Bertemu saudara muslim di Thailand: (2) Makan kembul dan silaturahim

Sudah menjadi kelaziman, panitia ijtima akan sibuk mengurusi kebutuhan makan para jamaah.  Mereka tentu ingin memberikan kesan silaturahim yang baik, dengan layanan makan.  Bisa dibayangkan bagaimana kerja bagian dapur untuk melayani 2500 jamaah asing dan sekitar 30 ribu jamaah lokal.  Pekerjaan ini dilakukan tiga kali sehari, masing-masing sekitar jam 8.00, 13.00 dan 20.00, selama sekitar lima hari (17 hingga 21 Januari 2014). Setiap jadwal makan, panitia diperkirakan menyediakan sekitar 5000 nampan.  Bila dihitung setiap nampan berisi setara 0.20 kg beras, maka memerlukan sekitar 1000 kg beras setiap jadwal makan, atau 3000 kg beras sehari.    Jamaah diberi kesempatan makan setelah mengikuti bayan atau selesai sholat.  Mereka bergegas ke sekitar dapur untuk mendapatkan tempat. Itu sebabnya dapat dimengerti panitia berkali-kali menyampaikan permohonan maaf (melalui sound system) tentang kekurangan dalam hal layanan makan ini.

Makal kembul (koleksi pribadi)

Dalam pandangan penulis, layanan makan sangat memuaskan.  Panitia sudah bekerja ekstra keras menjalankan tugasnya.  Tidak terdengar keluhan sedikitpun terhadap layanan makan ini.  Jamaah semuanya  umumnya telah terkondisikan untuk sabar dan bersyukur terhadap kondisi yang ada.  Ada tiga hal layanan makan yang menarik dicermati.

Pertama, tempat. Tempat makan disediakan di dapur dan tenda-tenda darurat.  Karena jumlah jamaah (khususnya asing) begitu banyak dibanding kapasitas ruang, maka dapat dimengerti suasana begitu berdesakan saat makan.  Sebagian jamaah yang tidak kebagian tempat, akhirnya makan di luar komplek ijtima.  Itulah yang menyebabkan ramainya pasar kaget untuk memenuhi permintaan makan para jamaah.

Kedua, menu makanan.    Menu makan disini benar-benar khas Thailand, sangat beragam dan sesuai selera lidah Indonesia.  Makanan disajikan dalam nampan berdiameter 50 cm, dimana di tengahnya nasi dan disiram dengan sayur dan lauk, disajikan hangat atau panas.  Penulis menikmati antara lain sayur santan labu plus ayam, sayur tomat kentang plus ayam, dan santan daging. Yang menyolok, menu Thailand penuh dengan bumbu-bumbu, sehingga bau dan rasanya sangat tajam.  Di atas nasi, biasa terlihat daun sere, cabai, laos, sayur atau lauk dipotong dalam ukuran besar.  Satu nampan untuk empat orang, dengan ukuran porsi berlebih.  Panitia membagi sebotol air mineral kepada empat orang tersebut.

Suasana silaturahim sebelum makan kembul (koleksi pribadi)

Ketiga, suasana makan.  Makan bersama oleh empat orang menciptakan kebersamaan dan kepedulian.  Suasananya bukan lagi berebut makan, tetapi lebih tepatnya memberi kesempatan kawan untuk makan. Ketika mengambil sayur atau lauk, kecenderungannya adalah menawarkan ke kawan lebih dulu dibanding untuk diri sendiri.

Tradisi makan kembul adalah upaya meneladani kehidupan Rasul dan sahabat.  Hal ini juga berkembang di kalangan pondok pesantren.  Memori ini bagi alumni pesantren sangat melekat, mengingatkan perjuangan hidup dan ketika belajar.  Adab makan kembul ini adalah dengan memakan makanan yang paling dekat (2), dengan cara memilih makanan dari pinggir nampan.  Semakin lama, makanan yang ada di tengah akhirnya habis.  Penulis senantiasa mundur lebih dahulu karena tidak terbiasa makan dalam porsi yang besar.

Suasana menjelang sarapan pagi (koleksi pribadi)

Ada manfaat silaturahim dari makan kembul di ijtima ini.  Biasanya obrolan ringan, saling memperkenalkan diri, atau pengalaman dakwah, menjadi komunikasi yang umum, sambil menunggu datangnya makanan.  Disinilah terjadi pengenalan budaya masing-masing.  Penulis berkomunikasi dengan jamaah dari Medan, Aceh, Padang, Jakarta, Bandung, Kelantan dan Kuala Lumpur (Malaysia), Patani dan Yala (Thailand), Bangladesh, Pnomphen (Kamboja), Laos, Myanmar dan Yunan (China).

Dari silaturahim ini dapat mengenal jamaah satu sama lain melalui bahasa komunikasi. Jamaah dari Kamboja atau Thailand Selatan dapat berkomunikasi dalam bahasa Melayu.  Jamaah dari Bangkok dan Bangladesh menggunakan bahasa Inggris.  Sementara jamaah Myanmar, Cina atau Laos menggunakan bahasa yang agak sulit dipahami.  Tapi itu semua tidak menghalagi ibadah dan aktivitas lainnya.  Salam, senyum atau isyarat dapat menjadi bahasa universal silaturahim.  Dari silaturahim itu,  sering terjadi reuni dadakan di antara jamaah.  Ketika seorang jamaah dari Yala, namanya Abdul Basit, menanyakan perihal nama pak Muhsin, kontan penulis menjawab ia ada disini.  Tidak lama kemudian kedua sahabat itu bertemu dan berpelukan setelah enam tahun tidak saling memberi kabar.  Pak Lukman juga bereuni dengan sahabat-sahabatnya, antara lain Prof Mustofa, jamaah Bangladesh dan beberapa jamaah Thailand yang dikenalnya.  Reuni kecil itu terkadang diiringi pemberian oleh-oleh atau suvenir, atau berbagi dalam hal info lainnya. Persahabatan itu sangat terasa hangat, mengikat sebagai saudara terlepas dari latar belakang seseorang.  Ini tentu saja sangat mulia karena setiap orang terikat hati dan pikirannya dengan Allah.

Galeri foto dapat dilihat disini.

Lihat pula tulisan

  1. Bertemu saudara muslim di Thailand: (1) Meningkatkan iman dan taqwa
  2. Bertemu saudara Muslim di Thailand: (3) Menikmati-kuliner-halal-thailand

Malang, 26 Januari 2014

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *