Kami tiba di masjid Nizamuddin pada tengah malam sekitar jam 24.00 waktu setempat (23 januari 2015). Saat itu suhu udara sangat dingin, sekitar 8 derajat (menurut accuweather). Kegelapan malam itu mengantarkan kami masuk masjid. Dari luar, bangunan masjid sepintas mirip gedung bertingkat umumnya yang berwarna cerah. Tidak banyak perhatian untuk mengamati sekeliling karena lebih fokus ke dinginnya udara dan bawaan bagasi. Demikian pula ketika sampai di bagian penerima tamu (istiqbal) di lantai empat, pikiran lebih disibukkan dengan keletihan perjalanan.

Mulai hari kedua, sedikit demi sedikit gambaran masjid mulai penulis kenali seiring mengikuti kegiatan-kegiatan di dalam masjid atau ketika keluar masjid. Gedung masjid Nizamuddin memiliki lima atau enam lantai. Gedung terbagi dua bangunan yang bersambung, yakni (1) masjid untuk ibadah dan (ii) area bukan masjid untuk kegiatan non ibadah-misalnya area istiqbal, dapur/tempat makan, kamar mandi. Antara keduanya memiliki ketinggi lantai yang berbeda, dan dihubungkan dengan tangga. Sementara di dalam area masjid juga terdapat batas garis warna hijau agar jamaah dapat mengkondisikan adab dan kesucian masjid.
Area masjid utama, dimana terletak tempat mimbar ada di lantai 2. Dari sini bayan disampaikan oleh para masyayikh. Disini pula pimpinan jamaah tabligh India, yakni Maulanan Saad hadir untuk sholat, mengisi bayan atau menerima (bersalaman dengan) seluruh jamaah (termasuk asing). Di lantai 2 ini, dikhususkan untuk sholat jamaah India. Meski demikian, jamaah asing juga diijinkan sholat disini. Lantai 2 ini memuat kurang lebih 400 jamaah sholat, karenanya, jamaah India yang lain dapat menempati lantai 1 dan 3. Sementara jamaah asing disediakan di lantai 4 (untuk jamaah Asia) dan 5 (untuk jamaah yang berbahasa Inggris).

Kondisi Masjid Nizamuddin terkesan sangat sederhana. Dari luar masjid, tidak ada tanda-tanda khusus yang menandakan masjid, kecuali hiasan lekukan mirip kubah masjid. Di depan masjid adalah pasar dengan jalanan yang sempit (lebar 4 m). Lalu lintas mobil, motor, becak/bajaj bercampur dengan lalu lalang orang. Hiruk pikuk orang dan aktivitasnya terkadang masih terdengar dalam keheningan sholat. Maklum, di sekitar masjid juga banyak orang-orang India non muslim. Pintu masuk masjid lebih mirip dengan hudang atau toko bangunan. Disain interior sedehana. Warna dinding interior terlihat memudar. Lampu penerangan menggunakan TL panjang 40 watt. Lantai 3 beralaskan tikar dengan anyaman rapat. Sementara di lantai 4 dan istiqbal berlantaikan karpet tipis. Di musim dingin jamaah perlu sleeping bed tebal untuk mencegah udara dan lantai yang sangat dingin.
Di balik kesederhanaan itu, ada organisasi layanan yang luar biasa terhadap para jamaah. Setiap jamaah dicatat secara lengkap perihal nama, asal negara, dan rencana keluar (tashkil) atau tujuan lain di bagian istiqbal. Dari sini petugas (tanpa digaji) mengorganisasikan pemberangkatan jamaah keluar masjid, membentuk kelompok 10 hingga 15 orang, menetapkan amir dan dalil. Proses pembentukan kelompok ini memerlukan kesabaran karena menghadapi jamaah dari beragam latar belakang budaya, bahasa, dan perilaku.
Petugas juga mengkoordinasikan perjalanan, kendaraan mobil, mengusahakan ticketing, melayani penitipan barang, uang dan paspor (amanah room). Juga ada dokter yang melayani jamaah yang memiliki masalah kesehatan. Semua dilayani dengan metode tatap muka yang lembut, sambil duduk bersila, meski ruangnya sangat sempit. Tidak ada alat-alat canggih seperti meja, kursi, mebeler modern, atau komputer untuk administrasi kesekretariatan, kecuali ticketing. Petugas tiket dengan sebuah laptop dapat melayani pembelian tiket pesawat atau kereta api.
Dalam kondisi tertentu, bila jamaah punya keperluan tertentu di India, petugas akan siap melayani. Kasus-kasus seperti jamaah kehilangan paspor, tersesat, sakit atau bahkan meninggal dunia, sudah biasa dihadapi petugas. Petugas siap memberi layanan dalam berbagai bahasa, yakni Arab, Urdu, Melayu, Inggris, Asia Tengah, Indocina. Para petugas tersebut adalah berasal dari jamaah yang bertujuan ingin berkhidmat di masjid Nizamuddin. Semua itu bertujuan untuk memuliakan tamu.
Layanan lain yang tidak bisa dilupakan adalah dapur dan makan. Para petugas semuanya adalah orang India yang berusia muda. Mereka adalah penghafal Qur’an yang khusus diberi tugas berkhidmat. Tugas mereka bukan hanya masak, atau menyajikan makanan dan minum, tetapi juga memelihara kebersihan sekitar dapur. Anak-anak muda ini sangat cepat melayani ribuan jamaah. Mereka dengan mimik tersenyum membawa nampan makanan dan teko minuman, serta mengambil nampan kosong untuk diisi makanan kembali. Dalam satu jam mereka sudah harus menyelesaikan tugasnya, khususnya makan siang dan malam, karena berikutnya adalah jadwal sholat (khususnya Dhuhur dan Isha).
Demikianlah, masjid yang sederhana tersebut mampu melayani perputaran kedatangan dan kepergian jamaah dari dan ke seluruh dunia. Semua dilayani dengan baik sebagaimana saudara atau keluarga sendiri. Saat penulis mau kembali ke tanah air, penulis lapor ke bagian ticketing. Mereka dengan lembut mengkonfirmasi status tiket, dan meminta penulis bersiap di tempat istiqbal 4 jam sebelum jadwal flight. Ketika tiba saatnya, ternyata telah terkoordinasi enam jamaah (3 orang Indonesia, 1 orang Angola, dan 2 orang Malaysia) yang bersama-sama pergi ke bandara.
Penulis menyebut ini sebagai manajemen ala sahabat, namun mampu melayani kebutuhan dunia modern.
Lembah Panderman, 5 Februari 2015
Tulisan terkait: