Memaknai (Teknologi) Informasi Baru

Pada suatu waktu, sebuah kantor melaksanakan kebijakan baru, yakni finger scan untuk pencatatan kehadiran.  Hal ini langsung direspon beragam oleh karyawannya. Satu sisi, banyak orang yang sepakat dengan hal baru tersebut.  Namun ada juga yang menolaknya, karena hal itu tidak berpengaruh bagi perubahan kinerjanya.  Hal sama ketika diterapkan kamera CCTV.  Mereka yang menolak sangat keras, beranggapan tidak nyaman, bekerja diawasi akan mengganggu privasi.  Hal sama, juga ketika diberlakukan SIM baru, dimana SIM baru dianggap menyulitkan, dan kinerja seseorang menjadi teramati secara nyata.

Namun deskripsi kendala di atas sudah lewat, menjadi masa lalu.  Kini, semua karyawan kantor tersebut sudah biasa dengan teknologi baru.  Dulu yang sempat merusak sensor finger scan, kini biasa dan rajin unjuk jari tiap pagi.  Dulu yang takut dengan CCTV, bahkan minta nambah CCTV di ruangannya agar aman, katanya.  Dulu yang takut SIM, kini keranjiingan dengan online terus menerus.  Memang masih ada yang pesimis atau menolak, tapi itu hanya segelintir orang.  Orang-orang seperti ini senantiasa ada dalam populasi, dalam ilmu statistika namanya pencilan, atau outlier.

Perubahan teknologi kini telah membuat kemajuan, meningkatnya mutu layanan, rasa aman dan nyaman.  Organisasi bisnis modern telah memperoleh manfaat signifikan dari perubahan teknologi tersebut.  Lihatlah teknologi e-ticketing, membuat nyaman, aman, cepat dan praktis dalam jasa transportasi.  Dunia bisnis atau jasa telah bertransaksi online. Mekanisme governance pemerintahan juga sudah melalui e-budgeting dan e-procurement.  Di kampus, mengisi KRS online, tugas-tugas online dan tata kelola pembelajaran online.  Tentu, mahasiswa online tersebut harus diimbangi juga dengan dosen yang online.

Penolakan terhadap hal-hal (atau teknologi) baru adalah hal biasa.  Hal ini menunjukkan bahwa memang ada semacam keengganan terhadap hal-hal baru.  Alasannya macam-macam, misalnya teknologi baru belum teruji, mahal, menyulitkan, bertele-tele, dan sejenisnya yang menjelekkan hal (teknologi) baru.  Hasil studi di Selandia Baru, menunjukkan bahwa dari lima rumah tangga, hanya empat yang terkoneksi dengan internet (1).  Rumah tangga yang belum mau terkoneksi dengan internet, memperlihatkan ragam alasan antara lain: 50 persen tidak tertarik, 30 persen harganya mahal, dan 12 persen kurang trampil IT.

Penolakan terhadap hal-hal baru adalah fenomena umum, terjadi di berbagai kondisi dan waktu.  Alasan penolakan terhadap teknologi baru mungkin dapat dirinci lebih panjang, baik alasan obyektif maupun pribadi, teknik maupun nonteknis, atau dipengaruhi kepentingan.  Semua alasan itu bersumber kepada hal mendasar, yakni tidak mau berubah, atau sulit untuk berubah; atau tidak mau belajar.

Diperkuat dengan data di atas, dan juga pengalaman penulis sebelumnya, penolakan atau hambatan dalam menjalankan implementasi teknologi baru, bersumber utama dari problem sosial, dan kendala SDM memahami teknologi baru.  Memang tidak semua orang terbiasa sambung dengan teknologi baru, misalnya internet.  SDM usia lanjut makin sulit beradaptasi internet dibanding dengan SDM usia muda.  Tapi itu, harusnya tidak boleh terjadi pada dunia modern sekarang, pada bidang jasa profesional seperti polisi, akuntan, perbankan, monetary, .. apalagi perguruan tinggi.  Kalau mahasiswa atau dosen tidak kenal atau tidak terbiasa IT, woooww .. piye iki!!

Mengapa kok harus menguasai teknologi baru?  Sederhana saja jawabnya.  Yakin.  Itu saja.  Yakin bahwa teknologi baru pasti bermanfaat, membantu manajemen, efisien, dan mudah.  Memahami keyakinan ini tentu tidak asal-asalan.  Yakin perlu modal atau bekal, paling tidak tiga modal, yakni ilmu, strategi, dan kerjasama.  Ini seperti bekal Rasulullah dan sahabat saat hijrah dari Mekah ke Madinah.  Ilmunya adalah ketauhidan tingkat tinggi kepada Allah.  Strategi adalah jalur hijrah yang jitu dan tidak terdeteksi oleh kaum kafir Mekah.  Kerjasama adalah kompak, loyal dan bersama-sama mentaati perintah Rasul.

Dalam memahami teknologi baru, modalnya juga sama.  Ilmunya adalah konsepsi atau penguasaan tentang ilmu atau teknologi.  Strategi adalah semangat tinggi, sungguh-sungguh dan tangguh (tidak suka mengeluh) untuk membaca, menggali, menganalisis, dan sintesis tentang teknologi.  Kerjasama adalah kompak, loyal dan bersama-sama mentaati ahlinya. Sederhana kan.

Itu semua baru bekal, rasanya masih perlu dilengkapi sikap-sikap positif lainnya agar dapat memahami teknologi baru.  Teknologi atau informasi baru perlu ditempatkan di dalam pikiran atau sikap seseorang, pikiran perlu fleksibel menerima hal baru, kemudian pikiran mengidentifikasi, menganalisis dan mensintesis sisi-sisi positifnya untuk digunakan bagi kemanfaatan banyak orang, bukan sekedar untuk dirinya sendiri.  Bukan sebaliknya, pikiran seolah-olah dianggap paling baik untuk menjustifikasi terhadap teknologi atau hal baru.  Bila demikian, maka yang muncul adalah penilaian sepihak, menyalahkan, bid’ah dan yang sejenisnya.  Ini sikap orang-orang yang memaksakan kehendak, arogan dan terlalu bernafsu.  Berikut ini beberapa sikap positif yang perlu diteladani memahami teknologi atau informasi baru.

Hidup harus berubah, tidak ada yang abadi di dunia kecuali perubahan itu sendiri.  Ungkapan itu mungkin sering dikenali dan didengar.  Apa maknanya? Bahwa waktu akan berlalu, detik, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya.  Usia juga akan bertambah.  Informasi datang setiap waktu.  Kebutuhan juga berubah setiap waktu.  Kehidupan ekonomi, lingkungan dan sosial juga dinamis mengikuti perkembangan.  Organisasi juga dinamis berubah, makin efektif dan efisien.  Teknologi juga makin maju.  Semua itu adalah perubahan.  Perubahan adalah inti kehidupan. Manusia harus ikut berubah, meningkat iman dan taqwanya, makin rendah hati, bertambah ilmunya, makin kompeten, semakin trampil, makin harmonis dengan sosial dan lingkungannya.   Hanya benda mati yang tidak berubah.  Orang yang tidak mau berubah sama dengan mati.

Orang harus bersifat terbuka.  Mata, batin dan pikirannya harus positif dan terbuka untuk menerima kebaikan dari lingkungan.   Jangan berpikir, diri sendiri lebih baik dari orang lain, dan kemudian memaksakan kebaikan kepada orang lain.  Harus dibalik, bahwa orang lain pasti punya kebaikan.  Kebaikan dari orang lain itulah yang kemudian dapat di share dengan orang-orang lainnya.  Berpikir terbuka akan mengembangkan sikap penghargaan kepada orang lain, sekaligus mampu mengidentifikasi sisi positif dari lingkungan atau orang lain.   Pikiran itu seperti parasut, yang akan berguna jika ia terbuka.  Dengan berpikir terbuka maka akan ada tambahan pengetahuan yang luar biasa.  Ini dapat berguna untuk membantu analisis pemecahan permasalahan, menemukan jalan keluar, dan untuk memberi penghargaan kepada orang lain.  Hanya orang-orang yang berilmu dan memperoleh hidayah yang memiliki pikiran terbuka.

Ayo bro and bra (bendoro raden ayu).. jangan takut IT, jangan gaptek, …apa kata dunia!

Lembah Panderman, 20 Sept 2015

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *