Tiga kunci sukses Pep

Tulisan ini juga terbit di blog kompasiana

Siapapun mengenal Josep “Pep”  Guardiola. Ia adalah pelatih Barcelona yang meraih  penghargaan Ballon d’Or tahun 2011, suatu penghargaan untuk insan bola terbaik yang digelar Selasa (10/1/2012) di Zurich.  Kesuksesan Pep tersebut dibangun sejak usia muda.  Ini tentu menunjukkan kemampuan asah, asih dan asuh dalam dirinya seiring pembelajaran dalam kehidupan “dunia bola”. Ia pernah menjadi pemain yang lumayan sukses, antara lain  Barcelona, Brescia, Roma, Al-Ahli, dan Dorados, bermain 378 kali dan mencetak 17 gol.  Ia juga bermain di tim U-21 dan tim utama nasional Spanyol, sebanyak 47 kali dan mencetak 5 gol. Ia turut membawa Spanyol juara Olimpiade Barcelona 1992.  Kemampuan dan pengalaman itu membuatnya matang mengelola Barcelona.  Ia sukses mengelola klub kaya itu dengan tiga kunci, yaitu penguasaan teknik, sabar dan respek (rasa hormat).  Tiga kunci itu juga merupakan hal umum dalam manajemen organisasi umum.

Penguasaan teknik

Permainan Barcelona selama ini identik dengan penguasaan bola, teknik individu tinggi, dan pemain tengah.  Hal tersebut dikelola dengan baik untuk menyajikan pengendalian permainan dan terciptanya gol-gol indah dan terencana. Pep belajar banyak dari senior-seniornya Johan Cruyff (mantan pelatih Barcelona) dan Juan Manuel Lillo (mantan Pelatih Almeria).  Pep mengimplementasikan dalam mengelola formasi pemain dan permainan tim.

Penguasaan lapangan tengah adalah ciri sepakbola modern saat ini, yang didukung pemain lini tengah yang handal. Ia menginginkan untuk memiliki banyak pemain di posisi tengah atau gelandang serba bisa yang siap ditempatkan (fleksibel) dalam posisi apa pun. Posisi pemain tengah yang mobil ini siap setiap saat menyerang masuk pertahanan lawan atau assist untuk eksekusi gol-gol.  Ia tidak menyiapkan pemain depan khusus untuk menyerang, tetapi lebih suka menyiapkan pemain-pemain tengah untuk menciptakan gol-gol dari penguasaan bola hingga area pertahanan lawan.  Itu sebabnya, Messi, Xavi, Iniesta, Fabregas, Villa, punya pergerakan dan peluang sama mencetak gol.  Bahkan Dani Alves yang pemain bertahan juga sering masuk ke pertahanan lawan. Hasilnya, Barcelona sangat ditakuti lawan-lawannya.  Barca menjadi tim tersubur di seluruh liga yang diikuti, menghasilkan sekitar 150 gol di semua kompetisi. Tahun 2011, Barcelona merengkuh lima trofi, termasuk Liga Champions, La Liga serta Piala Dunia Antar Klub.  Guardiola mencatat sejarah di Barca dengan 12 trofi dalam kurun waktu tiga tahun.  Dalam tiga tahun terakhir, Barca menjuarai liga Spanyol, diantaranya meraih tiga gelar sekaligus (treble), yaitu: La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions. Guardiola mencatat sejarah di Barca dengan 12 trofi dalam kurun waktu tiga tahun (1, 2).

Konsep penguasaan pemain tengah juga dianut oleh banyak pelatih, termasuk pesaing Pep di penghargaan Ballon d’Or tahun 2011, yakni Alex Ferguson (Mancester United) dan Maurinho (Real Madrid).  Namun dalam prakteknya, Pep lebih mulus dan harmoni menerapkan di lapangan.  Pep tidak menggantungkan permainan pada seseorang.  Pep tidak kuatir dengan David Vila yang sedang cidera.  Ia bahkan merasa kebanyakan stok pemain.  Iklim kompetisi masuk tim inti Barca sangat terbuka bagi semua pemain.  Hal ini tercipta begitu alamiah tanpa peran atau intervensi sang pelatih.

Sabar

Karakter Pep yang sangat menyolok adalah tenang, tidak meledak-ledak, dan tidak kontroversi.  Ia menyadari perhatian yang sangat tinggi dari media massa terhadap Barcelona, tim, maupun kepada dirinya.  Ia sadar sedang berada dalam area kompetisi tinggi dengan Real Madrid, dalam liga Spanyol, atau liga Eropa.  Hal ini sangat menguras tenaga dan pikiran, dan terkadang diiringi emosi tinggi.  Pep sangat mengerti dan berpikir jauh untuk menonjolkan dirinya dalam berpolemik perihal hal-hal kritikal.

Satu hal yang berbeda dari pelatih lainnya, Pep sangat menghindari kritik terhadap wasit (3).  Bahkan ia hampir  tak pernah mengkritik wasit. Ia menganggap mengkritik wasit adalah langkah sia-sia dan tidak bermanfaat, karena aturan sangat melindungi korps pengadil itu.  Ia sadar, sekalipun wasit merugikan timnya, atau kepemimpinan wasit yang buruk, sangat tidak mungkin menyampaikan kritik atau protes.  Karakter Pep ini sangat berbeda dengan Alex Ferguson atau Mourinho.  Keduanya sering ramai di media massa karena protes terhadap wasit.  Akibatnya, dua orang itu sering dihukum asosiasi tidak boleh mendampingi pemainnya bertanding.

Untuk mencegah kerugian tim akibat keputusan wasit, Pep lebih memilih instrospeksi ke dalam tim. Ia tekankan timnya untuk tampil lebih baik lagi, dengan meminta pemainnya untuk menghindari kesalahan tidak perlu, mencegah tindakan yang merugikan dan menyulitkan tim, menghindari provokasi lawan dan kejadian lepas kontrol lainnya.  Ia mementingkan apa yang seharusnya dilakukan oleh tim, bukan apa yang wasit lakukan. Intinya, bila ada keputusan wasit yang merugikan, maka ia minta pemain untuk bermain lebih baik lagi.  Bila timnya kalah, berarti tim lawan memang lebih baik.  Ia segera mengevaluasi dan menekankan untuk bermain lebih baik.. dan lebih baik lagi.

Sikap tenang dan Sabar Pep itu sangat bermanfaat untuk tim.  Suasana tim menjadi lebih nyaman sekalipun tekanan dan kondisi kompetisi meninggi.  Sikap tersebut juga mencegah timbulnya konflik dalam tim.  Tim lebih pasti dan fokus untuk memperbaiki kemampuan teknis pemain dan strategi.   Semuanya berjalan sesuai rencana untuk meningkatkan kualitas permainan.

Saling menghargai

Guardiola sangat menghargai dan memaknai arti kepercayaan.  Ketika kepercayaan itu diberikan kepadanya, ia akan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.  Ia sadari bahwa saat awal menangani Barca banyak yang meragukannya, meski ia sukses mengantarkan Barcelona B juara divisi.  Pep mengenal betul karakter dan roh manajemen, fans dan birokrasi Barca.  Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan:” ..yang saya lakukan adalah untuk selalu setia kepada Barcelona dan sejarahnya bahwa Barcelona adalah sebuah klub besar dalam segala hal”. Ia menginginkan pemain lokal asli binaan Barca menjadi lebih baik. Menangani mereka dalam cara yang benar dan tidak takut untuk memberi kesempatan mereka main.  Sikapnya yang terbuka ini membuat motivasi setiap pemain punya peluang masuk tim inti.

Sikap Pep yang tenang memudahkan datangnya kepercayaan kepadanya.  Rasa respek mengalir dengan waktu. Maka ia tinggal konsentrasi ke hal-hal teknis permainan dengan   memberi kepercayaan penuh kepada pemain. Ia menjelaskan kepada pemain untuk bekerja keras, berlari, bermain sepakbola yang baik, memuaskan fans, dan menghasilkan kebanggaan pada profesionalisme di lapangan. Ia meramu tim dengan konsep dasar bermain untuk menyerang, mencetak gol sebanyak-banyaknya, dan bermain sebaik mungkin.

Pep juga mengajak timnya untuk menggunakan akal sehat.  Ia minta Messi dan kawan-kawan untuk beristirahat dan diet yang baik di rumahnya masing-masing.  Itu penting untuk membentuk kekuatan otot untuk mendukung stamina di lapangan.  Ia sangat percaya pemainnya bisa mengelola dirinya sendiri, mengambil keputusan dan menerima resiko tidak istirahat dan menjaga diet.  Ia menghindari karantina pemain di hotel sebelum hari pertandingan.  Ia biarkan pemain tinggal di rumah menikmati kehidupan pribadinya (4).

Suasana harmoni dan rasa respek yang ia ciptakan menjalar ke pemain.  Pemain juga menunjukkan respek kepada Pep.  Hubungan antar pemain sangat harmonis meski ada persaingan masuk tim inti, atau masuk starting eleven.  Pemain yang berperilaku aneh justru merugikan dirinya sendiri, dan secara alamiah tersingkir dari tim inti.  Di bawah kepemimpinan Pep, tidak ada pemain yang berperilaku aneh atau menonjolkan dirinya, atau membuat konflik di tim.

Pelajaran Apa?

Pep menunjukkan pembelajaran yang nyata bagi seorang manajer atau siapapun yang mengemban amanah organisasi.  Tiga kunci dari langkah Pep juga berguna untuk pengembangan kapasitas individu.  Banyak hal yang bisa diadopsi untuk berbagai keperluan:

  1. Pemahaman organisasi.  Siapa saja yang sedang menjalankan tugas dan fungsi tertentu, perlu menguasai roh/jiwa/sejarah organisasi, mengenali dan mengembangkan budaya organisasi.  Roh organisasi itu perlu diresapi dan ditarik ke dalam nilai-nilai spiritual atau kontek semangat saat organisasi didirikan.  Hal ini membutuhkan kedalaman pemaknaan dan implementasi nilai-nilai spiritual ke dalam kehidupan nyata, khususnya sebagai dasar atau motivasi mencapai tujuan organisasi.
  2. Penguasaan teknis dan subtansi.  Implementasi teknis tugas dan fungsi dalam organisasi harus dikuasai.  Penguasaan itu meliputi aspek sosial; dengan mengenal kompetensi anggota organisasi dan perilaku sosialnya; maupun aspek teknologi untuk mencapai efektifitas dan efisiensi kerja.  Dalam budaya organisasi modern, seorang pimpinan dituntut menguasai teknologi modern (misalnya multimedia, atau IT) untuk kecepatan identifikasi masalah, pemanfaatan peluang dan pengambilan keputusan.  Pimpinan yang gaptek akan ketinggalan informasi dan “mudah terkelabui” dalam pengambilan keputusan.  Keuntungan penguasaan IT dapat mendukung komunikasi dan manfaat sosial melalui berbagai media sosial.
  3. Team work.  Perlunya diciptakannya kerja tim untuk mencapai tujuan organisasi.   Hal ini memang perlu dibangun dari awal dengan sistem, respek dan kesabaran.  Team work bukan kumpulan orang kerja bersama, tetapi kerja sinergi dari berbagai kompetensi dan profesi dalam respek yang tinggi.  Team work tidak berjalan manakala (i) pimpinan tidak menguasai masalah,  (ii) anggota tim tidak punya kompetensi teknis, dan (iii) belum terbentuk sistem tata kelola pendukungnya.  Pada posisi inilah, organisasi senantiasa masih menggantungkan kepada orang per orang.
  4. Berperilaku efisien dan terkendali.  Seseorang perlu memikirkan secara matang apa yang akan diucapkan, ditunjukkan dan dikerjakan.  Ia harus paham kebutuhan saat mana berbicara, bersikap dan bekerja.  Guardiola sangat proporsional dan efisien berperilaku untuk kebaikan timnya.  Bagaimanapun, hasil atau prestasi organisasi diukur dari kerja, kerja dan kerja menuju yang lebih baik.  Bekerja yang terkendali yang berangkat dari motivasi internal (untuk menjadi lebih baik), bukan karena reaksi dari pengaruh eksternal.  Organisasi yang baik bila di dalamnya terdengar suatu orkestra kerja, ada alunan nada kerja, ada dinamika bunyi kerja.  Bukan bunyian orang rapat, atau diskusi semata.  Perubahan dan dinamika lingkungan eksternal saat ini hanya dapat dijawab dengan perilaku yang cepat, tepat, efisien dan lebih baik.
  5. Harmoni.  Organisasi berjalan dan fokus mencapai tujuannya bila tercipta harmoni, dilandasi rasa respek, kerendahan hati dan penguasaan kompetensi.  Setiap orang harus saling menghormati atas dasar kompetensi.  Kelebihan, kecerdikan, kelebihan seseorang ditempatkan untuk manfaat organisasi, untuk manfaat sosial dan kesejahteraan.  Diskusi positif membangun kompetensi perlu dikembangkan secara periodik untuk mengadopsi dinamika perkembangan (teknologi) terbaru. Adanya kepentingan individu, bermalasan, dan moral hazard dapat mengganggu harmoni dan berujung konflik.  Sikap demikian akan merugikan (perjalanan karier) individu yang bersangkutan.  Adalah tanggungjawab bersama untuk memelihara harmoni dengan kerendahan hati.

 

Penulis penghobi sepakbola, pada tahun 1975 hingga 1978 aktif dalam klub Mars di Surabaya, sempat mengikuti kompetisi di divisi klas bocah Persebaya.

 

Lembah Panderman, Malang, 15 Januari 2012

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *