indonesia, kekuatan mengemban amanah keluarga dan lembaga bekerja, kebaikan untuk anak-anak dan keturunan; serta doa-doa lain untuk kemudahan mengunjungi Baitullah.

Wajah berharap juga nampak saat antri air zam zam.  Di masjid haram, telah disediakan banyak kran-kran atau tong air zam zam di berbagai tempat.  Jumlahnya mencapai ratusan; mungkin ribuan.  Namun hal ini tidak cukup dibanding jumlah jemaah saat menjelang puncak haji (menjelang wukuf).  Itulah sebabnya, pemandangan antri air zam zam teramati di banyak tempat.  Namun wajah berharap tersebut segera berubah menjadi gembira.., bukan karena gilirannya telah tiba.  Namun jemaah yang di depan dengan mimik tersenyum mengulurkan segelas air zam-zam untuk diberikan ke jamaah di belakangnya.  Allah telah membukakan hati setiap jemaah untuk peduli kepada jemaah lain.  Disinilah kemudian terdengar kata-kata ucapan terimakasih.., thank you, syukron, danke

Bagaimanakah dengan wajah-wajah sedih? Banyak juga hal ini ditemui, di sekitar masjid atau di tempat lain.  Suatu saat, ketika penulis dan istri menunggu angkot untuk berangkat sholat Shubuh di Masjidil Haram. Karena angkot tidak segera datang, kami putuskan untuk berjalan kaki.  Baru beberapa langkah berjalan, penulis dikejutkan oleh sepasang suami istri yang nampak sedang tersesat.  Si suami mengenakan ihram.  Penulis meyakini, mereka baru selesai umroh dan terpisah dari rombongan.  Mereka nampak bingung dan cemas.  Penulis mendekati dan menyapa mereka. Benar saja, mereka tersesat.  Mereka berasal dari Cilacap, kloter akhir gelombang dua.   “Bapak dan ibu akan kami antar ke posko Indonesia, apakah bapak ibu masih kuat berjalan?”, penulis coba memberi jalan keluar.  Penulis membaca wajah ibu tua itu nampak lelah sekali.  Namun apa yang terjadi? datanglah angkot kosong (hanya ada satu penumpang).  Subhanallah, kami langsung naik angkot tersebut menuju masjid dan searah menuju posko Indonesia.  Di posko, wajah suami istri segera berubah ceria saat dijelaskan dan dibantu petugas haji Indonesia.

Wajah sedih juga terjadi pada wanita-wanita yang diminta mundur dari shaf depan.  Petugas masjid meminta wanita untuk mundur; shaf depan hanya ditempati oleh jamaan laki-laki.  Mereka ini sudah datang lebih awal untuk mengisi shaf depan di wilayah masjid yang memberi toleransi perempuan dan laki saling berdampingan.  Mereka merasa telah lama mendambakan hadir di masjid Haram, ingin melihat Ka’bah.  Mereka telah melewati masa tunggu untuk diberangkatkan ke tanah suci dari negaranya.  Mereka sangat kecewa tidak dapat menikmati shaf depan sambil memandangi Ka’bah.

Cerita wajah sedih lainnya, ada jamaah wanita (berusia enampuluh tahunan) yang bersembunyi ketakutan di kamar mandi di lantai 2.  Padahal nenek tersebut, Rofiah namanya, tinggal di lantai 6 pada maktab yang sama dengan kami.  Kata ketua kelompoknya, nenek Rofiah memang sedang merindukan putranya yang sedang kerja di Saudi.

Mekah, 2 Nopember 2011.

1 Comment

  1. Erna Anastasia

    Terima kasih Pak Iwan, bisa sebagai obat kerinduan ke Masjidil Haram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *