Dalam suatu kehidupan organisasi, khususnya manajemen SDM, pensiun adalah proses yang alamiah. Pensiun harus dilakukan sebagai suatu mekanisme (peraturan) organisasi. Pimpinan manajemen menjalankan dengan wajar, memberhentikan atau melepas karyawan pensiun. Karyawan pensiun menerima dengan ikhlas. Tulisan ini sedikit mendeskripsikan pengalaman (memproses) pensiun seseorang (Jumat, 6 September 2013), pak Pur, nama lengkapnya Purwanto, yang dapat menjadi teladan kehidupan. Penulis dan pembaca dapat mengambil hikmah yang luar biasa dari kehidupan seorang pak Pur.
Sebagai suatu proses organisasi, penulis bersyukur bisa terlibat dalam mekanisme pelepasan pensiun. Standar prosesi pelepasan pensiun di organisasi kami (Universitas Widyagama Malang) adalah sambutan pimpinan (rektorat), pembacaan SK pensiun, penyerahan SK pensiun, sambutan ketua paguyuban pensiun, pembacaan hak/kewajiban pensiun, sambutan karyawan pensiun dan penutup. Ikut hadir dalam acara prosesi adalah atasan-atasan karyawan pensiun sepanjang kehidupan kariernya, serta ketua koperasi karyawan. Prosesi ini disajikan dalam acara yang sederhana, namun tidak mengurangi kekhidmatan dan penghormatan kepada karyawan pensiun. Sejauh ini, prosesi berjalan baik dan positif.
Beberapa hari sebelumnya, ketika sedang memproses pembuatan undangan pelepasan pensiun pak Pur. Penulis mengkoreksi surat undangan, dan mempertanyakan mengapa Koperasi tidak diundang. Akhirnya ada jawaban, bahwa pak Pur sudah berhenti dari anggota koperasi sebulan sebelumnya. Penulis terkejut, namun segera terharu dan terkagum dengan pribadi orang ini. Dari sinilah penulis mencoba memahami pribadi seorang pak Pur.
Pada saat prosesi pelepasan pensiun, penulis menyampaikan nilai-nilai positif dari pribadi pak Pur. Banyak hal yang patut diteladani dari pribadi beliau. Bahkan setelah prosesi pun pikiran seolah-olah tidak mau beralih dari pribadi beliau.
Pertama, pak Pur adalah karyawan yang bersahaja, tidak banyak bicara, namun sangat rajin dan tekun bekerja. Kehidupannya hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Penulis tidak pernah mendengar hal negatif tentang beliau. Suatu saat penulis pernah mendatangi beliau yang sedang berkerja. Penulis bertanya apa yang sedang dikerjakan. Ia jawab dengan lugas dan jelas, sedang merekap kehadiran dosen di program EPSBED. Penulis punya kesan, beliau mampu memahami program ini. Hal ini memberi pesan kepada kita, bahwa hidup adalah bekerja sungguh-sungguh menguasai kompetensi tertentu. Hidup bukan sekedar berbicara, atau berbicara yang tidak bermakna, ghibah. Amal yang menjadi bekal kehidupan kelak adalah amal perbuatan, bukan amal perkataan.
Kedua, pak Pur bukan seorang pejabat stuktural kampus. Perjalanan kariernya selama 30 tahun berakhir hanya sebagai karyawan biasa. Ini memberi pesan penting bahwa jabatan bukanlah hal segala-galanya. Pak Pur memberi teladan, bahwa tidak menjadi pejabat pun dapat memberi manfaat, asal dapat bekerja dengan baik dan menguasai kompetensi tertentu. Bekerja dengan tekun dan rajin akan memberi manfaat bagi diri sendiri dan lingkungan.
Ketiga, pak Pur disenangi dan membuat senang lingkungannya. Karena beliau seorang pekerja yang tekun dan tidak banyak berulah, wajar saja beliau disenangi oleh lingkungan kerjanya. Beliaulah selama ini menjadi andalan para kepala bagian untuk menyelesaikan tugas kampus dengan baik dan tuntas. Ketua paguyuban pensiunan pak Soelchan, menyatakan tidak banyak orang seperti pak Pur ini. Kampus kehilangan atas sosok pekerja seperti pak Pur. Saat prosesi selesai, mohon maaf ya.. kami layaknya anak-anak … minta foto dengan beliau; mirip seperti minta foto bareng selebriti…. he.. he. Momen seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya
Keempat, pak Pur cermat dalam merencanakan kehidupannya. Seperti yang penulis kemukakan sebelumnya, pak Pur sudah berhenti dari keanggotaan koperasi sebelum pensiun. Menurut aturan koperasi, sebenarnya seorang yang pensiun masih punya hak menjadi anggota koperasi. Hal ini menunjukkan bahwa pak Pur sangat cermat merencanakan kehidupannya. Pak Pur ingin menuntaskan pekerjaan dan kewajibannya sebelum pensiun. Penulis sangat kagum dan hormat dengan sikap seperti ini. Baru kali ini, pelepasan pensiun seorang karyawan bersih dari kewajiban hutang-piutang. Orang ini sangat luar biasa. Berbeda dengan kebanyakan orang, dimana sering melibatkan kehidupannya dengan hutang, bernafsu berhutang, tanpa memperhitungkan kebutuhan, kemampuan membayar, usia bekerja, atau resiko lainnya.
Banyak sekali hadist yang mengingatkan bahaya berhutang, diantaranya “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078). Hadist lain (1, 2): Diceritakan oleh ummul mu’minin ‘Aisyah, bahwa Rasulullah pernah berdoa dalam shalatnya, agar terlindung dari himpitan hutang. “Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masih Dajjal. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Dan, aku berlindung kepada-Mu dari pemicu dosa dan himpitan hutang.” Lalu, ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Betapa seringnya Anda memohon perlindungan dari hutang, wahai Rasulullah.” Beliau menanggapi, “Sungguh seseorang itu, bila terhimpit hutang, ia berbicara lalu bohong, dan berjanji lalu ingkar.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Kelima, pak Pur adalah pribadi yang relijius. Penulis hampir selalu dapat menemui pak Pur dalam forum-forum keagamaan di kampus, antara lain pengajian Sabtu pagi, khotmil Quran, atau pengajian lainnya. Beliau juga rajin sholat berjamaah di kampus. Perihal ini, penulis harus iri dengan beliau, penulis tidak serajin beliau. Ini memberi pesan positif bahwa beliau menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara proporsional. Beliau selalu meluangkan waktu untuk beribadah. Nilai-nilai positif yang penulis sampaikan sebelumnya adalah implementasi nyata kehidupan relijius. Beliau menerapkan konsep kesalehan sosial, dengan bekerja dan ibadah rajin/tekun untuk memberikan manfaat bagi lingkungan dan lembaganya. Ini sekaligus menjadi kritik untuk kita dan bangsa ini, karena banyak orang relijius hanya untuk dirinya sendiri (kesalehan individu), tetapi memiliki hubungan sosial yang tidak baik. Sebagaimana hadist berikut: “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Selamat berjuang di ladang perjuangan lain pak Pur, semoga Allah memberi berkah kepada panjenengan.
Lembah Panderman, Vila Bukit Sengkaling, 8 September 2013