Wakatobi (1): Dream comes true

Perjalanan ke Wakatobi?  Pertanyaan itu selalu membayang sebelumnya.  Bayangan wilayah pulau, pesisir dan lautan sudah tidak terhitung ada di pikiran, seiring dengan tambahan pengetahuan ekowisata pada penulis.  Wilayah ini begitu populer ke seluruh penjuru dunia dengan keelokan ekosistem lautnya (1, 2, 3, 4).  Ada tantangan bukan hanya perihal akademik semata, bukan hanya searching dari google atau data sekunder, tetapi ada hasrat untuk mengenal lokasi, ingin melihat langsung, mendengar penduduk setempat, menelaah masalah, sekaligus menikmati eksotis dan keunikan lingkungannya.  Alhamdulillah itu telah terjadi di Ngadas Bromo, Candirejo (Jawa Tengah), atau Rajegwesi Banyuwangi (TN Meru Betiri).  Kini, Wakatobi.. akhirnya terealisasi.  Pengalaman tiga wilayah tersebut lebih kental dengan ekosistem darat.  Wakatobi dengan ekosistem pesisir dan lautan adalah tantangan baru, hal yang relatif belum dikenal penulis.

Persiapan menuju Wakatobi sesungguhnya relatif nihil.  Transportasi menuju Wakatobi, khususnya melalui jalur penerbangan tidak mudah ditemukan.  Penulis pun tidak mengenal wilayah ini.  Namun, hambatan itu dapat diuraikan.  Tiket menuju kesana akhirnya terbeli, dibantu pak Fajar, kolega dari Kendari.  Tiket ExpressAir tidak tersedia melalui online, sebagaimana airline lainnya.  Ini memang menyulitkan bagi pengunjung baru.  Sebelumnya, penulissudah menyiapkan tiket Lion Air Surabaya ke Kendari.  Jadi, tujuan ke Wakatobi harus dilalui dengan transit, yakni Surabaya-Makassar-Kendari-Wakatobi.  Pak Fajar pula yang memesan tiket Wakatobi-Surabaya dengan Expressair.  Hanya saja rute pulang berbeda, yakni Wakatobi-Baubau-Makassar-Surabaya.

Bagaimana setibanya di Wakatobi?  Pertanyaan ini terus mengembang bersamaan dengan pencarian tiket.  Ini masih belum clear hingga tanggal 9 Juli 2012, padahal tiket Wakatobi sudah dipastikan.  Penulis mencoba bertanya hal ini dalam milis lemhanas-ppra-XLV.  Penulis sampaikan tujuan ke Wakatobi adalah ingin melihat keadaan penduduk dalam berusaha jasa wisata, penulis ingin menulis perihal tersebut dari sisi akademik. Luar biasa, tidak lebih lima menit sudah ada tanggapan dari pak Sudirman Saad, pemegang otoritas Kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K).  Ringkas cerita, komunikasi segera terjalin intensif dalam tiga hari berikutnya, melalui sms atau email.  Pak Dirman dan staf menyiapkan dan mensinkronkan dengan rencana program KP3K di Wakatobi.

Penulis menyambut hal tersebut dengan positif.  Sekalian penulis siapkan file powerpoint untuk sharing pengalaman ekowisata di Jawa, termasuk hasil-hasil riset sebelumnya.  Penulis segera ingat satu hal, tentang buku.  Buku Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan adalah modal berharga dalam komunikasi dan sharing. Kebetulan masih ada stok buku tersebut di rumah.  Segera penulis mengirim buku tersebut (plus bonus buku pengalaman haji) ke pak Dirman.  Penulis juga siapkan dua eksemplar untuk pak Hajifu (Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, kabupaten Wakatobi) dan pak Rido Batubara (Kasubdit Sarana Prasarana KP3K).  Merekalah host acara diskusi yang direncanakan pada tanggal 16 Juli 2012 di Wakatobi.

Ringkas cerita, tanggal 15 Juli 2012 jam 9.30, penulis sudah tiba di bandara Haluoleo Kendari.  Penulis tidak sendirian, tetapi ditemani putri penulis.  Kami diantar dan dibantu pak Fajar selama keperluan di Kendari.  Kami menunggu sambil menikmati suasana ruang boarding terminal bandara yang berdisain modern, hemat energi, dengan warna cerah. Pikiran sudah membayangkan Wakatobi. Ini pengalaman, perjalanan sekaligus tantangan baru menuju Wakatobi.  Kira-kira jam 11.30, sebuah pesawat kecil mendarat dan berhenti memisah dari pesawat-pesawat berbadan lebar lainnya.  Kiranya, inilah pesawat ExpressAir yang akan membawa kami.  Penerbangan Kendari menuju Wakatobi pergi pulang (pp) menggunakan pesawat jenis Dornier 328 dengan frekwensi sehari sekali.  Tidak lebih sepuluh menit, kami diminta naik pesawat yang memuat 30an penumpang.  Baru pertama kali ini penulis naik pesawat baling-baling.  Ruang pesawat lebih mirip seperti mobil travel yang memanjang, dengan  sembilan baris masing-masing tiga seat (satu kiri, dua kanan).  Di baris terdepan dan paling belakan diisi dua seat.

Pesawat segera menuju ke runway untuk tinggal landas dengan laju relatif cepat.  Mungkin hanya perlu sekitar tiga menit.  Crew (hanya satu pramugari) menjelaskan prosedur keselamatan penerbangan hanya dalam bahasa Indonesia karena terbatasnya waktu.  Penerbangan Kendari ke Wakatobi tidak lebih dua puluh lima menit dengan ketinggian 15 ribu kaki.  Kami menikmati pemandangan perairan Sulawesi Tenggara dengan takjub.  Ada pemandangan laut berwarna putih cerah, hijau, atau biru gelap membentuk pola atau mozaik yang elegan.  Pesawat terisi penuh penumpang, diantaranya seorang wanita bule.  Sesekali pesawat menembus awan sehingga lajunya berubah dan bergoyang.  Sungguh luar biasa alam Nusantara ini, keragamannya, kekayaannya. Pesawat mendarat di bandara Matahora, di pulau Wangi-wangi.  Di pulau ini terletak kota Wanci, yang juga merupakan ibukota kabupaten Wakatobi.  Lihat galeri.

Di bandara, kami dijemput oleh dua orang.  Mereka membawa kertas penanda “KP3K Minawisata”.  Penulis tidak segera menemui mereka kuatir salah, dan sengaja menunggu hingga seluruh penumpang ‘ketemu’ penjemputnya.  Akhirnya penulis sapa mereka dengan perkenalan singkat.  Kami diantar dengan mobil avanza hitam berplat merah. Driver bernama pak Cie berusia sekitar 60an tahun, seorang lagi berusia sekitar 25 tahun bernama Hardin.  Perjalanan menuju hotel yang terletak di kota Wanci berjarak kurang lebih dua puluh kilometer atau memerlukan waktu sekitar 30 menit.  Sepanjang perjalanan kami berbincang ringan sambil mengenal Wakatobi.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *