Tulisan ini telah terbit di kompasiana
Tuntas sudah ajang pilpres, selesai sudah bulan ramadhan dan lebaran. Kita patut bersyukur semuanya telah berlangsung aman, lancar dan dinamis. Kini, yang ada di pikiran ini harusnya sudah berganti, buku hari kemarin ditutup, sekarang membuka lembaran baru, mengisinya dengan kegiatan hari ini dan esok. Kita semua harus mulai bekerja dan beraktivitas kembali. Anak-anak harus sudah masuk sekolah, mulai kembali ke bangku kuliah, kembali belajar di tempat belajarnya masing-masing. Orang-orang dewasa harus bekerja, berkarier dan berfungsi kembali menghidupi keluarga. Semuanya harus bekerja, memberi manfaat positif, berpikir yang produktif, menyenangkan sesama, membagi hal-hal yang bermanfaat, dan menghidupkan organisasi/tempat kerja .

Tetapi, nampaknya harapan kembali bekerja itu, belum sepenuhnya terlaksana. Momentum kali ini memang agak berbeda. Sebagian orang menganggap suasana lebaran belum usai, karena libur dirasakan kurang lama. Meski sebagaian lagi juga menganggap sudah cukup. Nah ini yang lebih terasa, tentu saja yang berkaitan dengan pilpres. Sebagian elit politik ingin terus berpolemik memperkarakan hasil pilpres, khususnya capres dan pendukungnya yang tidak puas. Perilaku elit politik itu kemudian diangkat ke media masa (tentu saja oleh sumber berita atau mass media), dan menjadi berita yang heboh, dipertentangkan, dipolemikkan; bahkan disebarkan di media-media sosial. Bisa dilihat di postingan/status FB, masih banyak yang menulis atau menyebar berita yang belum tentu benar isinya, menyindir, memojokkan, atau menghina. Dampaknya, berita itu menghasilkan pro dan kontra yang tidak pernah ada ujung selesai. Mereka melakukan hal-hal yang tidak perlu, menebar kebencian, fitnah, dan merendahkan martabat kemanusiaan.

Berangkat dari fenomena tersebut di atas sebenarnya banyak hal yang bisa dicermati, didalami dan diambil sisi positifnya. Kita semua, baik itu pemimpin, bawahan, keluarga, remaja, anak-anak, atau pribadi dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.
Pertanyaannya, mengapa mereka belum mau meninggalkan ‘urusan’ yang sudah lalu itu. Pertanyaan itu sebenarnya berlaku untuk keadaan yang lain, bukan karena urusan pilpres saja. Harus diakui masih banyak orang berpikir tentang masa lalu, tentang hal yang kemarin. Kita biasa mendengar anekdot “piye kabare, enak jaman ku to?” yang mengingatkan keadaan jaman orde baru. Mengenang memori masa lalu tidak sepenuhnya baik, kecuali mengambil intisari (introspeksi) untuk pembelajaran, ilmu pengetahuan, kerja keras, integritas, kejujuran dan pengembangan nilai/karakter. Mengingat masa lalu untuk mengenang kehidupan zona aman/nyaman, nikmatnya kekuasaan, atau mempertahankan status quo dan kepentingan pribadi, adalah hal yang menyesatkan dan mengingkari realita. Dengan kata lain, mengusung romantisme masa lalu merupakan kekeliruan, kekhilafan dan negatif bagi kehidupan.
Penulis melihat ada tiga faktor penting mendasari mengapa orang “cenderung ke masa lalu”. Pertama, tidak berpengetahuan. Orang yang tidak berilmu, atau terbatas pengetahuannya, akan melihat kehidupan dari sudut pandang yang terbatas. Dunia dilihat orang tersebut dari perspektif sempit dan akan mempersempit dirinya sendiri. Karenanya, ketika ada tantangan baru di depannya maka ia tidak mampu mengolahnya dengan ilmu/teknologi atau pengetahuan. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan kebingungan, kepanikan, shock dan stress. Akibatnya, yang muncul adalah perilaku ngawur, marah, keluhan, dan menyalahkan orang lain.
Penulis kagum dengan banyak generasi muda sekarang yang dinamis, seusia mahasiswa yang menunjukkan konsep hidup, kreasi dan prestasi. Mereka tidak banyak cakap, tetapi berilmu; sehingga menghasilkan sikap dan perilaku yang menyejukkan dan mencerahkan. Modal pengetahuan membuka kreasi dan inovasi untuk memberi nilai tambah kehidupan. Anak-anak muda ini pantas diandalkan menjadi pemimpin masa depan. Pengetahuan itulah yang memandu kepada kearifan dan kematangan menghadapi kehidupan.
Kedua, tidak mau berkreasi dan melihat ke depan. Orang yang berpikir masa lalu akan membosankan, apatis dan statis; sehingga menjadi tidak bergairah bagi orang-orang di sekelilingnya. “Semua orang bergerak dan ingin maju, tapi ente membosankan, mengeluh terus”.. demikian ungkapan yang sering muncul untuk orang yang statis. Orang yang apatis mengira kehidupan masih seperti dulu, masih bisa mengandalkan birokrasi, main perintah, atau memuaskan atasan. Kini kehidupan sudah berbeda, konsep organisasi sudah baru, kinerja lebih terukur, hidup lebih simpel dan efisien, nilai-nilai agama telah dipahami dan diimplementasikan, lingkungan strategis siap mengancam, SDM lebih trampil dan melek IT, teknologi sudah 3G/4G, data dan informasi selalu updated. Seorang pemimpin dengan mudah dibaca oleh anak buahnya, perihal sikap, ucapan dan perilakunya apakah mencerminkan diam atau bergerak, apatis atau optimis, menghindar atau tangguh, mengeluh atau mencerahkan.
Kita bisa belajar banyak dari para entrepreneur. Mereka adalah orang yang tangguh menghadapi realita. Begitu tantangan datang, ia akan memutar otak, belajar, berkreasi, dan menghitung peluang dan langkah ke depan. Bila memang ia tidak dapat memberi manfaat di satu bidang, maka ia segera mundur, dan segera mencari celah untuk menggali manfaat di bidang lainnya. Bagi seorang yang berjiwa entrepreneur, ia dapat bekerja di bidang apapun. Entrepreneur tidak hanya terpaku dan ngotot di satu bidang, yang nyata-nyata ia tidak kompeten dan tidak aseptabel. Sikap Chaerul Tanjung yang tidak mau berpolitik, dengan lebih menekuni bisnis adalah cara memberi manfaat kehidupan yang mulia.
Ketiga, dendam dan tidak ikhlas. Sikap pendendam dimiliki oleh orang yang kecewa, sakit hati atau egois. Motivasi hidupnya adalah menyalurkan hasrat dendam belaka, yang tentu saja jauh dari nilai-nilai mulia kemanusiaan dan peradaban. Hasrat dendam penuh bara api sehingga memunculkan sifat-sifat hewani, buas, dan kejam. Sifat ini sangat membahayakan bagi kehidupan, merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, merusak kehidupan sosial dan menghancurkan lingkungan. Kita dapat membaca kisah sejarah, bagaimana dendamnya Hindun yang tega memakan organ hati paman Nabi, Hamzah yang terbunuh pada Perang Badar.
Sebaliknya, muara kehidupan dan sekaligus sifat mulia kemanusiaan adalah keikhlasan (legowo). Keikhlasan mampu melihat masa lalu sebagai bagian pembelajaran kehidupan. Sikap ikhlas cermin kebesaran hati dan kejujuran menerima keadaan, sebagai bagian dari kehendak Allah. Akal dan rasio diletakkan dalam kerendahan hati mencari keridhaan Allah. Kita dapat belajar dari Mohammad Natsir, meski tidak disukai Suharto, ia membantu pemerintahan Orde Baru, misalnya, mengontak pemerintah Kuwait agar dapat menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.
Para pembaca yang budiman, mari kita melihat ke depan, berkarya dan melakukan hal-hal yang positif. Sebaiknya kita terus menambah pengetahuan, membaca dan mendengar. Kita sudahi hal-hal yang lalu, tidak perlu banyak bicara, melakukan hal-hal tidak perlu. Urusan lebaran sudah usai. Urusan capres dan pilpres biar itu diselesaikan oleh yang berkepentingan, MK, KPU, atau aparat keamanan.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS 94: 7-8).
Mari bekerja secara produktif, saling menghargai, penuh kesejukan, tidak ada lagi 4C (confrontation, condemn, crtitic, conflict). Mari memohon ampun, minta perlindungan dan pertolongan kepada Allah semata.
Malang, 8 Agustus 2014