Tempe dan Pasar (Mall) Dinoyo

Jelas sudah kini, pasar Dinoyo memang akan berubah menjadi Mall.  Polemik perubahan pasar tersebut telah berlangsung cukup lama, sekitar tiga tahun.  Kini pasar Dinoyo, yang punya sejarah panjang itu, telah ditutup.  Pedagang ex pasar Dinoyo telah berpindah ke pasar penampungan di sekitar Merjosari, yang berjarak sekitar 1.5 km.  Berita perihal pasar Dinoyo mengingatkan penulis akan memori lama tentang hal-hal penting dalam kehidupan penulis.

Penulis mengenal pasar Dinoyo sejak dua puluh sembilan tahun yang lalu.  Pasar Dinoyo, saat itu bertempat di Dinoyo asli, yakni di Ketawang Gedhe, saat ini menjadi komplek Ruko di sebelah selatan jalan MT Haryono.  Bentuk atau rupa pasar Dinoyo khas seperti pasar desa tahun tujuh puluhan, yakni berwarna putih dengan bangunan tembok berdisain sederhana.  Di depannya ada toko kelontong, fotocopy, beras, atau komoditi kering . Pengunjung perlu masuk ke dalam pasar untuk keperluan belanja sayur, bumbu, atau lauk pauk dan komoditi basah lain.

Kata seorang tua, dari sebelah rumah, sejak lama pasar Dinoyo (asli) telah menjadi pusat ekonomi di daerah ini.  Dahulu di depan pasar ada rel yang dapat menghubungkan ke Kebon Agung hingga Batu.   Lori itu mengangkut tebu atau penumpang.  Bekas rel itu saat ini sudah tidak nampak lagi, tertutup oleh bangunan baru atau perluasan jalan. Penulis masih sempat melihat rel itu pada tahun 1990an, dan saat ini mungkin masih nampak di beberapa ruas jalan.  Sejarah ekonomi ini tentu menarik untuk digali, karena penduduk Malang sesungguhnya memiliki sejarah (dan karakter) berwirausaha yang baik.  Dan ini yang membentuk aktivitas ekonomi Malang dan sekitarnya relatif maju dibanding wilayah-wilayah lainnya.

Pada sekitar bulan Agustus 1983, tidak ingat tanggalnya, pagi-pagi buta sebelum Shubuh, penulis pergi masuk ke pasar Dinoyo untuk membeli tempe.  Hanya sepotong tempe mentah, saat itu harganya tidak lebih dua puluh lima rupiah.  Cuaca Shubuh dalam bulan-bulan itu sangatlah dingin, terlebih bagi penulis yang belum satu minggu tinggal di Malang.  Penulis menggigil kedinginan, gigi bergetar, tangan tersembunyi dalam jaket.  Mengapa membeli tempe di pagi buta?  Karena penulis sedang mendapat tugas posma (ospek mahasiswa baru pada saat itu), dan pagi itu tempe harus diserahkan ke kakak kelas mahasiswa.

Tempe itu harus diperlakukan di rebus di sisi satu, dan digoreng di sisi lain. Pekerjaan ini penulis selesaikan sendiri dalam keterbatasan alat-alat dapur.  Untuk apa tempe itu, tentu saja kami mahasiswa baru harus memakannya (perintah kakak kelas).  Tempe itu, jangan ditanya bagaimana rasanya; campur aduk, ada tawar dan pahit karena gosong.  Tentu, tempe itu punya makna mendalam.  Dari situlah, penulis diajarkan untuk memandang sesuatu dari banyak sisi, sekaligus memahami apa yang terjadi di setiap sisi.  Satu sisi akan memberikan kelebihan atau kekurangan dibanding sisi lainnya.  Satu sisi dapat memberikan manfaat, dan sisi yang lain menyumbangkan pengaruhnya.  Suatu pengambilan keputusan harus mempertiambangkan peran dan pengaruh dari setiap sisi dalam kehidupan yang serba komplek ini.

Belum genab dua tahun sesudah momen tempe itu, pasar Dinoyo asli pindah ke Dinoyo baru, tepatnya bersebelahan dengan perguruan tinggi Islam.  Bersamaan dengan itu, terminal bis luar kota di bangun di dekatnya.  Kejadian ini sekitar awal tahun 1985.  Sejak itu penulis makin sering keluar masuk pasar Dinoyo baru karena berjarak relatif dekat dengan tempat indekos.  Biasanya, pagi hari selesai Shubuh penulis jalan-jalan ke pasar ini, keluar masuk menikmati kehidupan bakul dan pedagang; mengasah dinamika ekonomi pasar, dan tidak lupa mencicipi sarapan pagi atau jajanan pasar.

Kini pasar Dinoyo itu telah berpindah, namanya pun telah berganti.  Ia dianggap telah usang, ndeso, tidak cocok lagi dengan jamannya.  Penggantinya kelak adalah suatu mall Dinoyo City yang modern.  Hal baru, yang katanya modern ini, memerlukan penelaahan kembali untuk memaknainya.

Lembah Panderman, Vila Bukit Sengkaling, 13 Februari 2012

 

 

2 Comments

  1. pryanggana

    artikel inspiratif yang membawa angan ke era 1983 – 1989.. dinoyo, sebuah tempat saya pernah tinggal….
    thanks prof

    • Iwan Nugroho

      He.. kita semua punya kesan mendalam tentang Dinoyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *