Mengenang Pak Sugeng yang Sumeleh

Mengenang Pak Sugeng yang Sumeleh

Saya masih tidak percaya.  Benar-benar tidak percaya ketika mendengar berita duka itu pada hari Minggu malam (tanggal 11 Desember 2016).  Di group WA tertulis berita duka, pak Sugeng Pambudi, kepala SMA Widyagama meninggal dunia.  Saya kemudian memastikan berita itu, dengan menghubungi orang-orang terdekat beliau.  Dari Wakil Kepala SMA, akhirnya berita itu terkonfirmasi benar.

Pak Sugeng Pambudi, nama lengkap beliau. Beliau adalah anggota dari keluarga besar Yayasan YPPI Widyagama, termasuk guru senior di SMA Widyagama.   Beliau adalah seorang guru agama, bergelar MAg, juga mengajar matakuliah Agama Islam di Universitas Widyagama Malang.  Ia benar-benar seorang guru, yang pantas diteladani.  Seorang yang sikap dan perilaku hidupnya sederhana, lembut dan rendah hati.  Ilmu agama yang dikuasai dan sikap/pandangan hidupnya sangat sinkron, menciptakan akhlak beliau yang mulia.

Pak Sugeng sangat sering dan lebih aktif menemui dan menghubungi saya, baik datang langsung ke ruang kantor maupun menelfon.  Padahal usia beliau empat tahun di atas saya.  Saya merasa malu terhadap beliau.  Tapi begitulah beliau, benar-benar orang yang rendah hati.  Dan beliau memanggil saya “ustadz”, meski saya berulangkali menyampaikan keberatan, karena saya belum layak dengan panggilan itu.

Materi pembicaraan dengan pak Sugeng selalu berhubungan dengan orang lain. Beliau tidak pernah menyampaikan perihal kepentingannya sendiri.  Kepedulian beliau kepada orang sangat kuat.  Yang beliau pikirkan senantiasa perihal kesejahteraan guru dan karyawan SMA.  Di lain waktu, beliau minta bantuan tentang beasiswa bagi siswa yang tidak mampu.  Bila yang kita diskusikan tidak menemukan solusi, beliau selalu mengucap: “Ndak papa ustadz, wong namanya sudah berusaha”.  Jawaban itu membuat saya trenyuh, jawaban yang sangat ikhlas, pasrah dan nrimo.

Sebaliknya setiap bertemu itu, saya juga meminta nasehat beliau selaku senior atau guru agama.  Nasehat tentang kebaikan dan keikhlasan.  Beliau sekali lagi rendah hatinya keluar, tidak begitu saja mengeluarkan nasehat.  Akhir dari nasehatnya, selalu “kita jalani saja” dengan nada datar.

Kerendahan hati dan keikhlasan Pak Sugeng, membuat sosok beliau selalu nyaman atau “no problem”.  Bagaimanapun juga sebagai seorang guru, apalagi guru Yayasan, tentu hidupnya sangat tidak mudah.  Namun beliau nampak ikhlas, atau sumeleh.  Saya biasa menghadapi banyak orang dengan berbagai karakter.  Karakter orang yang sumeleh seperti pak Sugeng ini jarang ditemukan.  Kalaupun ada satu dua.  Lainnya kebanyakan mengeluh dan menuntut.

Sumeleh, memiliki makna berserah, atau ikhlas; bukan menyerah.  Sumeleh dekat-dekat dengan pengertian makrifat.  Seorang yang sumeleh telah melampaui atau melewati ujian kehidupan.   Hal yang berat itu melatih seseorang untuk hidup seleh, atau meletakkan hal-hal yang berat sehingga terasa ringan.   Orang sumeleh, bersedia dan berani meletakkan atau membebaskan diri dari sesuatu yang sangat ‘berat’, yaitu ego.  Ego itu muncul dalam sikap dan perilaku sombong, membanggakan diri, tidak menghargai orang lain, atau arogan, seperti aku bisa, aku mampu, akulah yang bisa, aku ingin ini itu, dia itu apa, atau perilaku merendahkan orang lain (1).

Tentu saja, orang yang sumeleh seperti pak Sugeng ini disukai banyak orang.  Hal ini terbukti, pentakziah yang hadir ke rumah duka di Tulungagung sangat banyak, dan beragam usia.  Mereka semua terkesan dengan sumelehnya pak Sugeng.  Ada beberapa anak muda, yang rela jauh-jauh naik motor dari Malang ke Tulungagung untuk menyatakan duka dan mendoakan almarhum. Mereka ini dahulu adalah murid SMA Widyagama.

Ya Allah, ampunilah dosanya, berilah rahmatMu ke atasnya, sejahtera dan maafkanlah dia (Allahumma firlahu warhamhu wa afihi wa’fu anhu).  Mari kita teladani sikap keikhlasan, kepasrahan, dan sumeleh dari almarhum pak Sugeng.

Malang, 13 Desember 2016

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *