
Untuk kesekian kalinya, pada hari Selasa, 11 Nopember 2014, penulis berkesempatan pergi ke desa Ngadas. Desa ini merupakan desa terakhir menuju gunung bromo dari arah kota Malang, dihuni oleh penduduk Tengger asli. Penulis tidak ingat lagi, sudah berapa kali ke desa ini (mungkin lebih dari sepuluh kali). Kali ini keperluannya adalah untuk survei menggali profil pemberdayaan masyarakat desa (penyangga) di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Perjalanan ini tidak sendiri, tetapi ditemani kawan seperjuangan (berjuang terus sepanjang hidup… he..he), pak Purnawan, beserta tim (empat orang). Tulisan ini tidak membicarakan perihal survei, riset atau ekowisata, tetapi menggali sudut lain dari sisi perjalanan hidup.
Setiap kali ke Ngadas, memori sebelumnya selalu membayang. Disini, di Ngadas ini, delapan atau sembilan tahun lalu, penulis memulai belajar perihal Ngadas, beserta seluruh kehidupannya. Perihal jalan, bukit, gunung, tegal, hutan, debu, dan orang-orangnya. Sesudah itu, perjalanan dan jalan hidup ke Ngadas berulang dengan berbagai tujuannya.

Kami dijemput (ditunggu) oleh pak Mulyadi Bromo Putro di kecamatan Tumpang. Kami menganggap beliau sudah seperti saudara atau sahabat, bukan hanya karena sering bertemu, tetapi sekali lagi ada perjalanan hidup yang terus bersambung sejak sembilan tahun yang lalu itu. Penulis berbincang ringan dengan beliau saat menunggu sarapan, saling menanyakan dan berkabar perihal keluarga dan putra-putranya. Kami berbicara dalam bahasa Jawa kromo campur ngoko dan bahasa Indonesia. Putra beliau dua orang, yang kecil sudah klas 3 SMA, yang besar sedang menyelesaikan kuliah di Universitas Widyagama Malang.
Penulis menyambung: “Pak Mul, ternyata kita sudah mulai tua”. Pak Mul menyahut: “Oh nggih pak. Itu karena semakin banyak orang yang membutuhkan kita, menunggu kita. Itu yang namanya tanggungjawab. Itu semua menjadikan kita semakin tua”. Pak Mul melanjutkan: “Tapi pak Iwan. Itu tidak perlu dirisaukan. Hidup itu dijalani saja, tidak perlu memaksa diri, mengalir saja, bergerak kemawon. Dengan melakukan perjalanan seperti ini, akan banyak hal diperoleh, ketemu banyak orang dan refreshing. Usia boleh tua, tetapi harus terus bersemangat. Itu yang membuat kita tetap sehat”
Jawaban itu meluncur dari seorang Mulyadi, manusia biasa, penduduk Tengger. Penulis tertegun, merenung sejenak. Itu jawaban yang luar biasa, bernas, dan arif. Penulis menemukan satu pesan moral baru “Semakin banyak orang membutuhkan berarti semakin berat tanggungjawabnya”. Ini juga menimbulkan pertanyaan baru: “Apakah kita dibutuhkan orang lain?”. Ini adalah pesan kehidupan. Pembaca silakan memaknainya.
Pak Mul mengaku berusia sekitar 55 tahun. Tetapi fisiknya luar biasa. Ia tetap melaksanakan kehidupannya, sebagai petani, sekaligus pelaku jasa ekowisata. Pak Mul mengantarkan wisatawan ke gunung Bromo, atau wira-wiri ke kota Malang dengan naik motor atau jeep offroad kesayangannya.
Kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kali ini, agak berbeda, yakni pergi ke dusun Jarak Ijo, salah satu dusun dari desa Ngadas. Desa ini terletak di ketinggian sekitar 2100 di atas permukaan laut. Penulis tidak pernah ke lokasi ini sebelumnya. Dusun ini benar-benar sunyi, penduduknya hanya sekitar 130 kepala keluarga. Siang hari hampir kebanyakan orang pergi ke ladang, tertinggal anak-anak, dan orangtua yang dapat ditemui.
Dalam perjalanan ini, kami mengunjungi tiga lokasi, yakni desa Duwet (kec. Tumpang, kab Malang), dusun Jarak Ijo dan desa Ngadas (kec. Poncokusumo, kab Malang). Selama perjalanan, pikiran merenung sekaligus mengucap syukur. Syukur akan nikmat hidup dan perjalanan hidup ini. Bersyukur atas ciptaan Allah terhadap negeri ini, gunung, bukit, lereng, tanaman, hutan, jalan, lembah, jurang, dan orang-orangnya. Luar biasa indahnya desa Ngadas ini.
Alhamdulillah… Allah sudah memberi kesempatan penulis bepergian kemana saja. Tetapi negeri ini selalu lebih terkenang. Tiba-tiba penulis teringat lirik lagu ibu Soed “Tanah Airku”. Penulis pernah terharu bernyanyi lagu itu, sekitar empat tahun lalu dalam perjalanan darat dari Brno ke Praha, Ceko. Pemandangan musim gugur Ceko tidak seindah negeriku, di Ngadas ini. Ternyata, negeriku ini membanggakan (silakan putar dari video Youtube di widget di samping kanan blog ini, Tanah Airku disuarakan oleh Angklung Hamburg Orchestra).
Tanah Airku (Pencipta Ibu Soed)
- Tanah air ku tidak kulupakan
- Kan terkenang selama hidupku
- Biarpun saya pergi jauh
- Tidakkan hilang dari kalbu
- Tanah ku yang kucintai
- Engkau kuhargai
- Walaupun banyak negeri kujalani
- yang mahsyur permai di kata orang
- Tetapi kampung dan rumahku
- Disanalah ku rasa senang
- Tanah ku tak kulupakan
- Engkau kubanggakan
Pembaca jangan ragu menyanyikan lagu itu. Ulangi, ulangi dan ulang lagi. Resapi dan nikmati, seraya mengucap syukur.
Lembah Panderman, 12 Nopember 2014
Tulisan terkait: