Bulan Ramadhan sangat dirindukan oleh seluruh muslim. Betapa bulan ini mampu meletakkan hati setiap muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah, berharap rahmat dan ampunan, serta berharap menjadi penghuni surga. Setiap muslim di seluruh dunia, tidak peduli apa rasnya, budayanya, profesinya, usianya, miskin atau kaya, laki atau perempuan, semuanya ingin meraih predikat taqwa. Bulan Ramadhan mampu mengikat hati untuk senantiasa terkendali sehingga aktivitas apapun akan membuat suasana nyaman, sejuk dan damai. Itu sebabnya kehadiran Ramadhan senantiasa ditunggu, dan setiap muslim berharap bertemu Ramadhan kembali.
Kini bulan Ramadhan telah berlalu. Aktivitas ibadah dan amalan di dalamnya tentu tidak hilang begitu saja. Sholat berjamaah, sholat malam, infaq atau zakat, silaturahim, atau amal lainnya sangat membekas. Kini, itu semuanya harus dipertahankan. Memelihara ketaqwaan di luar bulan Ramadhan memerlukan pengelolaan yang tidak mudah. Hanya orang-orang tertentu yang mampu menjalaninya tentu dengan bekal iman dan islam.
Siapa orang yang bertaqwa itu? Dalam surat Ali Imron 134, dinyatakan mereka adalah orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit (yunfiquna fis sarra’i wad darra’i), yang menahan amarahnya (kathiiminal ghaitha) dan memaafkan (kesalahan) orang lain (‘afina’nin nas). Arti ayat itu sangat jelas dan nyata, orang bertaqwa telah mampu menyelesaikan masalah-masalah dunia. Ia bukan orang yang menghitung-hitung hartanya untuk dinafkahkan, juga bukan orang yang mudah marah karena urusan dunia, dan tentu saja orang yang mudah memaafkan orang lain sekaligus melupakan kesalahan orang. Mereka adalah orang-orang yang ihsan, ikhlas, yang hanya mengharap keridhoan Allah semata, dan tidak melintas pikirannya tentang orientasi dunia. Kedudukan, jabatan atau gengsi, atau martabat dunia tidak bermakna apa-apa kecuali untuk mengharap keridhoan Allah.
Menemukan orang dengan tiga sifat tersebut, apakah mungkin? Jawabannya pasti ada, dan banyak. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesalehan sosial, yang memiliki kepedulian sosial, akhlak atau bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Mereka taat beribadah (kepada Allah), memahami nilai-nilai iman dan islam untuk diimplementasikan kepada kehidupan sosial. Implementasi kehidupan keislaman buka sekedar formalitas individual, tetapi memancarkan dan mencerahkan kepada orang lain. Mereka mampu menunjukkan kedalaman ilmu, keteladanan sunah Rasul, kehati-hatian, kesejukan, kenyamanan dan harmoni sosial. Tentu saja, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan demikian (wallahu yuhibbul muhsinin). Mereka itulah para ulama yang ikhlas, yang dengan lembut menjalankan tugas dan dakwah, di desa-desa dan pelosok, untuk memelihara iman umat.
Kehidupan para ulama itu menjadi contoh nyata untuk meraih derajad ketaqwaan. Masyarakat yang lain, apapun profesinya, seyogyanya meneladani, mengikuti atau mendekati kehidupan para ulama. Banyak sikap dan perilaku hidup bertaqwa ulama yang dapat ditiru, misalnya ketaatan kepada Allah, kedalaman ilmu, keikhlasan, kearifan, dan kehati-hatian memahami kehidupan. Kita dengan mudah melihat keikhlasan ulama untuk menafkahkan harta atau ilmunya, selalu membaca dan belajar, sejuk dan tersenyum tanpa marah menghadapi orang lain, serta sangat mudah memaafkan orang lain.
Organisasi akan maju dan berkembang, bila orang-orangnya menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Bagaimana wujud atau tanda-tanda ketaqwaan itu? Mudah saja. Pertama, implementasi yunfiquna fis sarra’i wad darra’i bisa dilihat dari bagaimana cara karyawan bekerja melayani dengan kesungguhan, senyum dan ramah, sekalipun ia sedang sibuk atau longgar. Karyawan saling bekerja sama, saling membantu dan mengisi, dan bekerja keras, untuk memberikan kemampuannya semaksimal mungkin bagi kepuasan konsumen. Ia berikan penjelasan dengan sabar, runtut dan jelas agar konsumen memahami dan tuntas urusannya. Karyawan itu dengan ikhlas mengorbankan tenaga, waktu dan pikirannya untuk belajar lebih cepat dan trampil memberikan layanan terbaik. Dengan sikap dan perilaku demikian organisasi memiliki budaya mutu, keunggulan dan produktivitas yang tinggi. Implementasi standart mutu akan menjadi kelengkapan formalitas, karena sesungguhnya nilai-nilai mutu telah tertanam dalam nilai-nilai ketaqwaan.
Kedua implementasi kathiiminal ghaitha bisa dilihat dari bagaimana sikap karyawan bekerja dikaitkan dengan kondisi kritis tertentu. Umumnya sumber kemarahan adalah karena faktor keduniaan. Orang menjadi marah karena hak-haknya terkurangi, terganggu atau tersinggung, misalnya aturan lebih ketat, upahnya berkurang, nilai dolar menguat terhadap rupiah, merasa kurang dihormati. Wujud marah ini bisa berupa mogok, ngambek, keluhan, menghasut, provokasi, demo, atau mengeluarkan kata kasar atau perilaku merusak. Hal ini semua sangat tidak nyaman bagi lingkungan organisasi. Organisasi akan hancur bila dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mampu menahan amarah.
Orang yang bertaqwa akan mampu menahan amarah. Dengan bekal sikap ikhlas dan ilmu tidak akan melakukan hal yang tidak produktif bagi organisasi atau lingkungannya . Sikap ikhlas dan ilmunya akan memancarkan sinyal-sinyal kesabaran, memahami kehendak Allah, dan memperkuat pendekatan kepada Allah. Ia meyakini kondisi kritis tertentu perlu hadir untuk menguji ketaatan setiap orang, juga setiap orang juga akan diuji pada saat berkecukupan. Dengan sikap dan perilaku demikian organisasi akan menunjukkan lingkungan yang sejuk, nyaman dan harmoni, untuk menghasilkan produktivitas lebih tinggi.
Namun, sikap marah diperlukan untuk menegakkan organisasi terkait pelanggaran kedisiplinan/etika, atau pelemahan iman. Sikap marah dinyatakan dalam sistem kepegawaian melalui keputusan atau sanksi terhadap orang yang melanggar kedisiplinan, misalnya kriminal, korupsi, murtad, maksiat atau indisipliner. Teladan hidup kita Rasulullah juga pernah marah. Kemarahan Nabi berhubungan dengan kepentingan agama. Nabi perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Pada suatu saat, Nabi menunjukkan kemarahan, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, implementasi ‘afina’nin nas bisa dilihat dari bagaimana sikap hidup saling menyadari kelemahan sebagai manusia, saling memaafkan, dan saling melupakan kesalahan. Sikap memaafkan terasa mudah untuk diucapkan, namun sulit diimplementasikan. Begitu sulitnya, terkadang baru diikhlaskan ketika sudah mendekati usia lanjut, atau saat-saat dimana kebutuhan mendekat Allah. Karena itu, mengupayakan terus menerus untuk mendekatkan diri kepada Allah akan dengan cepat melahirkan sikap memaafkan kesalahan orang lain. Sikap memaafkan bukan lahir begitu saja, tetapi merupakan satu kesatuan atau resultan dari kebiasaan menafkahkan harta dan menahan amarah. Tiga sikap ini adalah bekal lahirnya kesalehan sosial
Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling hasut. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut dapat menjadi pegangan praktis dalam hubungan kerja atau kehidupan sehari-hari. Memang tidak elok tidak saling menyapa saat bekerja melayani konsumen. Coba bayangkan, seumpama kita dilayani karyawan yang sedang marahan, pasti kaku, aneh dan rempong ..he..he.. Lebih penting lagi, sikap ikhlas dan jujur memberi maaf akan melanggengkan persahabatan karena Allah. Betapa indahnya kehidupan organisasi yang diisi karyawan yang pemaaf, ramah dan produktif.
Selamat Idul Fitri 1436H, mohon maaf lahir dan bathin.
Lembah Panderman, 18 Juli 2015