Wakatobi (6): Keliling (Survei) Wangi-wangi

Selesai diskusi, peserta diminta ikut survei lokasi rumah apung.   Dinas Perikanan dan Kelautan sudah menyusun rencana survei lokasi terbaik, disesuaikan dengan keterbatasan waktu.  Survei lokasi memilih dua tujuan alternatif, yakni lokasi 1 di sekitar barat daya Pulau Wangi-wangi dan lokasi 2 di sekitar matahora (lihat peta).  Menuju lokasi 1, peserta menggunakan perahu boat.  Setelah itu pulang kembali ke Wanci, dan dilanjutkan naik mobil menuju lokasi 2.

Wakatobi (5): Diskusi ekowisata yang sejuk

Sebagaimana rencana awal, sharing dengan stakeholder ekowisata di Wakatobi akan dilaksanakan pada tanggal 16 juli 2012.  Penulis pada prinsipnya mengalir mengikuti acara dari pihak tuan rumah.  Siapa tuan rumahnya atau sebagai host? Penulis belum ada informasi lengkap, namun kepastiannya akan diberitahu setelah pak Rido Batubara (Kasubdit Sarana Prasarana KP3K) sudah hadir di Wanci sekitar jam 12.00.  Oleh karena itu, sejak pagi itu penulis memanfaatkannya dengan jalan kaki dan berputar-putar di sekitar pasar pagi dan pasar Mola, menikmati kehidupan sosial ekonomi masyarakat.   Hasil laporannya disajikan dalam tulisan terpisah.  Setelah berputar-putar di sekitar Wanci, kami kembali ke hotel.

Wakatobi (4): Makan ikan

Ke Wakatobi,.. memang harus makan ikan (baca: makang ikang).  Para pengunjung atau wisatawan sejak awal harus mempersiapkan diri untuk makan ikan sepanjang hari.  Dan ini sangat baik.. dan sangat sehat.  Lingkungan perairan Wakatobi yang merupakan wilayah konservasi terumbu karang adalah sumber kehidupan dan habitat pembiakan bagi ikan dan biota lainnya.  Itu sebabnya produksi perikanan di wilayah ini sangat tinggi.  Para nelayan dari suku Bajo punya karakter kuat dalam kehidupan di laut.  Kehidupannya tidak dapat terpisah dari laut, karena mereka memang tinggal dan bermukim di laut.  Sangat sulit memindahkan kehidupan mereka menuju darat.  Merekalah yang terutama yang mensuplai ikan di pasar Wanci, atau bahkan di wilayah Sulawesi umumnya.

Wakatobi (3): Sensasi pantai Waha

Pergi ke Wakatobi hanya dua hari memang tidak cukup.  Pernyataan itu beberapa kali disampaikan oleh setiap orang yang kami temui.  Terakhir hal itu disampaikan oleh ibunya pak Hardin saat kami mau kembali ke Malang.  “Datang lagi ke Wakatobi”, katanya tegas.  “Kalian harus pergi ke Kaledupa, pergi ke pulau Hoga.  Disana pemandangannya sangat bagus.  Kami punya rumah dan banyak famili disana, kalian bisa menginap disana”, lanjutnya.  Pernyataan beliau itu memiliki makna mendalam buat penulis.  Pertama, harus diakui Wakatobi memang sangat indah dan berkesan.  Wilayah ini selain memiliki keindahan ekologi juga budaya yang mendukung. Masyarakatnya sangat terbuka dan terbiasa dengan pendatang. Nampaknya memang perlu kembali lagi kesana.  Kedua, penulis menemukan kehidupan dengan ikatan persaudaraan yang tinggi.  Interaksi dengan beberapa orang memang tidak intensif, namun keberadaan putri penulis nampaknya mengakrabkan dengan ibu-ibu disana.  Bahkan putri penulis terharu dan matanya berkaca-kaca saat pamit kembali ke Malang.

Wakatobi (2): sedang tumbuh dan berkembang

Sejak awal kedatangan ke Wakatobi, pikiran selalu optimis wilayah ini akan cepat maju.  Otonomi daerah pasti berdampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan dengan berbagai dinamikanya.  Tanda-tanda itu mulai nampak ketika menyaksikan jalanan, lingkungan pemukiman, atau bangunan fisik layanan pemerintahan lainnya. Hal yang tidak bisa dibohongi, Wakatobi sudah terlanjur dikenal di seluruh dunia.  Keunggulan ekologi perairannya, telah mendatangkan arus orang (termasuk warga asing), barang dan jasa (penunjang) lainnya  memperkuat ekonomi wilayah ini.  Semuanya berinteraksi dan bersinergi bagi tumbuhnya aktivitas ekonomi wilayah kepulauan ini.   

Wakatobi (1): Dream comes true

Perjalanan ke Wakatobi?  Pertanyaan itu selalu membayang sebelumnya.  Bayangan wilayah pulau, pesisir dan lautan sudah tidak terhitung ada di pikiran, seiring dengan tambahan pengetahuan ekowisata pada penulis.  Wilayah ini begitu populer ke seluruh penjuru dunia dengan keelokan ekosistem lautnya (1, 2, 3, 4).  Ada tantangan bukan hanya perihal akademik semata, bukan hanya searching dari google atau data sekunder, tetapi ada hasrat untuk mengenal lokasi, ingin melihat langsung, mendengar penduduk setempat, menelaah masalah, sekaligus menikmati eksotis dan keunikan lingkungannya.  Alhamdulillah itu telah terjadi di Ngadas Bromo, Candirejo (Jawa Tengah), atau Rajegwesi Banyuwangi (TN Meru Betiri).  Kini, Wakatobi.. akhirnya terealisasi.  Pengalaman tiga wilayah tersebut lebih kental dengan ekosistem darat.  Wakatobi dengan ekosistem pesisir dan lautan adalah tantangan baru, hal yang relatif belum dikenal penulis.

Candirejo (3): Dockart Village Tour

Dari Watu Kendil, sekitar jam 8.00 kami memutuskan kembali ke homestay.  Acara hari itu masih akan diisi dengan tour DVT.  Kami segera berbenah dan mandi.  Di meja makan sudah tersedia sarapan dengan menu sayur tumis, gulai ikan dan tahu tempe, plus krupuk.  Kami nikmati sarapan sambil bercerita perihal perjalanan ke Watu Kendil, sekaligus rencana checkout.  Kami merasa mendapatkan materi yang cukup perihal Candirejo.  Sore nanti kami akan ke Yogya menikmati tujuan wisata baru, Pindul, di wilayah kabupaten Gunung Kidul.

Candirejo (2): Filosofi Watu Kendil

Tulisan Candirejo edisi pertama sudah diterbitkan (klik disini).  Tulisan ini kurang lebih mewakili edisi kedua.

Tepatnya tanggal 15 Juni 2012, perjalanan ke Candirejo dimulai.  Persiapan telah dilakukan sebelumnya, termasuk menghubungi pak Tatak Sariawan dan Ersyidik di Candirejo untuk booking homestay. Kunjungan yang kedua ini berbeda dengan sebelumnya, yakni dengan berangkat secara tim menggunakan mobil sendiri.  Setahun yang lalu, penulis berangkat sendirian (menggunakan kendaraan umum) dalam rangka menjajagi ekowisata Candirejo dan ada kepentingan penerbitan buku di Yogyakarta.  Kini, kami berangkat berlima (Purnawan, Wiwin, Tri Wardhani, Ismini dan penulis) plus driver (Yadi) dari Malang sekitar jam 1.30 dini hari.  Perjalanan menggunakan rute Malang-Jombang-Solo-Boyolali-Magelang-Borobudur.  Perjalanan ini membawa misi riset sepenuhnya, sekaligus melihat perkembangan setahun terakhir di Candirejo.