Sabar dan tenang bekerja

Seorang kawan memberi nasehat, agar tetap sabar menghadapi kehidupan.  Kesabaran bermakna meletakkan posisi kebenaran pada tempatnya (organisasi).  Kesabaran mencegah pengambilan keputusan yang tidak tepat.  Kesabaran menunjukkan proses pembelajaran.  Kesabaran itulah yang membuat kehidupan tetap bertahan.  Kawan tersebut melanjutkan:” Lima tahun yang lalu kita juga menghadapi masalah yang kurang lebih sama.  Dan ternyata keadaan masih bertahan.  Itu semua karena semua orang mau belajar di dalam kerangka budaya organisasi.

Nasehat perihal kesabaran sudah banyak diungkapkan.  Nasehat tersebut diperlukan untuk menyadarkan, mengingatkan atau refreshing dari keadaan hati, perasaan dan pikiran yang tidak tenang.  Perasaan tidak tenang lahir dari rasa tanggungjawab atau hasrat, khususnya bagi yang sedang amanah.  Mengapa? Karena setiap orang pasti membawa amanah dan tanggungjawab.  Amah dan tanggungjawab sebagai kepala keluarga, sebagai guru/dosen, sebagai pemimpin, sebagai mahasiswa atau sebagai pribadi.  Tanggungjawab yang berat mengemban amanah untuk segera mengerjakan sesuatu dengan berhasil.

Ada sebuah cerita, seseorang baru mengemban amanah jabatan pimpinan suatu perusahaan.  Orang ini punya prestasi bagus dalam karier sebelumnya.  Ia punya pengalaman bekerja di perusahaan asing.  Namun, pimpinan baru ini tidak bertahan lama di jabatannya.  Ia ditolak lingkungannya, karena menjalankan kepemimpinan mekanistik, sebagaimana yang terjadi di perusahaan asing.  Ia tidak menciptakan ruang diskusi dengan kolega dan bawahannya.  Ia tidak menjalankan budaya perusahaan (corporate culture) yang menekankan rasa hormat dan penghargaan di antara stafnya.  Ia akhirnya diberhentikan oleh jajaran komisaris, padahal menunjukkan kinerja perusahaan yang cukup baik.

Cerita yang lain, juga tentang seseorang yang baru menjalankan amanah menjadi pimpinan perusahaan.  Celakanya, perusahaan itu sedang merugi, negative cashflow.  Dalam ukuran akuntansi, tidak ada pilihan lain kecuali ada modal segar untuk memulihkan keadaan keuangan perusahaan.   Pejabat baru tersebut mencoba menganalisis, berkomunikasi dengan jajaran manajemen, membuka peluang investor baru.  Ia mengajak seluruh SDM bersatu padu menjunjung nilai-nilai budaya untuk membenahi perusahaan.  Ia jalankan mekanisme dan etika kepemimpinan sebagaimana yang seharusnya.  Ringkas cerita, ia membangun sistem untuk keluar dari masalah perusahaan.  Namun sayangnya, kondisi perusahaan sudah terlanjur drop.  Pemimpin tadi hingga jabatannya selesai, tidak berhasil memulihkan keadaan.  Anehnya ia dianggap oleh jajaran manajemen sebagai “berhasil”, karena sukses menjalankan etika kepemimpinan untuk memperkuat budaya perusahaan.

Dua ilustrasi tersebut di atas pada dasarnya memperlihatkan sisi yang berbeda dari kesabaran.  Ilustrasi pertama menjelaskan adanya gap persepsi dan perilaku antar manusia.  Seorang pimpinan (tidak sabar) meletakkan egonya diluar harapan anak buahnya.  Pimpinan tidak sabar (tidak proporsional) menempatkan kepentingannya di antara kebutuhan-kebutuhan organisasi perusahaan.  Keadaan ini biasa disebut sebagai egocentric myopia.  Keadaan ini seperti konflik antara badan anggaran (Banggar) DPR dan KPK.  Banggar DPR berperilaku konyol melawan (berhadapan) dengan lembaga hukum KPK. DPR seharusnya menghormati budaya hukum penyelenggaraan pemerintahan.  

Sementara, ilustrasi kedua adalah terciptanya harmoni karena ada kesepahaman antar manusia untuk membangun harapan dan keinginan.  Pimpinan mampu meletakkan egonya di tengah harapan anak buah dan menghormat budaya perusahaan.

Sesungguhnya dua ilustrasi tersebut dapat memberikan pilihan terbaik disesuaikan dengan kondisinya.  Semuanya mensyaratkan kesabaran menghargai budaya organisasi.  Ilustrasi pertama sangat relevan untuk membangun kedisiplinan.  Ilustrasi kedua relevan di saat telah terbentuk kedisiplinan, tercipta pemahaman hak dan kewajiban individu terhadap organisasi, dan berkembangnya budaya (komunikasi) organisasi.

Menjadi sabar memang tidak mudah.  Banyak orang menyadari manfaatnya setelah berbagai fenomena dialaminya.  Hanya orang-orang yang suka belajar, disiplin, bekerja keras, melalui proses, dan mengevaluasi diri, dapat menemukannya.  Begitu manfaat sabar ditemukan, sesungguhnya jalan lapang dan tenang yang diperoleh.

Dosen yang Sabar dan Tenang

Pada saat sekarang, menjadi dosen tidaklah mudah.  Ia perlu sabar menelaah fungsi-fungsi dosen dan memenuhi persyaratan mutu dosen sebagaimana peraturan yang berlaku (PP No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan).  Memang, banyak sekali yang harus dipersiapkan dan dikerjakan.  Dosen harus mulai meningkatkan kemampuan kompetensi dirinya, menguasai instrumen mutu, mengerti teknologi komunikasi untuk menyerap informasi dan media pembelajaran.  Itupun belum cukup, ia pun harus berkomunikasi dengan koleganya, membangun jejaring dan mengukur kemampuan (benchmark) dengan pihak lain untuk penguatan kompetensi.

Saat ini, dosen diberi predikat profesional bila mampu berfungsi sebagai pendidik dan peneliti (UU 14 Th 2005 tentang Guru dan Dosen).    Namun, sebagian dosen tidak mampu menjalaninya.  Hanya lima belas persen dosen yang menjalankan fungsinya dengan benar.  Dalam jangka waktu panjang, para dosen itu melupakan atau mengabaikan fungsi meneliti untuk membangun kompetensi keilmuannya.  Mereka itu tidak sabar dan ingin cepat menambah “kepuasan” melalui mengajar atau “kegiatan luar”.  Kini mereka tertinggal oleh dosen-dosen yang sabar, yang rajin meneliti, dan beraktifitas memperkuat keilmuannya.  Dosen-dosen muda ini adalah yang memahami budaya organisasi (fungsional dosen) sebagaimana peraturan perundangan.  Mereka bekerja keras siang malam di lab, menelaah riset, dan mengunjungi (survei) lapangan; sekali lagi bukan hanya mengajar di kelas.

Seorang kawan yang “sadar” menyesali pilihannya.  “Saya sudah malang melintang mengerjakan proyek, dan itu diakui oleh banyak pihak, semua orang mengenal saya; tapi itu semua menjadi tidak bermakna.  Saya sekarang mulai membatasi “kegiatan luar”, dan mulai belajar menulis dan meneliti.”, kata teman tadi.  Seorang lagi menyampaikan: “Saya dahulu tidak berminat sekolah, saya anggap angin lalu.  Saya lebih tertarik ke jabatan struktural.  Waktu saya terbuang sia-sia memikirkan perpolitikan kampus.  Pikiran saya senantiasa tidak tenang“.  “Saya merasa tertinggal dibanding dosen-dosen muda, mereka sudah tersertifikasi lebih dulu”, lanjutnya.  Saya sangat-sangat terharu dengan “kesadaran” itu.  Jelasnya, kini mereka tertinggal oleh para dosen muda dalam jenjang karier.  Mereka menyesali pilihan tersebut.

Di kesempatan lain, seorang dosen lain menemui penulis.  Ia dengan jujur menyadari nikmatnya menjadi dosen dalam beberapa waktu terakhir.  Ia berucap:”Saya sekarang mampu berlama-lama membaca, duduk menelaah, dan mencoba menuliskan gagasan.  Pikiran saya sangat tenang.  Saya menikmati berimprovisasi memperbaiki powerpoint untuk pembelajaran.  Saya merasa bebas, saya merasa tidak ada yang mengganggu atau memaksa.  Saya bersyukur sekali bisa memperoleh hibah penelitian Dikti.  Bila memungkinkan saya mau berkontribusi untuk mengikuti seminar atau pelatihan untuk mengembangkan kompetensi”. Penulis terharu mendengarnya.  Seandainya saja ini dilakukan oleh lima puluh dosen sejak lima belas tahun yang lalu.  Pasti, saat ini sudah terbentuk lingkungan akademik yang bermutu, tatakelola yang sehat, komunikasi akademik yang sejuk, sudah ada lima ratus karya-karya akademik bermutu, lima ratus mahasiswa dapat PKM, lima ratus kerjasama, dan lima ratus alumni yang siap berperan dalam pengembangan universitas.

Bersabar sesungguhnya perlu belajar memahami budaya organisasi.  Seorang dosen harus memahami budaya (baca: peraturan) organisasi mutu fungsi-fungsi dosen.  Seorang mahasiswa perlu mengenal budaya tata krama kampus.  Seorang PNS perlu memahami budaya tata laksana pemerintahan.  Seorang karyawan harus mematuhi budaya tata krama perusahaan (corporate culture). Lebih penting lagi, budaya tersebut memungkinkan ruang bagi perubahan dan pengembangan. Budaya organisasi ingin mengawal perubahan agar mekanismenya berjalan tertib mencapai tujuannya.  Hanya orang-orang yang mau belajar yang dapat mengantisipasi perubahan dan pengembangan.  Mereka inilah sesungguhnya orang-orang yang tenang berprofesi.

Vila Bukit Sengkaling, Lembah Panderman, 18 Oktober 2011

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *