Saat merencanakan perjalanan ke kota Shanghai, awal bulan Juni 2014, penulis tidak terlalu mempersiapkan diri. Rasanya hanya ingin menikmati saja perjalanan ini, yang sudah diatur oleh sebuah biro wisata. Penulis ingin secara nyaman dan efisen mencoba menikmati, hanya berdasar panduan perjalanan,.. dan tentu bermodalkan kamera saku; dan sedikit pemahaman wisata. Benar, semangat kali ini memang tidak sekuat perjalanan-perjalanan sebelumnya. Tapi penulis bersyukur, ada putri penulis yang ikut menemani perjalanan dan telah mengumpulkan bahan-bahan obyek wisata yang sudah dikenalnya dari mbah google.
Hari pertama di kota Shanghai, kami tiba di Shanghai Pudong Airport sekitar jam 14.30 waktu setempat. Sesudah proses bagasi, kami langsung disambut guide Anthoni, yang cukup fasih berbahasa Indonesia. Kami berombongan sebanyak 29 orang langsung dipandu naik bis wisata yang memuat 40 tempat duduk untuk keliling kota Shanghai. Kami menikmati kota Shanghai, sebagai kota yang maju, kota bisnis, lingkungan bersih, indah dan lalulintas tertib. Kami melewati jalanan tol hingga pusat kota, dengan pemandangan kiri kanan gedung tinggi, apartemen, sungai yang bersih, jalan yang lebar, taman kota yang apik dengan pohon, tanaman, dan bunga yang beraneka warna. Di pusat kota, bis sempat memutar atau melingkari jalanan sebelum masuk jembatan sungai yang cukup lebar. Konstruksi jembatan dihiasi tali baja menggantung warna putih menambah keindahan panorama kota.
Putri penulis mengagetkan sambil menunjuk bangunan aneh, tinggi dan bulat: “Itulah the Bund, pa!”. Penulis menatap bangunan mirip simbol atom itu. Tidak berapa lama, bis melambat, dan kemudian parkir di sekitar sungai. Guide Anthoni mempersilakan kami turun dari bis. Di sekitarnya, juga parkir dua buah bis yang juga nampak penumpang berwajah Indonesia, yang mengaku dari Jakarta. Kami berfoto sejenak di sekitar pertigaan dengan latar taman bunga, bangunan pelabuhan dan gedung tinggi bertuliskan AURORA. Setelah itu, Anthoni mengajak kami menuju sungai dengan menyeberangi jalanan menurun yang bersih. Suasana saat itu sekitar jam 16.00, masih cerah oleh matahari (menjelang musim panas) dan sedikit berangin. Kami nampaknya menuju dermaga buatan sepanjang sungai dengan lebar sekitar 30 m. Kiranya ini adalah sungai Huang Pu. Di dermaga itu berkumpul ratusan wisatawan dari berbagai suku bangsa. Mereka bergembira menikmati pemandangan, berfoto, saling bercanda dan kagum. Kiranya, disinilah the Bund dan lainnya,.. semua keindahan kota Shanghai nampak jelas.
The Bund adalah istilah yang mengacu kepada dataran sungai Huang Pu. Dalam ilmu tanah (geomorfologi), dataran aluvial atau levee ini terbentuk pada suatu lekukan dalam aliran sungai; berbeda dengan delta yang terbentuk akibat sedimentasi di muara sungai. Di dataran levee the Bund itu kemudian menjadi pusat kehidupan kota Shanghai, dan telah berdiri jajaran bangunan dan pusat bisnis yang berkembang sejak lama (1). The Bund sering dan dapat diplesetkan menjadi the fund.. yang bermakna merupakan pusat rujukan investasi dan bisnis dunia, oleh investor utamanya dari Eropa, Amerika dan Jepang. Kini wajah the Bund sudah menjadi wilayah modern seperti halnya di Eropa atau Amerika. Posisi the Bund tepat di seberang sungai (waterfront) selebar 300-400 m dari posisi kami (dari sebelah barat, dataran Pudong), sebagaimana gambar-gambar the Bund di internet. Pencahayaan pengambilan foto saat itu sangat bagus karena masih diterangi matahari sore. Setelah puas selama 60 menit dengan pemandangan the bund, gedung sekitar dan sungai, kami kembali ke bis. Anthoni sudah memprogram ke suatu tempat sejenis mall perbelanjaan di sekitar pelabuhan. Ringkas cerita, program ini terasa kurang menarik,.. karena sama saja dengan mall yang ada di Indonesia.
Setelah menikmati pemandangan the bund, Anthoni menawarkan alternatif makan malam di restoran (termasuk paket wisata), atau di kapal (menambah 150 Yuan, setara 285 ribu rupiah per orang). Rombongan sepakat memilih makan malam di kapal. Segera saja, bis diarahkan ke sungai kembali, sementara Anthoni sibuk menghubungi operator kapal. Setelah beli tiket, Anthoni meminta kami sedikit bergegas karena jadwal hampir dekat dengan pemberangkatan kapal. Saat itu sekitar jam 18.00. Kami terlebih dulu masuk proses keamanan cukup ketat, ada tentara berjaga, dan deteksi sinar X bagi barang bawaan wisatawan. Benar, kami adalah rombongan terakhir yang masuk kapal. Di dalam kapal tersisa tiga meja (dari sekitar sepuluh meja) untuk rombongan kami, dan bersamaan itu kapal berangkat.
Makan malam pertama di kota Shanghai, di atas kapal mewah lagi, dalam keindahan lampu kapal, dan redupnya senja, tentu mengesankan. Tapi, makan terasa tidak nikmat karena mata lebih tertuju kepada pemandangan di luar kapal. Kapal ini bergerak ke sungai Huang Pu, mendekati dan seakan-akan mengitari the Bund. Benar saja, makan malam segera penulis tuntaskan, dan bergegas ke dek (geladak) kapal. Kapal berwarna dominan putih, dengan pencahayaan merah dan lampion khas Cina. Di dek, sudah berkumpul wisatawan yang mengabadikan pemandangan nan takjub itu. Kapal ini dapat memuat sekitar 100 wisatawan. Penulis sempat membantu foto wisatawan asal Korea.
Kegelapan sungai Huang Pu yang berpadu dengan lampu dermaga, cahaya dan sinar laser dari the Bund, serta warna-warni lampu gedung; menciptakan mozaik alam yang indah. Sebuah gedung bak layar LCD raksasa, menyajikan huruf Cina, latin dan gambar iklan tertentu. Penulis naik ke dek paling atas untuk melihat luasnya keindahan malam itu. Di dek atas ini juga terdapat pantri dengan jumlah kursi terbatas. Kondisi di dek tidak kalah indahnya dibanding ruang makan. Lantai dek berwarna marun muda, bersih dan dibatasi pagar kapal setinggi sekitar satu meter. Pencahayaan di dek sangat lembut, remang memerah oleh lampu, menciptakan komposisi warna yang romantis dan nyaman; senada dengan kelembutan suasana malam hari. Suasana di dek atas sangat ramai namun tetap nyaman. Wisatawan belasan tahun berwajah eropa sedang berkumpul bernyanyi, serta riuhnya wisatawan keluarga Jepang menambah kegembiraan malam hari itu. Nampak sepasang remaja sedang malu-malu memerankan diri layaknya pasangan Rose dan Jack dalam film Titanic, dengan sedikit naik dan berdiri di tepi pagar kapal, sambil mengangkat dan merentangkan tangan. Juga ada sepasang bapak ibu sedang berpose menikmati romantisme suasana malam. Semua orang larut dalam suasana kegembiraan di atas kapal. Gemerlap cahaya pemandangan the Bund seolah-olah menerpa wajah seluruh wisatawan.
Sementara itu, kapal yang kami naiki terus berjalan mengitari wilayah levee the Bund, berputar, atau berbalik. Kami sesungguhnya juga tidak tahu mana bagian depan atau belakang kapal. Terkadang, kapal melambat memberi kesempatan kapal angkutan logistik lain yang masuk ke sungai Huang Pu. Meskipun sungai cukup lebar (sekitar 300 m), namun karena the Bund ada di lekukan sungai, maka kesan “kemacetan” lalulintas sungai dapat dirasakan. Tidak jauh, juga ada dua kapal wisata sejenis yang mengangkut wisatawan, yang memancarkan warna dan keramaian pengunjung dari dek. Suasana macet tersebut, justru membuat wisatawan dapat menikmati pemandangan sekitar lebih seksama.
Penulis terdiam memendam perasaan menikmati pemandangan tersebut. Rasa syukur bisa hadir di belahan dunia Cina, kagum atas kemajuan pembangunan Cina, puas atas mutu layanan wisata dan pengalaman perjalanan ini. Keseriusan pemerintah Cina mengelola wisata, mulai dari keamanan, ketertiban, kenyamanan layanan, kebersihan, kedisiplinan warga, profesionalisme pelaku bisnis, budaya melayani dan hal-hal detil lain, patut dihargai.