Musim dingin?

Beberapa hari terakhir suhu atau cuaca kota Malang dan sekitarnya sangat dingin dan sejuk.  Suhu berkisar 18 pada malam hari hingga 24 pada siang hari.  Ini menyebabkan hampir semua orang saat beraktivitas pagi hari suhu dingin terasa menusuk dan menggigil.  Cuaca ini diperkirakan bertahan hingga Agustus nanti.  Hal ini merupakan bagian akibat iklim moonson, dimana sebagian besar wilayah Indonesia memperoleh angin kering dan sejuk dari tekanan udara dari benua Australia.  Saat ini matahari sedang dalam garis edar di utara, sebaliknya Australia bersuhu dingin dan bertekanan tinggi.   

Orang Malang senantiasa menunggu-nunggu hal ini karena mengingatkan kepada masa tiga dasa warsa silam dimana cuaca saat itu benar-benar dingin.  Dan saat ini, orang-orang luar kota yang berlibur atau sedang bepergian ke Malang, mungkin akan merasa tersiksa hawa dingin dan menjadi pengalaman luar biasa sepanjang hidupnya. 

Tulisan  ini bukan bermaksud untuk mendeskripsikan cuaca kota Malang, namun membayangkan seandainya benar udara dingin atau musim dingin hadir di negeri ini.  Apa yang terjadi?  Penulis mengurainya dalam sisi-sisi positif dalam rangka mengembangkan kinerja SDM negeri ini bagi peningkatan produktivitas pembangunan.

Suatu saat penulis sedang melaksanakan tugas di suatu propinsi di Indonesia Timur.  Seperti lazimnya, pendatang, penulis berjalan di seputaran hotel, melangkahkan kaki menikmati jalanan kota, pertokoan, dan terkadang berhenti mengamati kerumunan orang.  Penulis sengaja berlama-lama menikmati pemandangan kota.  Ada hal yang menyolok dibanding daerah lain yang penulis pernah kunjungi.  Apa itu? Yaitu begitu banyak orang-orang berdiri, duduk, atau dalam posisi lain yang nampak sedang menunggu.  Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, berusia dari belasan hingga lima puluhan tahun.  Penulis pikir mereka menunggu angkot, teman, atau hal lain.  Ternyata dugaan penulis meleset.  Mereka ternyata hanya diam saja… benar diam saja.   Penulis berpikir.. inilah wujud nyata pengangguran.

Fenomena yang penulis uraian di atas sebenarnya juga ditemukan di Malang, Surabaya atau Jakarta.  Tapi dalam pandangan mata, relatif tidak menyolok.  Di jalan kota di Malang, orang menunggu hanya sementara waktu.  Orang datang dan pergi saling bergantian.  Di Jakarta atau Surabaya, keadaannya lebih dinamis. 

Pertanyaannya: bagaimana seandainya negeri ini diberi anugrah musim dingin.  Itu.. seperti musim dingin di wilayah subtropika.  Pengertian dingin.. kira-kira dengan suhu 10 hingga 15 derajat di musim panas, dan suhu minus 5 hingga plus 5 derajat di musim dingin.  Maaf saja ini hanya berandai-andai.

Pengalaman di negara-negara Eropa menunjukkan umumnya tidak banyak orang mampu bertahan di udara bersuhu 0 hingga 5 derajad selama lebih lima belas menit.  Itu sebabnya telah dibuat sistem (dan dipatuhi) sedemikian rupa sehingga memberi kenyamanan dan perlindungan bagi aktivitas orang yang berada di luar ruangan, misalnya dengan membangun posisi halte bus dalam jarak aman dari apartemen dan penjadwalan yang ketat.

Dalam suhu dingin, tidak banyak pilihan kecuali harus masuk ke dalam ruangan (yang berpemanas).  Ini berlaku bagi siapa saja.  Andaikan ini benar terjadi di negeri ini, pasti tidak banyak orang duduk-duduk, bermalasan, diam, atau membuang waktu di jalanan sebagaimana ilustrasi di atas.  Orang-orang tersebut pasti akan bereaksi melawan tantangan dingin melalui upaya-upaya melindungi diri.  Penulis berpikir positif, pasti mereka akan memutar otak, menentukan sikap dan mengubah perilakunya secara positif.  Ada semacam struggle menaklukkan alam, berupaya memperbaiki keadaan menjadi nyaman.

Kita masih ingat benar bagaimana tentara Rusia struggle melawan musim dingin dan bertahan dari serangan Jerman pada musim dingin perang dunia yahun 1944.  Akhirnya tentara Rusia memenangi pertempuran.  Struggle di musim dingin menjadi simbol kemenangan, keberhasilan, dan kekuatan banyak cerita dan legenda di negara-negara subtropika.

Penulis belum sepenuhnya mengerti, apakah tantangan alam ‘musim dingin’ diperlukan oleh negeri ini?  Atau kalau bukan, tentu harus diciptakan tantangan alam lain.  Dengan kata lain atau sebaliknya, apakah selama ini  kita dimanja oleh alam sehingga kita menjadi berpuas diri.  Kita masih ingat lagu Koes Plus: “Orang bilang tanah kita tanah surga.  Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.  Bukan lautan hanya kolam susu” 

Makna lagu itu sangat menyesatkan.  Guru penulis menyatakan: “Sesungguhnya tanah di Indonesia kebanyakan telah berumur tua, didominasi oleh Podzolik Merah Kuning (PMK) atau ordo Ultisol.  Tanah-tanah ini mengalami pelapukan dan pencucian luar biasa sehingga telah menghabiskan unsur hara tanah, dan menurunkan penyanggaan tanah  Tanah-tanah subur ditemukan hanya di wilayah yang memiliki aktifitas vulkanik terutama di pulau Jawa dan Sumatera”.

Seingat penulis, syair lagu Koes Plus dimaksudkan untuk membangkitkan rasa cinta tanah air, untuk menggerakkan semangat kebangsaan yang kemudian diimplementasikan ke dalam disiplin pembangunan nasional.  Kita semua terlena dengan syair tersebut, melupakan disiplin.  Padahal struggle harus dipasangkan dengan disiplin dalam berbagai bidang, termasuk disiplin dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Apa yang dapat dipetik dari deskripsi berandai-andai di atas.  Pertama, Kita hendaknya senantiasa membangun persepsi tantangan.  Tantangan juga harusnya dipahami secara filosofis, sehingga lahir ungkapan “tanpa tantangan hidup akan mati”. Upaya membangun ketertinggalan pembangunan merupakan tantangan nyata di dalam kehidupan. Kedua, kita hendaknya membangkitkan terus semangat juang (struggle) yang tiada henti.  Teladan orang-orang tua dahulu harus dicontoh.  Mereka terbukti mampu menyelesaikan masalahnya dalam keadaan saat itu yang sangat terbatas.  Lihat saja mereka terus konsisten bekerja ketika sudah termakan usia, pergi ke ladang, ke laut dan aktivitas lainnya. Ketiga berdisiplin.  Disiplin diperlukan bukan hanya terbatas hal teknis semata.  Disiplin dalam pemaknaan sistem memiliki kedudukan yang strategis yang memuat kaidah-kaidah keilmuan.  Pakar-pakar Belanda dahulu telah membangun sistem tata air dari hulu hingga hilir di wilayah Jakarta, berpedoman kepada konservasi tanah dan air.  Namun sayangnya, kita melupakannya dan merubahnya.  Itulah yang mengakibatkan bencana banjir, pencemaran, dan penurunan kualitas tanah dan air.

Ada teman yang memberitahu: Mengapa negara-negara Eropa bisa maju seperti ini? Jawabnya: karena mereka sudah bangun dan bekerja di saat hari masih gelap.  Memang, saat musim dingin mereka berangkat ke kantor tetap jam 8.00 sekalipun matahari terbit jam 10 pagi.  Sebenarnya kita juga bisa.  Mari bangun pagi jam 3.00, terus sholat tahajud, Shubuh, dan segera bekerja.  Banyak orang (Eropa) sudah melakukan, mengapa kita belum?

Kaki bukit Panderman, 24 Juni 2011

5 Comments

    • mari kita mengajarkan bangun pagi kepada siapa saja. Karena disitulah menunjukkan rasa syukur dan nikmat. Juga banyak hal-2 besar dan penting lahir dari pagi hari. terimakasih atas komentarnya, smg sukses

    • Iwan Nugroho

      terimakasih mas, salam dan sukses

  1. erna maknunah IEM angk80

    dinginnya Malang, saat yg paling menyenangkan, makan banyak, tidur lelap, bisnis kuliner lancar jaya…………

Leave a Reply to jokonardi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *