Wisata Pindul, desa Bejiharjo, Gunung Kidul
Penulis bersyukur, akhirnya perjalanan menuju goa Pindul terealisasi, tepatnya 5 april 2014. Penulis bersama keluarga menikmati jenis wisata yang sangat populer ini. Pada bulan Juni 2012, penulis pernah mengunjungi lokasi ini hanya saja tidak ikut tubing, karena saat itu datang pada malam hari. Goa Pindul terletak di desa Bejiharjo kecamatan Karang Mojo, kabupaten Gunung Kidul.
Kini keadaan desa wisata itu sudah maju karena perkembangan wisata Pindul. Semakin banyak penduduk yang berpartisipasi dan semakin terampil dalam mengelola wisata ini. Ada lebih dari enam pengelola wisata yang terlibat dalam kegiatan wisata ini, antara lain Panca Wisata, Tunas Wisata, Wira Wisata, Gelaran Indah, Karya Wisata dan Dewa Bejo. Penulis dipandu oleh kelompok Dewa Bejo (Desa Wisata Bejiharjo), yang merupakan pengelola perintis yang mengembangkan wisata goa Pindul. Tiga pengelola perintis goa Pindul adalah Wirawisata, Panca Wisata, dan Dewa Bejo (1).
Menuju lokasi Goa Pindul, banyak jalan alternatif yang dapat dipilih. Banyak (pusat-pusat) informasi yang menyediakan jasa mengantarkan pengunjung ke goa Pindul. Jauh sebelum masuk kota Wonosari, jasa informasi ke goa Pindul banyak ditemui. Pengunjung disarankan tidak memanfaatkan jasa seperti ini. Tapi sebaiknya pengunjung dapat langsung menuju ke lokasi pengelola goa Pindul, untuk memperoleh informasi langsung dan jelas. Karenanya pengunjung disarankan langsung menuju arah dan masuk kota Wonosari (ibukota kabupaten Gunung Kidul), sambil menikmati kemajuan pembangunan kota, yang dulu dikenal sebagai daerah miskin.
Masuk kota Wonosari, meski jalannya agak jauh sedikit, namun petunjuk jalan relatif jelas, jalan lebar dan beraspal halus. Bagi yg menggunakan gadget perlu hati-hati. Dengan googlemap kurang akurat menunjukkan jalan, karena mungkin akan melewati jalan desa yang beraspal tidak mulus atau makadam. Yang agak tepat adalah menggunakan GPS Navitel, dimana jalan goa Pindul tertulis dengan jelas.Di tengah kota Wonosari, sekitar alun-alun kota atau masjid, ada petunjuk ke arah goa Pindul. Jarak dari pusat kota ke goa Pindul sekitar 6 km. Ada dua jalan utama alternatif ke arah Pindul, yakni jalan utama ke utara mengarah ke kecamatan Nglipar, atau ke arah Karang Mojo.Jalan menuju lokasi sebenarnya mudah, tinggal mengikuti jalan aspal halus (bukan jalan makadam, yang diberi tanda marka putih.
Ketika masuk di desa Bejiharjo, suasana kehidupan wisata sangat terasa. Ada pusat-pusat informasi yang disediakan pengelola, dengan ragam banner dan baliho beraneka warna. Pengunjung punya pilihan menentukan mana pengelola wisata yang dikehendaki. Ada baiknya pengunjung membaca secara detil informasi dan bertanya perihal jenis layanan, perangkat kenyamanan dan keselamatan, parkir, jaminan asuransi, toilet, loker, tarif layanan atau warung makan. Informasi ini sebagian tersedia di website pengelola wisata (2, 3, 4, 5, 6).
Jelajah Goa Pindul
Wisata goa Pindul memang sangat populer, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Ini merupakan jenis wisata jelajah goa, menyusuri menggunakan ban karet (ban dalam mobil). Kok ban karet? Benar karena dalam goa itu ada sungai mengalir, dan aliran itu dimanfaatkan untuk (hanyut) menjelajahi goa dengan menggunakan ban karet. Pengunjung harus menaiki ban tersebut untuk menjelajahi goa, menikmati pemandangan sekaligus merenungkan dan mensyukuri ciptaan Allah (Tafakkaru fi khalqillah). Karenanya, jelajah gua jenis ini dikenal dengan dengan istilah cave tubing, atau wisata jelajah atau menyusur goa dengan tubing.
Penulis menggunakan jasa layanan yang disediakan oleh Dewa Bejo. Dewa Bejo merupakan pengelola wisata perintis pengembangan goa Pindul, dan memiliki jaringan dengan tujuan wisata lainnya (termasuk di Malang). Penulis memanfaatkan jaringan ini, dan telah menghubungi kontak person (Saudara Wisnu) beberapa hari sebelumnya. Penulis bahkan sempat dipandu menuju desa Bejiharjo, dan dijemput di batas desa untuk menghindari tersesat. Cara ini lebih efektif. Mengapa? Karena di sepanjang jalan masuk desa Bejiharjo, ada banyak motor ojek yang menawarkan jasa antar ke goa Pindul.
