Pentingnya Manajemen Risiko dalam Mencegah Malpraktik di Rumah Sakit

Malang, 23 Februari 2025 – Seminar International Health Law Conference yang diselenggarakan oleh Program Magister Hukum Pascasarjana Universitas Widya Gama Malang (PPs. MH UWG MALANG) resmi berakhir hari ini. Pada hari terakhir seminar, Dr. dr. Prita Muliarini, Sp.OG., Subsp.Obginsos (K), MH., MM., FISQua, selaku Ketua Dewan Pengurus Cabang Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Cabang Malang, menekankan pentingnya manajemen risiko dalam mencegah malpraktik di rumah sakit.

Dalam pemaparannya, Dr. Prita menjelaskan bahwa malpraktik medis merupakan kegagalan dokter dalam mengikuti standar perawatan, kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan yang dapat menyebabkan cedera pada pasien. Oleh karena itu, pendekatan proaktif dalam manajemen risiko sangat diperlukan untuk mengidentifikasi dan mencegah terjadinya kesalahan medis sebelum menyebabkan dampak yang lebih luas.

Mengacu pada standar ISO 31000:2018, Dr. Prita menyoroti bahwa risiko dalam pelayanan kesehatan dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek, yaitu risiko klinis, risiko keselamatan pasien, risiko operasional, risiko finansial, dan risiko reputasi. Risiko klinis mencakup kesalahan diagnosis dan pengobatan, sedangkan risiko keselamatan pasien meliputi insiden seperti kesalahan identifikasi pasien dan cedera akibat peralatan medis. Selain itu, risiko operasional mencakup kegagalan peralatan medis dan bencana alam yang dapat mengganggu layanan kesehatan.

Salah satu strategi utama dalam manajemen risiko rumah sakit adalah dengan menerapkan sistem pemantauan yang berkelanjutan, mengidentifikasi celah dalam protokol yang ada, serta meningkatkan pelatihan staf medis. “Pendekatan proaktif dalam manajemen risiko bukan hanya soal mengurangi dampak finansial dan hukum dari klaim malpraktik, tetapi juga meningkatkan keselamatan pasien serta membangun kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan,” ujar Dr. Prita.

Selain itu, beliau juga menyoroti pentingnya transparansi dalam komunikasi antara tenaga medis dan pasien. “Full disclosure bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kewajiban etis yang harus diterapkan dalam sistem pelayanan kesehatan,” tambahnya. Transparansi ini dapat mengurangi kemungkinan tuntutan hukum sekaligus memperkuat hubungan antara dokter dan pasien.

Melalui seminar ini, diharapkan para profesional di bidang kesehatan dan hukum semakin memahami urgensi manajemen risiko dalam pelayanan kesehatan. Langkah-langkah pencegahan yang tepat dapat memastikan keamanan pasien serta menjaga kredibilitas rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan yang berkualitas.

Seminar International Health Law Conference ini menjadi forum penting bagi akademisi dan praktisi untuk berbagi wawasan dan pengalaman dalam mengembangkan sistem hukum kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Dengan berakhirnya seminar ini, para peserta diharapkan dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip manajemen risiko dalam praktik sehari-hari guna meningkatkan kualitas pelayanan medis dan perlindungan hukum di dunia kesehatan. (San/pip)