Adaptasi (dosen) doktor (baru)

Seorang dosen yang studi doktor, ibarat seorang pejuang ilmu.  Bagaimana tidak, ia pasti mengerahkan tenaga dan pikirannya (termasuk pengorbanan keluarga) untuk memperoleh, menggali dan mengembangkan ilmu.  Siang malam, pagi sore, ia tidak henti membaca, menganalisis, mensintesis, menulis, untuk mendapatkan ilmu secara utuh.   Ia juga dapat stress memikirkan risetnya yang teramat sulit, ditambah lagi tekanan yang diberikan oleh promotor atau evaluator.  Belum lagi munculnya masalah non akademik, misalnya kendala keuangan, atau keadaan rumah tangga, yang pasti juga memerlukan perhatian.  Itu semuanya menjadi pengalaman berharga.  Pasti banyak manfaatnya dalam kehidupan kelak.

Begitu ujian akhir tiba dan dinyatakan lulus oleh penguji, maka mulai sedikit longgar tenanan yang diterima si doktor baru.  Si doktor baru tersebut pulang kembali ke Universitas atau PTnya, sebagai dosen bergelar doktor.  Namun, ini bukan hal yang mudah dikelola oleh si doktor.  Bahkan bisa jadi doktor baru tersebut menjadi problem maker di kampusnya.  Berikut ini paling tidak ada tiga kondisi yang mungkin dialami oleh doktor baru.

  1. Cepat tune-in dengan kegiatan-kegiatan kampus. Doktor baru mampu menyesuaikan diri dengan rendah hati dengan kehidupan kampus, bahkan langsung ikut membantu kegiatan institusi, mengajar atau riset.  Ia diterima dosen atau karyawan lain dengan baik, dan nyata-nyata memberi kontribusi bagi aktivitas kampus.
  2. Wait and see. Doktor baru terkesan menunggu, atau menjaga jarak untuk terlibat dalam kegiatan kampus.  Kondisi ini tidak boleh berlangsung lama, pihak kampus perlu membantu adaptasi doktor baru, dengan berkomunikasi atau menunjukkan tugas-tugasnya sebagai dosen, atau program riset yang sedang berjalan.
  3. GR (gedhe rumongso). Dosen doktor baru memiliki persepsi atau harapan yang terlalu tinggi, berbeda atau melampaui kemampuan kampus.  Misalnya, ia ingin fasilitas lab yang canggih seperti saat riset S3.  Hal ini tentu tidak dapat dipenuhi pihak kampus.  Ego si doktor ini bisa menjadi masalah bagi kampusnya dan bagi dirinya sendiri.

doktor baruDari tiga kondisi tersebut, jelasnya doktor baru perlu adaptasi secepat-cepatnya dengan kampus.  Saat ini, seorang doktor baru harus segera menyelesaikan status aktif, agar ia memiliki hak penuh sebagai dosen.  Ia pun segera menyiapkan diri terlibat dalam riset atau pengabdian masyarakat (dalam simlitabmas.dikti.go.id). Ia juga harus segera mengurus sertifikasi dosen (dalam serdos.dikti.go.id).  Penulis melihat, tiga rukun aktivitas itu memerlukan waktu paling cepat satu tahun, dengan volume kegiatan dan pemberkasan yang repot, detil dan teliti, melelahkan dan sangat menyita waktu (lihat file berikut).  Hal tersebut makin merepotkan doktor baru apabila memiliki tugas-tugas lain, misalnya mengajar dengan sks tinggi, mendampingi tugas bidang kemahasiswaan, diberi amanah jabatan oleh kampus, atau menjadi bagian tim hibah institusi atau akreditasi.

Sumber: urbanstandard.rs

Satu yang pasti, doktor baru juga membawa pengalaman positif dari tempat studi S3 dimana ia belajar.  Etos kerja selama studi pasti tidak hilang begitu saja.  Kebiasaan update kepustakaan seyogyanya dipertahankan.  Komunikasi dengan kolega dan promotor juga tetap dijalin.  Atau, idealisme menulis jurnal, makalah atau buku tetap berlanjut.  Hal-hal positif saat masa studi S3 ini harus tetap dipelihara, bahkan wajib ditularkan untuk meningkatkan etos kerja dan budaya akademik lembaga.

Jadi, sebenarnya seorang doktor baru pasti sangat sibuk bekerja.  Karena itu energinya harus diarahkan dengan benar dan tetap fokus ke kepentingan akademik.  Ia tidak perlu mencari aktivitas non akademik, yang justru melunturkan idealisme akademik. Ilmu telah ia peroleh, ilmu diamanahkan kepadanya, ilmu harus dipertanggungjawabkan melekat ke profesinya. Ia tidak perlu bersikap wait and see, apalagi GR.  Nggak usah jaim, atau malu-malu bertanya kepada kaprodi, dekan atau lembaga kampus yang menangani riset, penjaminan mutu, atau kepegawaian, agar langkahnya efisien dan efektif.  Manut saja… simpel, manut saja.  Kunci sukses kinerja orang Jepang, karena manut dan menghormati lembaga dimana ia bekerja.

Pendapat di atas, penulis dapatkan dari guru-guru penulis. Mereka memang guru-guru lama, guru jaman dahulu, yang sangat konsisten dengan profesi guru atau dosen.  Tetapi guru seperti itu saat ini juga banyak ditemui, penulis menjalin hubungan kolegial dengan mereka.  Mereka bilang, seorang doktor tidak pernah bising dalam keramaian, tidak pernah sepi dalam kesendirian.  Artinya seorang doktor sudah dibekali ilmu, ilmu itulah yang menemani hidupnya. Dalam suka atau duka, sempit atau luang, ia konsisten untuk mendalami ilmunya dan mentaati kaidah keilmuan . Ia tidak akan terpengaruh dengan godaan, pengaruh, atau ajakan kepentingan non akademik.  Itu sebabnya langkah mereka itu sangat efisien, cepat dan dinamis.  Jabatan guru besar segera diraih tidak lama setelah studi doktor.

Bro and bra (Bendoro Raden Ayu),..be humble, and be happy and make friends

Lembah Panderman, 10 Juli 2015

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *