UN, jangan takut

Gegap UN (Ujian Nasional) berulang setiap tahun.  Berulang pula kejadian, masalah, rumor dan fenomena di seputarannya, baik yang langsung maupun tidak langsung; yang terang atau remang-remang, yang biasa maupun luar biasa.  Semua ini, seperti diduga, akan hilang dengan sendirinya.. Semua orang melupakannya.  Sedihnya,  setiap tahun banyak kesalahan, persepsi keliru, perilaku konyol dan korban senantiasa berulang.  UN dianggap penting sekaligus segalanya.  Padahal semestinya UN hanyalah satu tahapan, sebuah proses, yang tidak perlu ditakutkan.

Pada tahun 2012, UN jenjang SMA sederajat diikuti oleh 2.540.446 siswa.  Rinciannya jenjang SMA/SMALB mencapai 1.234.921 siswa (47,77 persen), jenjang MA 303.601 siswa (11,77 persen) serta jenjang SMK sebanyak 1.041.924 siswa (40,45 persen).  “Pelaksanaan UN digelar di 148.352 ruang kelas dan akan melibatkan sedikitnya 296.704 orang pengawas.  UN kali ini menjadi penting, karena akan dijadikan sebagai ‘tiket’ masuk ke jenjang perguruan tinggi. Calon mahasiswa baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) diseleksi berdasarkan nilai rapor dan hasil UN ini.

Penulis senang mendengar tanggapan yang sangat proporsional menghadapi UN.  Dalam sebuah siaran radio berita, orang tua siswa menyatakan bahwa ia telah menanamkan pengertian UN jauh-jauh hari kepada anaknya.    Ia menekankan anaknya harus belajar sungguh-sungguh, jujur, mandiri, dan bertanggungjawab terhadap masa depannya.  Selain itu, orangtua itu juga bersedia menerima keadaan tentang anaknya.  Ia puas dengan hasil UN karena ia yakin dengan proses dan usaha-usaha yang dilakukan anaknya.  Ia meyakini ada hal lebih penting dibanding UN, yakni kompetensi, kematangan, kearifan, dan hal-hal lain penting saat pendewasaan sang anak.

Seorang ibu lain menyampaikan bahwa anaknya saat SD dan SMP selalu juara di sekolahnya.  Ia tidak yakin saat anaknya gagal UN SMA pada tahun 2007.  Ia begitu frustasi, anaknya juga sempat depresi.  Tapi ia bersyukur anaknya diterima di PTN melalui seleksi nilai rapor; meski harus dilewati dengan ujian paket C.  Kini anaknya sedang studi di Amerika Serikat dengan beasiswa; dengan IP yang lumayan membanggakan.   Si ibu menyatakan memperoleh pembelajaran luar biasa dengan UN, anaknya pun mengalami hal sama.  Ia menyarankan kepada orang tua untuk proporsional melihat UN, orangtua harus memberi kepercayaan anaknya menghadapi UN.

Potret dan pengalaman tersebut harusnya yang dikembangkan.  Orang tua, siswa dan sekolah (termasuk guru) harus percaya diri menghadapi UN.  Siswa harus dilatih percaya diri menghadapi UN, bertanggungjawab akan masa depannya.  Maaf,…. ketakutan orang tua, kekuatiran sekolah biarlah disimpan orang tua, dipendam sekolah.  Berikan senyum dan kebanggaan untuk siswa, kembangkan kebahagiaan dan sikap optimis untuk generasi Indonesia masa depan.

Saatnya sekarang, orang tua, siswa dan sekolah termasuk masyarakat umumnya tidak perlu takut menghadapi UN.  Semua pihak harus tahan godaan, menolak dan mengendalikan upaya-upaya merecoki atau mengganggu UN, misalnya isyu kebocoran, jual beli kunci jawaban, pungutan, dan sms gelap.  Rumor biarlah tetap rumor

Semua pihak hendaknya berani menerima UN apa adanya.  UN sesungguhnya merupakan bagian dari sistem mutu pendidikan.  Sistem itu untuk mendukung tujuan pendidikan yakni terciptanya manusia-manusia Indonesia berkualitas.  Di dalam sistem ada mekanisme perbaikan berbagai kelemahan, diantaranya persamaan program paket A, B dan C atau program lainnya sesuai kebutuhan siswa dan kemampuan pemerintah.

Malang, 18 April 2012

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *