Hari kedua perjalanan di TN MB (9/6/2012) masih menyisakan satu program, yakni pergi ke Sukamade. Selesai melaut di perairan Poncomoyo, kami kembali ke homestay jam 13.30. Kami kemudian bersiap diri menseleksi barang bawaan untuk ke Sukamade. Makan siang saat itu menunya adalah sayur ontong pedas, dengan lauk pepes tongkol, serta tahu dan tempe goreng. Tahu atau tempe Rajegwesi kabarnya dibeli dari penduduk di perkebunan Sukamade. Rasanya sangat enak mungkin karena bumbu dan cara menggorengnya yang tepat.
Jam 15.00 kendaraan offroad sudah siap di depan homestay untuk mengantarkan kami menuju Sukamade. Mobil dikemudikan oleh Pak Zul sendiri. Karena keterbatasan tempat, kami berempat yang pergi, sementara pak Polo tinggal di homestay. Jadi, Daihatsu Rocky tersebut kami naiki berlima termasuk driver. Perjalanan pun dimulai dengan rute perjalanan sama seperti trekking pada pagi hari hingga Teluk Damai. Setelah itu jalanan makin tidak nyaman, berbatu, berdebu, bergelombang, berbelok, turun dan menanjak. Jalan umumnya hanya seukuran lebar mobil sehingga menyisakan bekas jalur roda. Antar jalur roda ditumbuhi rumput tinggi pada jalan bertanah, atau menyisakan batuan runcing di tengahnya.
Sepanjang perjalanan Pak Zul bercerita tentang lingkungan TN BM, Sukamade, pengelolaan dan sejarahnya; termasuk lingkungan perkebunan di dalam kawasan TN BM. Awalnya kami melewati hutan dengan pohon-pohon tinggi dengan vegetasi campuran khas wilayah tropika pegunungan. Kami saksikan beberapa pohon dengan diameter hampir dua meter. Di sisi lain nampak pemandangan perbukitan yang jauh menambah keindahan TN BM. Beberapa kali mobil berguncang keras melewati gundukan atau lobang, sehingga bu Wiwin sempat kepentok dua kali ke dinding interior mobil.
Kira-kira tiga puluh menit perjalanan berlalu, kami memasuki pos jaga perkebunan. Inilah yang dimaksud dengan perkebunan Sukamade. Kebun ini sudah ada sejak jaman Belanda dan kini dimiliki oleh perorangan. Jalanan tanah di dalam perkebunan ini relatif datar dan tidak bergelombang. Di kanan kiri ditemukan tanaman kakao dan karet. Nampak kondisi tanaman tidak terawat. Bisa dimaklumi bila perusahan akan merugi sebagaimana cerita pak Zul. Tiba-tiba mobil berbelok ke kiri, sejenak kemudian, .. kita akan menyeberangi sungai, kata pak Zul. Benar, di depan sudah terpampang sungai selebar sepuluh meter dengan aliran air yang lambat dan tenang. Pak Zul dan pak Pur turun ke sungai mengukur kedalaman air dan ambil posisi rute yang aman. Nampaknya ketinggian air sekitar dengkul manusia dewasa atau 50 cm. Kemudian, pak Zul kembali ke mobil, dan pak Pur tinggal di sungai mengambil posisi untuk memfoto drama penyebrangan mobil ke sungai.
Beda tinggi antara permukaan jalan dengan air sungai sekitar 1.5 m sehingga relatif curam karena posisi jalan ke sungai berbelok tajam sekitar 60 derajad. Penulis pun mengingatkan bahwa kemungkinan air sungai masuk ke mobil, dan dibenarkan pak Zul. Dimulailah drama penyeberangan ini. Pak Zul mengambil start agak cepat, dan kami berpegangan kuat ke mobil sambil menahan napas. Tidak terasa mobil pun turun cepat dan terjal, terus konstan hingga melewati air sungai, kemudian langsung naik di seberang tanggul sungai. Secara bersamaan air sungai menjadi beriak, keruh dan bergelombang. Alhamdulillah drama selesai dengan aman, tanpa ada kesempatan air masuk ke dalam mobil.
Perjalanan berlanjut masih melewati perkebunan, termasuk wilayah pemukiman. Kami melewati reruntuhan bangunan jembatan. Rupanya ini yang menjawab mengapa kami harus lewati sebelumnya karena jembatan tidak lagi berfungsi. Kembali pemandangan berganti dengan kebun karet. Mobil kembali melewati sungai kecil karena jembatan disampingnya sedang dibangun. Kata pak Zul, penduduk di perkebunan berkembang secara turun temurun, dengan fasilitas kelengkapannya termasuk kebutuhan ekonominya. Disini ada sekolah dasar (SD) dan pasar, untuk melayani penduduk sendiri maupun pengunjung di Sukamade. Suasana kebun nampaknya semakin gelap karena jalanan dinaungi pohon besar. Nampak dedaunan kakao bertumpukan dan berserakan di tanah menandakan kurangnya perawatan. Dapat dibayangkan, pada malam hari suasananya pasti menyeramkan. Perjalanan dalam perkebunan berakhir saat masuk gerbang Sukamade. Setelah itu mulai nampak komplek bangunan milik TN BM. Mobil berhenti disini setelah perjalanan hampir selama 1.5 jam atau menempuh jarak 12 km dari homestay di Rajegwesi.
Sukamade sangat dikenal sebagai tempat untuk pengembangbiakan penyu. Jadi, pengunjung datang kesini memang khusus untuk menyaksikan, merasakan dan terlibat dalam budidaya penyu. Tidak ada jasa lain yang dapat dinikmati. Setelah registrasi, kami menuju guest house di sisi lainnya. Kami menginab di kamar dengan tarif 200 ribu per malam, berlantai keramik putih dengan dua bed besar dan kecil yang memuat tiga orang. Kamar mandi dan WC juga bersih berkeramik warna biru. Di sini juga terdapat dua bangunan penginapan lebih sederhana bertarif lebih murah. Bangunan lainnya adalah kantin yang juga berfungsi sebagai toko, musholla, toilet, kantor dan pos. Belakangan, penulis mengetahui ada bangunan khusus untuk penetasan telur penyu dan akuarium yang terletak di belakang kantor. Seluruh komplek bangunan memiliki luasan 0.5 ha, di luar tempat pelepasan penyu di pantai Sukamade yang berjarak sekitar 600 m. Meskipun demikian, suara hempasan gelombang air laut sayup-sayup terdengar dari tempat ini.
Saat kami datang, sudah ada pengunjung lain yang menginab di guest house. Bila tidak ada pengunjung suasana Sukamade memang sangat sepi. Yang ada hanya sekitar tujuh petugas TN BM yang bertanggungjawab dalam budidaya penyu. Mereka tidak tinggal permanen di Sukamade melainkan bekerja aplusan (bergilir); seminggu bekerja, seminggu libur. Saat libur itu mereka berkumpul dengan keluarga yang bermukim di Jember atau Banyuwangi. Sangat mustahil pulang balik setiap hari menuju Jember atau Banyuwangi karena kendala jarak dan medan. Dengan demikian, kehidupan Sukamade benar-benar terisolir, dan terbatas. Disini listrik hanya berfungsi malam hari dengan tenaga diesel; kebutuhan bahan pokok disuplai dari pemukiman perkebunan terdekat berjarak sekitar 5 km. Keluarga pengelola kantin (mbak Linda dan suaminya) yang menetap disana melayani konsumsi harian bagi seluruh petugas. Seorang putrinya pun harus sekolah di perkebunan Sukamade.
Kegiatan pembudidayaan penyu terdiri kegiatan utama: (i) mengumpulkan telur-telur penyu, (ii) menetaskan penyu, (iii) dan melepas penyu ke laut. Kedatangan pengunjung adalah melibatkan diri dalam kegiatan tersebut dengan jadwal yang ketat. Malam itu, sekitar jam 20.00 kami diminta bersiap untuk kegiatan yang pertama. Setelah makan malam di kantin, maka kami pun berangkat ke pantai di kegelapan malam. Penulis membawa lampu emergency kecil sebagai pengganti senter. Ternyata ada pengunjung lain ikut dalam perjalanan ini, yakni mahasiswa Unej Jember dan volunter aktivis konservasi penyu. Penulis sempat berbincang dengan pak Hambali, aktivis yang cukup mengenal Wigapala. Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di pantai Sukamade dalam keadaan gelap gulita. Pengunjung memang dilarang menyalakan lampu agar tidak mengganggu datangnya penyu.
Petugas memberi penjelasan, bahwa kami harus menunggu di suatu tempat. Bila penyu sudah datang, maka kami akan diberi tanda untuk mendatangi dan menyaksikan penyu bertelur. Petugas setiap malam melakukan hal ini, dengan memonitor kedatangan penyu pada area pantai sepanjang pantai 3.4 km dengan berjalan kaki. Saat menunggu itu, penulis beberapa kali berdiri dan berjalan kaki mengusir rasa kantuk dan kebosanan. Sekitar jam 10 malam, terlihat tanda lampu petugas meminta kami datang ke arahnya berjarak sejauh 300 m. Penulis penasaran sambil bergegas setengah berlari meski pasir pantai memberatkan langkah kaki. Begitu tiba, dalam kegelapan itu nampak seekor penyu hijau berukuran panjang punggung 90 cm diam terpaku dalam lobang pasir. Benar, penyu itu sedang bertelur, penulis melihatnya jelas karena di bagian ekor sengaja diterangi lampu LED oleh petugas. Nampak telur berwarna putih bersih berjatuhan dari bagian bawah ekor setiap 10 hingga 20 detik. Sebelumnya, penyu sudah menyiapkan lobang pasir sedalam 60 cm untuk tempat telur tersebut. Menurut petugas, pak Afian namanya, penyu sangat peka terhadap kehadiran manusia sebelum bertelur. Tetapi, saat bertelur maka hasrat ini harus diselesaikan meskipun ada manusia. Penyu ini nampaknya kebelet bertelur, kata pak Afian, karena lokasinya relatif dekat dengan ombak laut. Biasanya penyu bertelur lebih jauh dari garis pantai mendekati vegetasi pandan.
Selanjutnya pak Afian meminta volunteer untuk mengambil peran. Volunteer segera merebahkan badan ke pasir mengambil telur dan meletakkannya di permukaan pasir dalam barisan untuk memudahkan perhitungan. Pada saat yang sama pengunjung yang lain diminta menebak berapa jumlah telur penyu. Satu demi satu telur diangkat dan hitungan dimulai. Telur sudah melewati angka 60. Volunteer pun sudah berganti. Kini sudah terhitung 80 telur, kemudian 90 telur. Bila penyu bisa berekspresi, maka ia mungkin sedang menangis bahagia. Setelah menunggu agak lama, hitungan berakhir pada angka 108 telur. Telur kemudian dimasukkan karung plastik untuk di tetaskan di bangunan penetas telur. Jumlah yang luar biasa… Menurut pak Afian, penyu bisa bertelur hingga 200an, dan paling sedikit 50an. Telur itu harus diselamatkan sebelum didahului predatornya, misalnya babi hutan, biawak atau pencuri. Setiap malam petugas melakukan ronda penyu sekaligus mengumpulkan telur dua kali, yakni jam 8 malam dan jam 4 pagi. Setiap malam, jumlah penyu yang bertelur bervariasi, pernah sebanyak 3 penyu, bahkan tidak sama sekali seperti malam sebelumnya. Lihat galeri selengkapnya
Selesai bertelur, penyu menjalakan tugasnya menutup pasir di lubang telor. Namun ia tidak tahu, bahwa telurnya sudah diambil oleh petugas. Proses penutupan berjalan lambat karena penyu juga mencoba kamuflase telur dengan berpindah tempat. Ini memakan waktu hingga jam 23.30 malam. Kami bersyukur pak Afian menemani kami hingga penyu itu kembali ke laut. Detik-detik langkah kepergian penyu terasa lambat, seolah-olah ia tidak tega meninggalkan telurnya. Atau ia merasa capai karena energinya telah terkuras saat bertelur. Setiap lima langkah penyu berhenti untuk istirahat, kemudian melangkah lagi. Seluruh momen itu kami abadikan dengan kamera meski gelap. Adanya bulan berukuran setengah tidak berpengaruh nyata mengurangi kegelapan malam. Kami kembali lagi ke guest house untuk istirahat tidur.
Hari ketiga kami bangun pagi sesuai rencana (10/6/2012). Jam enam pagi kami harus berangkat lagi ke pantai untuk melepas anak-anak penyu (atau disebut tukek). Namun demikian, sekitar jam setengah enam, penulis sempat masuk ke tempat penetasan. Bangunan berukuran 10×5 m tersebut merupakan replika pasir pantai yang terkontrol dan terlindungi dari predator. Di dalam pasir tersebut ditanam telur-telur penyu yang siap menetas dalam kurun waktu 30 hingga 60 hari. Setiap lubang ditandai papan nama yang menunjukkan jumlah telur, tanggal bertelur dan kode lainnya, termasuk nama penelitinya. Ada sekitar lima tukik berjalan tertatih-tatih di atas pasir. Tukik-tukik tersebut biasanya segera dipindahkan ke aquarium yang terletak di bangunan terpisah. Diperlukan waktu 3 atau 4 hari tinggal di aquarium sebelum dilepas ke laut. Dalam kisaran waktu tersebut placenta sebagai sumber makanan tukik sudah habis, dan tukik sudah cukup kuat untuk mencari makanan sendiri. Di ruang akuarium itu terdapat 8 bak dengan kategori berdasarkan spesies, usia dan kriteria lainnya. Nampak pak Avian menyiapkan sekitar 50 tukik di dalam ember hitam, yang akan dilepas ke laut
Jam 6.15 kami diantar kembali oleh pak Afian ke pantai Sukamade. Perjalanan pagi hari ini begitu nyaman dibanding malam hari. Pemandangan vegetasi dan keindahan pantai sangat nyata. Hamparan pasir putih siap mengantarkan tukik-tukik mengarungi kehidupan baru di laut. Kami bergantian mengambil tukik dan melepasnya di pasir. Kemudian tukik berjalan beriringan menurun menuju datangnya ombak dan air laut. Saat bertemu air, tukik segera hanyut dan lenyap ditelan gelombang. Sepintas hal itu berjalan biasa saja. Tetapi ketika pak Afian menjelaskan bahwa peluang hidup tukik adalah 1 berbanding 1000, artinya hanya satu tukik hidup hingga dewasa dari 1000 tukik yang dilepas, maka upaya TN BM dan peran pengunjung memiliki makna mendalam untuk keberlangsungan hidup penyu dari kepunahan. Mengapa demikian? Banyak faktor mempengaruhinya. Saat tukik di lepas, cenderung terapung di permukaan laut sehingga menjadi sasaran predator burung elang atau ikan berukuran besar. Di tengah laut banyak sekali terjadi penangkapan penyu, sementara petugas TN BM tidak memiliki armada kapal untuk mengendalikan penangkapan liar tersebut. Kondisi ekologi pesisir juga menurun kualitasnya. Dahulu penyu juga bertelur di Bandealit dan tempat lainnya. Kini hanya pantai Sukamade yang secara ekologis masih cukup baik, meski frekwensi dan jumlah kedatangan penyu jauh menurun.
Setelah rombongan kami, hadir juga pengunjung lain yang melakukan hal sama dengan sekitar 150 tukik yang dilepas. Nampak anak-anak balita ikut melepas penyu didampingi orangtuanya. Semua tentu menjadi momen istimewa baik terhadap kehidupan penyu maupun pengalaman individu. Pengalaman ini untuk anak-anak akan membangun karakter mencintai lingkungan, konservasi dan keberlanjutan. Karakter ini sangat diperlukan bagi generasi muda Indonesia mendatang.
Kami segera kembali ke guest house. Pemandangan berkesan muncul dengan keberadaan kera-kera di sekitar komplek bangunan Sukamade. Ada sekitar sepuluh kera bermain-main di dekat kamar kami. Petugas sudah mengingatkan supaya tidak membuka pintu kamar, karena kera-kera tersebut akan masuk mengambil dan mengganggu barang atau makanan. Pagi itu semuanya berlangsung cepat, melengkapi kesan pengalaman hari sebelumnya. Segera kami bersiap diri untuk sarapan dengan menu mi goreng dan telur ceplok di kantin mbak Linda. Sebelumnya barang-barang sudah terkemas ditata di mobil pak Zul. Saatnya kami pulang kembali ke Rajegwesi. Perjalanan ini juga terasa lebih nyaman dan cepat.
Jam 9.30 tepat, kami sudah tiba di homestay. Kami turunkan barang bawaan dari mobil offroad dan dipindah ke mobil yang siap membawa kami pulang ke Malang. Pak Polo sudah menyiapkan mobil dan menata bagasi. Kami berpisah dengan pak Zul, dan menyampaikan apresiasi atas berbagai bantuan dan kemudahan untuk kami. Kira-kira jam 10.00 kami berpamitan dengan Wahyu, Abdullah dan Tosin di homestay. Bu Solichah sedang pergi ke Genteng menemani putranya yang sekolah disana. Perpisahan yang penuh makna, sebagai teman, sahabat, dan tentu sebagai komunitas ekowisata. Semoga MER mendapatkan pengalaman, nilai tambah ilmu dan manfaat, serta merealisasikan kesejahteraan untuk warga Rajegwesi.
Perjalanan pulang ke Malang kami mulai, dan masih panjang. Sekalipun sempat hujan sejak Kalibaru, dan lalu lintas merambat sepanjang jalan gunung gumitir, kami tetap sabar. Ternyata hujan ini relatif merata hingga masuk wilayah Probolinggo. Sekitar jam 9.30 malam mobil sudah masuk kota Malang. Pengalaman tiga hari yang berkesan. Alahamdulillah.
Malang, 14 Juni 2012