Masjid Nizamuddin terletak di sebelah tenggara kota New Delhi, di kelilingi pemukiman dan pasar, dekat dengan akses jalan utama kota New Delhi. Masjid Nizamuddin sebagai markas gerakan dakwah telah berkembang sejak tahun 1925. Nama wilayahnya dalam bahasa India adalah Hazrat Nizamuddin Basti, kurang lebih artinya kampung Nizamuddin. Penulis menemukan padanan kata basti setara dengan ghetto, artinya pemukiman padat dan miskin atau dihuni penduduk minoritas.


Di sela-sela kegiatan di dalam masjid, penulis dan kawan-kawan menyempatkan jalan-jalan berkeliling di sekitar masjid, menikmati kampung Nizamuddin. Apa menariknya wilayah ini? Pertanyaan ini menggelitik penulis.

Masjid Nizamuddin berhadapan langsung dengan pasar, dengan lebar jalan hanya sekitar 4-5 meter. Mobil, bajaj, motor, gerobak lewat jalanan ini dari jalan raya menuju perkampungan dan pasar, dan sebaliknya. Tepat di depan masjid senantiasa padat karena pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada jamaah atau orang lain. Di sekitarnya juga ada restoran, money changer dan apotik. Masuk lagi ke arah perkampungan ada makam, yang tidak ada hubungannya dengan masjid Nizamuddin. Masih ada lagi makam besar di Nizamuddin, yang menjadi tujuan ziarah warga muslim India. Ini juga tidak berkaitan dengan gerakan dakwah. Bila tidak hati-hati, sopir taksi sering salah mengantar jamaah dari bandara Indira Gandi ke makam ini.

Pemandangan kampung Nizamuddin memang terkesan padat. Banyak orang lalu lalang, ada pengemis atau penganggur. Sepeda motor dikendarai masuk gang-gang kecil. Pemukiman sangat kentara menandakan kampung lama, yakni jalanan sempit, bercampur antara pemukiman dan warung/pasar, kabel listrik/telfon berseliweran, pipa air minum (ledeng) muncul kurang rapi dan usang, air buangan mengalir tidak pada tempatnya. Pedagang sayur dengan gerobak atau asongan mangkal di tepi jalan sempit. Sayurnya pun berwarna-warni dan berukuran besar. Wortel bukan kekuningan tetapi ke merahan. Penjual sayur adalah bapak-bapak. Pemandangan mlijo di pasar ini penulis lihat seperti di kampung-kampung lama di Indonesia, misalnya Peneleh atau Blauran (di Surabaya), kidul pasar (di Malang); yang keadaannya saat ini lebih tertata.
Kami sempat masuk ke pasar, mirip pasar Blauran Surabaya, atau pasar besar Malang dengan usia bangunan yang lebih tua. Bangunan pasar bertingkat dua atau tiga, dengan stan berukuran kecil. Jalan pengunjung antar stan hanya selebar satu setengah meter. Pasar terdiri bagian atau blok, yang menyediakan beragam kebutuhan, antara lain makanan, tekstil/garmen, perlengkapan sholat, baju, buku, apotik/obat, money changer dan elektronika. Pasar ini secara umum menyediakan kebutuhan para jamaah (dari seluruh dunia) utamanya untuk keperluan tashkil (keluar) ke masjid di seluruh pelosok India. Karena itu, nuansa global sangat terasa di pasar. Pedagang bisa berbahasa Arab, Inggris atau Melayu, dan berperilaku ramah. Suasana ini seperti pasar/pedagang di kota Mekah atau Madinah.

Di pasar, para jamaah biasanya membeli sleeping bed, baju gamis, sorban, kuf (sepatu kulit), jaket, sarung tangan. Mata uang yang dipakai adalah rupee. Menurut kawan yang pengalaman ke India, harga-harga disini tergolong murah. Beberapa money changer melayani penukaran uang dari berbagai negara, dengan harga yang pantas sesuai kurs yang berlaku. Kami sempat membeli kain wool kashmir ukuran 1.25 x 2 m, dengan harga 400 rupee setara 80 ribu. Kain ini biasa dipakai untuk selimut, atau dililitkan di badan untuk menahan dingin. Saat umroh atau haji oleh jamaah Pakistan atau India sering mengenakan kain ini. Seorang teman sempat memesan baju gamis di salah satu penjahit. Pembaca jangan terkejut, sehari pesanan langsung jadi, dikerjakan oleh dua orang.
Hal yang menarik adalah toko buku. Ada beberapa toko buku, yang kecil maupun besar. Toko buku besar ada tepat di seberang masjid Nizamuddin. Toko ini berlantai dua, lantai bawah (seperti basemanet) menyediakan baju dan perlengkapan sholat; sementara lantai atas menyediakan buku yang cukup lengkap, tersusun di seluruh dinding toko. Bentuk ruang toko berbentuk L, dengan luas total sekitar 30 m persegi, sayang penulis tidak sempat menulis nama toko ini. Di toko buku ini menyediakan buku berbahasa Arab, Inggris dan Urdu. Sejak awal memahami sejarah Nizamuddin, sangat kentara bahwa keilmuan Islam disini sangat kuat. Ini diakui oleh ustadz Alvin (rombongan kami), dimana ulama-ulama India memiliki daya pemikiran agama tinggi. Lembaga pendidikan Islam berdiri sejak lama, secara langsung atau tidak langsung melatarbelakangi gerakan dakwah. Pondok di India adalah sentral untuk mendidik tahfis (hafal) Quran dan hadist. Dengan buku-buku yang luar biasa banyaknya di toko itu, penulis tidak punya banyak pilihan karena tidak mengerti bahasa Arab. Namun, penulis beruntung bisa membeli buku History of Islam (dua jilid tebal) seharga 800 rupee (setara 160 ribu rupiah), Humanity at the Death’s Door (65 rupee) serta Al Quran saku. Buku History of Islam, ternyata menjadi buku pegangan di jurusan/prodi sejarah Islam di Indonesia. Belakangan, kawan-kawan lain juga membeli buku-buku yang menurut mereka juga sangat bagus dengan harga yang relatif murah. Penerbit dari India memang diketahui menerbitkan low price edition dari buku yang sama yang terbit di negara-negara maju.


Saat kami berkunjungn disini (22-28 Januari 2015), cuaca masih masuk musim dingin, dengan suhu 5 hingga 17 derajad. Udara dingin pagi hari memaksa setiap orang menggunakan jaket, topi dan sarung tangan, baik orang India maupun pendatang. Orang-orang berjemur di sinar matahari sambil menikmati jalanan di sekitar pasar. Banyak orang antri membeli minuman cai atau teh susu. Susu segar ini dari susu kambing atau susu kerbau. Pedagang (kaki lima) cai menggunakan susu segar (dicampur gula) yang dipanaskan dengan mesin uap panas. Setelah mendidih, susu dituang ke gelas kertas 150 cc dan dimasukkan teh celup. Metode pembuatan dan penyajian cai ini menjadi pemandangan yang menarik, dan belum ada di Indonesia. Harga segelas cai 10 rupee (setara dua ribu rupiah, murah bukan?), cukup untuk menghangatkan badan. Suasana makin nikmat dengan roti panggang sandwich telor. Pokoke mak nyus…
Kami sempat membeli buah segar untuk mensuplai kebutuhan mineral dan vitamin. Disini kami temukan buah delima, seukuran buah apel. Buah lainnya adalah pisang, apel, pir, jeruk, anggur hijau/atau ungu. Mutu buah, warna, dan tekstur sangat baik, menunjukkan komoditi buah mutu ekspor. Ini mirip dengan buah-biuah impor yang masuk Indonesia. Harga dua sisir pisang, delima 1 kg, pir 1 kg dan jeruk 1 kg sebesar 300 rupee (setara 60 ribu rp). Luar biasa murah. Daging buah delima berwarna merah tua, dengan rasa manis. Kecuali pisang, buah-buah tersebut tumbuh baik di iklim sub tropika seperti di India. Wajar bila jumlahnya melimpah dan harganya murah.
Demikianlah sejenak rehat dari kesibukan mengisi amalan-amalan di dalam masjid Nizamuddin. Kini Nizamuddin bukan lagi kampung miskin, tetapi kampung bernuansa global, dengan aliran ekonomi barang, orang dan jasa sangat tinggi. Dimana orang-orang beriman dan bersyukur berada, Allah akan menurunkan nikmatnya (QS 14 Ibrahim: 7).
Lembah Panderman, 9 Februari 2015
Tulisan terkait: