Mencegah Korupsi: Mendefinisikan Kecukupan dan Kepedulian
Tidak dipungkiri, semua orang ingin hidup berkecukupan.Dengan kecukupan, apalagi kelebihan, niscaya seseorang akan lebih longgar untuk berbuat baik, atau membantu orang lain. Orang yang berkecukupan akan dapat berjuang lebih serius.Ia akan menggunakan waktu, tenaga, harta dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memikirkan, membantu dan menyelesaikan masalah orang lain.Yang menjadi pertanyaan, apakah orang yang berkecukupan senantiasa berkesempatan berjuang membantu orang lain; apakah orang harus berkecukupan dahulu agar dapat berjuang membantu orang lain.
Dua pertanyaan di atas pasti akan menggugah hati para pembaca.Pikiran pembaca otomatis akan menggali pengalaman empirik untuk menjawab pertanyaan tersebut.Jawabannya bisa ya, namun juga bisa tidak.Mari disimak pengalaman berikut.
Seorang kawan bercerita tentang anaknya yang seusia mahasiswa.Suatu saat, anaknya terpaksa tidur di rumah sakit untuk menemani temannya yang sedang dirawat.Teman yang sakit kebetulan berasal dari luar kota.Si anak tadi membantu total urusan di rumah sakit bak ‘famili’ sendiri.Sepulang dari rumah sakit, anak tersebut juga sibuk merawat teman yang sakit itu di rumahnya, serta menyelesaikan aneka tugas kuliah kampus.Si Kawan tadi sangat bangga dengan kepedulian anaknya.
Cerita lainnya adalah tentang seorang karyawan kantoran.Ia bekerja sebagai karyawan yunior di suatu bagian tertentu.Selama lima tahun bekerja, ia lurus-lurus saja.Ia bekerja apa saja untuk membantu unit bagiannya.Bahkan ia juga sering diminta dan dipercaya membantu tugas di unit kerja lainnya.Dalam bekerja ia juga belajar banyak dari lingkungan kerja, sehingga kompetensinya meningkat.Di kantornya, juga tersedia fasilitas olahraga, seni dan keagamaan.Ia menyalurkan hobi dan kewajiban ibadahnya dengan leluasa di kantor.Ia sangat mensyukuri pekerjaannya dan lingkungan kantornya.
Dua cerita empirik tersebut membuktikan bahwa seseorang dapat membantu orang lain dan lingkungannya lepas dari kata ‘kecukupan’.Mahasiswa membantu kepada kawannya lebih karena inisiatif dan kepedulian, bukan karena ia cukup.Sementara karyawan baru dan yunior bekerja rajin karena ia peduli membantu tugas-tugas kantor dan pekerjaannya, dan bukan karena cukup.
Kisah sahabat yang membantu perjuangan nabi ditunjukkan banyak orang.Mereka ada yang dari kalangan orang kaya, misalnya Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan.Mereka ini menyumbangkan harta dalam jumlah banyak untuk kepentingan dakwah, perang, sedekah, santunan dan perjuangan lainnya.Sementara sahabat yang miskin, misalnyaRabi’ah bin Ka’ab, Bilal bin Rabah, atau Abu Hurairah RA, juga berjuang dengan jiwa raganya mendukung perang, kemuliaan islam, menegakkan dakwah, serta pengembangan ilmu. Yang kaya tidak terbelenggu dengan harta dan atribut kekayaannya, yang miskin berjuang dalam keterbatasannya.Mereka semuanya berjuang dalam ketauhidan dan mencintai Rasulullah. Para sahabat itu, yang kaya atau miskin, menunjukkan kepeduliannya kepada pengembangan keIslaman di jamannya.
Berangkat dari pengalaman tersebut, mendefinisikan kecukupan nampaknya berhubungan erat dengan kepedulian.Kecukupan dapat lahir dari perasaan mengendalikan diri dari atribut keduniaan.Seseorang yang tidak dapat mengendalikan diri dari atribut keduniaan, atau bernafsu kepada harta dan dunia, maka dalam pikirannya akan senantiasa ‘tidak cukup’, ‘tidak puas’, ‘kurang’.Sebaliknya, seorang yang dapat mengendalikan diri akan senantiasa berkata cukup.Orang yang berharta banyak, yang mampu mengendalikan diri, maka juga akan berkata cukup.“Ini cukup bagi saya, cukup bagi keluarga saya”.Disinilah, otomatis lahir perasaan peduli kepada orang lain.Kelebihan harta, dunia, atau ilmu yang dimiliki, kemudian diberikan untuk orang lain, untuk kemanfaatan bersama, untuk perjuangan dan membangun peradaban yang lebih mulia.
Bagaimana membangun sikap kecukupan atau kepedulian, atau seperti apa ciri-ciri orang yang merasa cukup dan peduli.
1.Hidup bersyukur.Cara mensyukuri kehidupan adalah dengan senantiasa memuji Allah yang telah memberikan kenikmatan dan hal-hal positif lainnya dalam segala kehidupan. Seseorang sering terlupa, kenikmatan lebih dilihat dari kepentingan diri sendiri.Seseorang terkadang mengumpat hujan gerimis, padahal hujan diperlukan oleh petani di lain tempat agar tanamannya bisa tumbuh.Seseorang mengeluh gajinya kurang, padahal keluarganya diberikan kesehatan dan kesalehan.Seseorang marah tidak lulus ujian, padahal ia kurang kompeten di bidangnya.Dengan bersyukur, sesungguhnya seseorang sedang menyaksikan hukum dan ilmu sedang berjalan mengikuti sunatullah.Air hujan menyuburkan tanaman petani, kesehatan keluarga lebih utama dari keluhan gaji kurang, orang yang berkompeten lebih berhak lulus ujian.Mari kita bersyukur, berkata ‘cukup’, menerima secara ikhlas segala rejeki dan ketentuan Allah dengan memuji kebesaranNya
2.Hidup peduli kepada ilmu dan konsisten (sabar).Adab menuntut ilmu adalah berjuang menemukan kebenaran ilmu dan membuktikan hukum-hukum Allah.Adab berilmu ini menuntut seseorang berkata cukup terhadap hobi atau kesenangan.Ia lebih mementingkan belajar, mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu secara konsisten, dan peduli kepada kemanfaatan ilmu.Seorang perlu belajar hingga sepuluh tahun dengan perjuangan berat (dan sabar) untuk menjadi dokter spesialis ortopedi.Ia dapat menjelaskan sistem tubuh bergerak dan mengetahui kebesaran Allah dari perihal tulang belulang.Keahliannya itu disosialisasikan untuk pemeliharaan kesehatan tulang orang sehat maupun pasiennya. Siapa saja perlu belajar untuk menguasai ilmu pengetahuan tertentu.Ilmu itu, tidak saja penting untuk membantu kehidupan, tetapi juga untuk mensyukuri nikmat dan memastikan ukuran kecukupan.
3.Hidup sederhana dan kerja keras.Seorang yang hidup sederhana tidak selalu dikelompokkan orang yang miskin atau sedang.Orang yang hidup sederhana sesungguhnya orang yang berilmu dan kaya ilmu, dan menggunakan ilmunya untuk hidup sederhana.Orang-orang ini pada dasarnya para pekerja keras, memahami bagaimana hidup bekerja keras dan peduli kepada orang yang bekerja keras.Orang-orang yang hidup sederhana akan berkata cukup untuk dirinya sendiri, dan sangat peduli kepada orang lain.
4.Hidup untuk membantuorang lain dan kemanfaatan bersama. Peduli kepada orang lain secara ikhlas akan menghasilkan silaturahim dan kebersamaan yang sesungguhnya. Kepedulian berjamaah ini akan menghasilkan kemuliaan suatu negeri, kesejahteraan dan peradaban yang tinggi. Inilah sesungguhnya social capital. Disinilah orang akan mudah berbagi rejeki, berderma, atau bersedekah. Berbagi ini tentu dari uangnya sendiri, harta pribadinya.Berbagi atau bersedekah yang berasal dari uang kantor, atau uang perusahaan, akan menghasilkan silaturahim semu dan persaudaraan palsu.
Sikap kecukupan dan kepedulian perlu dikembangkan dalam kepemimpinan.Hal itu perlu dibudayakan di dalam organisasi dan ditunjukkan seorang pemimpin melalui penguasaan ilmu, kerja keras dan hidup sederhana. Kesungguhan dan kepeduliannya dalam bekerja dapat memotivasi kerja seluruh SDM dan menjadi teladan bagi anak buahnya.Pemimpin seperti ini akan merasa cukup terhadap apa yang diterima, dan mementingkan apa yang diterima anak buahnya.Budaya ini menghasilkan perasaan sama, senasib dan seperjuangan dalam bekerja di kantor atau di luar kantor.
Sebaliknya, ada pemimpin yang tidak mengerti makna kecukupan dan kepedulian.Pemimpin yang tidak peduli ini menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk keperluan pribadi.Pemimpin seperti ini biasanya berkarakter transaksional atau broker, berorientasi jangka pendek, menyukai dunia broker atau percaloan, dan tidak berilmu (atau lupa berilmu).Sejak awal karier kepemimpinannya, karakter atau pengaruh terhadap konstituen (patron klien) dibangun atas dasar transaksi.Model pemimpin seperti ini masih banyak ditemui dalam budaya kita, dan biasanya terbungkus dalam profil pemimpin yang baik dan alim, namun tidak memahami ilmu tata kelola yang akuntabel. Mereka biasanya hanya main perintah, tidak punya etos kerja keras.Pemimpin seperti ini sering berpura-pura berbagi, peduli dan royal, tetapi yang dipakai berbagi adalah uang korupsi, uang kantor, uang perusahaan, atau hasil pencucian uang.Lingkungan dan anak buahnya senang-senang saja menerima uang haram itu karena ditipu pemimpinnya.Mereka menganggap pemimpin bak pahlawan nan dermawan.Namun, pemimpin korup ini sedang diincar dan segera ditangkap KPK.Beberapa dari mereka sudah masuk penjara. Organisasi dengan pemimpin seperti ini tinggal menunggu kehancuran dan kebangkrutan.
Penulis mengajak pembaca untuk memaknai kecukupan, dengan mengatakan cukup, dan mensyukuri rejeki yang diterima.Jangan asal terima pemberian dari orang lain, dengan mengatakan cukup, dan menanyakan dari mana asal rejeki itu.Kini saatnya, menunjukkan kepedulian kepada orang lain.Bagi yang sedang menjalankan kepemimpinan, silakan berderma atau berbagi dengan uang sendiri, sebagaimana teladan Abu Bakar dan sahabat lainnya.Jangan berderma dari uang kantor, uang dinas atau dari menyalah gunakan jabatan.
Selamat Hari Anti Korupsi se Dunia, 9 Desember 2013
Lembah Panderman, 11 Desember 2013
Tulisan ini menjadi headline di kompasiana
Leave a Reply