Dari Watu Kendil, sekitar jam 8.00 kami memutuskan kembali ke homestay. Acara hari itu masih akan diisi dengan tour DVT. Kami segera berbenah dan mandi. Di meja makan sudah tersedia sarapan dengan menu sayur tumis, gulai ikan dan tahu tempe, plus krupuk. Kami nikmati sarapan sambil bercerita perihal perjalanan ke Watu Kendil, sekaligus rencana checkout. Kami merasa mendapatkan materi yang cukup perihal Candirejo. Sore nanti kami akan ke Yogya menikmati tujuan wisata baru, Pindul, di wilayah kabupaten Gunung Kidul.
Saat sarapan selesai, kami sudah ditunggu tiga dokar di depan homestay mawar. Kami kemudian berbagi dokar, masing-masing (i) penulis dan pak Yadi, (ii) Bu Wiwin, bu Ismini, dan Budi, dan (iii) pak Pur dan bu Tri. Perjalanan DVT ini akan menjadi pengalaman baru bagi kawan-kawan, sementara penulis sudah menikmati pada tahun 2011. Perjalanan DVT kembali dipandu oleh Budi, dengan arah tujuan ke kebun pepaya, Tempuran, Sendang Kapit Kuburan, industri kripik singkong, Tuk Banyu Asin, dan diakhiri dengan bermain gamelan. Setiap tujuan tidak dideskripsi secara lengkap karena mirip dengan pengalaman penulis tahun sebelumnya, kecuali ada hal yang baru atau berbeda.
Kami menuju kebun pepaya milik pak Teguh (mantan kades Candirejo). Posisi kebun berada di sisi selatan desa ke arah bukit Menoreh. Secara umum kondisi kebun sangat terawat, bersih dan subur. Ditepi kebun nampak sebuah sumur untuk supai kebutuhan air. Kebun pak Teguh ditanami pepaya Thailand, dengan jumlah sekitar 180 tanaman. Pepaya dapat dipanen sesudah berumur 8 bulan. Berikutnya panen dilakukan setiap tahun hingga tahun keempat. Setelah itu, produksi pepaya biasanya mulai menurun. Setiap panen dihasilkan sekitar 10 buah per tanaman. Hasil panen dijual pada bakul/tengkulak yang langsung datang ke kebun pepaya, bahkan para bakul juga ikut serta memetik pepaya. Bakul memberi harga pepaya Thailand dua ribu rupiah per buah. Budidaya pepaya ini nampaknya belum sinergi dengan jasa ekowisata. Perlu ada sentuhan teknologi atau kemasan tertentu untuk memberi nilai tambah, yang menunjukkan manfaat pepaya lebih spesifik, sehingga menarik psikomotorik pengunjung.
Di lokasi Tempuran, Sendang Kapit Kuburan, industri kripik singkong, relatif tidak ada yang baru. Kondisi Tempuran relatif lebih bersih dibanding sebelumnya dan sudah ada gazebo sederhana yang disiapkan untuk istirahat atau makan siang bagi pengunjung. Di Sendang Kapit Kuburan, kami bertemu dengan mbok yang sedang mandi. Kami bergurau dalam bahasa Jawa. Di industri singkong kami membeli kripik untuk oleh-oleh. Di Tuk Banyu Asin ada pemandangan anak-anak sekolah yang sedang mandi di sungai. Lihat galeri disini.
Yang agak berbeda adalah di rumah gamelan. Di tempat ini, kita disuguhi minuman teh dan kue yang cukup untuk melegakan tenggorokan. Pada saat yang sama ada dua orang wisatawan dari Perancis di rumah berbentuk limas ini. Mereka nampaknya dibawa oleh travel agent yang berasal dari Yogyakarta. Dipandu Budi dan ibu tuan rumah, kami belajar memainkan gamelan. Awalnya hanya memainkan alat secara individu, tetapi setelah itu kami main bersama. Benar-benar riuh karena bapak-bapak sais juga bergabung untuk menabuh alat dan menari. Juga bergabung seorang balita putri yang menari mengikuti gerakan sais. Rasa letih sebelumnya menjadi hilang dengan mainan gamelan tersebut.
Penulis tidak bergabung dalam bermain gamelan karena berbincang dengan pak Tatak Sariawan. Rumah pak Tatak terletak di sebelah tempat gamelan ini. Materi diskusi menyangkut perkembangan terakhir kondisi Candirejo. Beliau menyampaikan mulai banyak desa-desa ekowisata di sekitar Candi Borobudur. Namun ia tidak kuatir tersaingi karena akar usaha telah terbangun dalam wadah koperasi. Pengunjung sangat terdidik memahami ekowisata secara benar. Lebih baik jasa ekowisata dikelola secara hati-hati, bukan dengan mass tourism; karena lebih menjamin keberlajutannya. Ekowisata lebih ke arah high quality, tidak berorientasi kepada jumlah. Peluang masuknya operator individual ke Candirejo juga ada, namun kami ingatkan untuk menghormati koperasi ekowisata. Biasanya mereka tidak sustainable karena tidak dapat menunjukkan standar layanan.
Sekitar jam 13.00 kami meninggalkan rumah gamelan. Pak Tatak menyampaikan penghargaan kepada kami, dan meminta kami terus berkomitmen untuk membangun ekowisata. Kami naik dokar kembali menuju homestay bu Gendhuk, dengan perasaan buru-buru. Kami segera berkemas dan memindahkan barang-barang ke mobil. Kami juga mohon pamit kepada bu Gendhuk dan keluarga (termasuk Budi), dan mengucapkan terimakasih atas berbagai layanan yang penuh keramahan dan kehangatan.
Kami kembali mendatangi kantor koperasi untuk menyelesaikan keuangan. Ini merupakan prosedur tetap bagi seorang pengunjung di Candirejo. Pengunjung membayar seluruh jasa layanan ekowisata di kantor koperasi, baik itu homestay, DVT atau layanan lainnya. Ini seperti layanan hotel, harus membayar di kasir dulu sebelum meninggalkan hotel. Pada saat yang sama, penulis mengunjungi kantor desa yang bersebelahan dengan koperasi. Penulis bermaksud silaturahim dengan kepala desa, namun nampaknya kantor sudah kosong karena sudah melewati jam kerja.
Hari itu memori akademik ekowisata bertambah, bukan hanya untuk penulis tetapi juga untuk tim. Kiranya ini menjadi modal peningkatan kompetensi akademik kelembagaan.
Malang, 22 Juli 2012