Untuk layanan wisata cave tubing, setiap pengunjung dikenakan tarif Rp. 35.000 per orang, termasuk fasilitas asuransi, pemandu (untuk setiap lima orang), perlengkapan pelampung, tubing (ban karet), sepatu karet, dan jasa penitipan barang. Sesudah siap memakai pelampung, sepatu, dan tubing, maka rombongan dipimpin seorang pemandu, namanya Harno, berjalan kaki menuju goa pindul yang berjarak sekitar 200 m dari kantor pengelola Dewa Bejo. Kami siap di depan goa Pindul sekitar jam 10.00 pagi. Setiap orang mengangkat ban tubing seberat sekitar tiga kg. Sebelum masuk air goa Pindul, pemandu memberikan briefing tentang aturan, etika, dan tatacara tubing dan masuk goa. Briefing memberi informasi bahwa tubing sangat mudah, sederhana, gembira, aman dan nyaman. Kesan gembira sangat terasa dimana para pengunjung anak-anak, remaja, dewasa hingga kakek atau nenek ikut nyemplung bertubing ria. Di pintu goa, mereka bahkan bermain, memukul, dan menendang permukaan air sehingga pengunjung berbasah-basahan.
Pemandangan segera berubah, ketika masuk goa. Suasana menjadi hening karena pengunjung mulai diam memperhatikan dan mengamati mulut, dinding dan interior goa. Panjang jelajah tubing goa Pindul sekitar 300 m, memakan waktu kurang lebih 60 menit. Di dalam goa, suara pemandu mengambil alih suasana dengan penjelasan perihal goa. Pemandu Harno, dengan lancar mengalirkan kata dan kalimat, serta.. ini yang penting… Harno pula yang mengambil foto-foto kami sejak awal di kantor Dewa Bejo hingga selesainya tubing ini. Nampak jelas bahwa Harno cukup terlatih perihal pemanduan, sehingga mampu menjalankan fungsi interpretasi dalam dunia wisata. Kami juga mendengar pemandu lain menggunakan bahasa Inggris menemani seorang pengunjung berwajah bule.
Dalam goa dikenal zona terang, zona remang dan gelap. Semakin masuk ke dalam goa, benar-benar gelap pekat. Tapi pengunjung tidak perlu takut, pemandu akan menyalakan senter, dan sesekali mengambil foto di kegelapan. Suasana di dalam goa sungguh luar biasa, ada beragam ukuran stalagtit dan stalagmit. Atap goa bervariasi tingginya, mulai seukuran tinggi kepala manusia hingga sekitar 5 m. Stalagtit meneteskan air, sementara stalagmit menerima tetesan air. Di satu tempat, nampak Stalagtit telah menyatu dengan Stalagmit, sehingga membentuk sokoguru (tiang penyangga) goa dan menjadi legenda tertentu yang dipercaya masyarakat. Kesan mistik gua memang terasa. Menurut Harno, ada tempat tertentu di dalam goa digunakan oleh orang-orang dahulu untuk bertapa. Di dalam goa juga ditemukan pemandangan relief dan mosaik. Relief itu terbentuk akibat bersarangnya kelelawar. Kaki kelelawar yang menempel di atap goa sedikit demi sedikit menggerus material kapur sehingga membentuk cekungan atau kubah kecil. Mosaik berwarna coklat terbentuk oleh urine kelelawar yang disemprotkan atap goa. Ada saja pengunjung yang memukul stalagtit stalagmit sehingga bergaung seperti suara gong. Terkadang ruang goa bisa seluas badan truk (lebar 6 m), tetapi ada yang selebar motor seukuran tubing (1.5 m). Air dalam goa berkedalaman enam hingga 12 m,mengalir pelan sehingga nampak seperti genangan diam, menambah suasana takjub terhadap ciptaan Allah ini.
Menurut Harno, beberapa stalagtit sudah mati, artinya tidak lagi meneteskan air. Hal ini disebabkan permukaan tanah di atas gua mengalami perubahan sehingga tidak bisa lagi menyimpan air. Pembentukan stalagtit sangat lambat, yakni sekitar 1 mm per tahun, tergantung karakteristik kimia air dan batuan di permukaan tanah. Tetesan air stalagtit itu dapat menjadi pertanda keseimbangan siklus air di daerah pegunungan kapur. Karena itu, upaya konservasi lahan di wilayah gunung kapur ini dapat mempertahankan siklus air dan memelihara cadangan air (sungai) bawah tanah.
Menjelang pintu keluar goa, nampak sinar matahari masuk menerangi ruang goa. Kiranya sinar itu juga datang dari atap goa yang berlubang. Disini kami diminta untuk turun dari tubing. Ada pengunjung yang berenang, ada pula yang naik di sisi landai goa. Nampaknya ini menjadi tempat berfoto. Kembali Harno memainkan kamera mengambil momen yang bagus bagi pengunjung. Tidak hanya kami, pengunjung lain larut dalam kegembiraan berfoto. Bahkan ada pengunjung yang naik cukup tinggi di dinding goa untuk merasakan sensasi goa Pindul.
Tubing berakhir ketika sudah keluar dari pintu goa. Kami turun tubing untuk menaiki pintu tanggul yang cukup tinggi. Permukaan air dari goa kurang lebih sekitar lima hingga enam meter dibawah pemukaan tanah. Air ini kemudiaan menyatu sebagai air baku untuk irigasi dan keperluan lainnya. Kami kemudian kembali kantor Dewa Bejo, yang berjarak sekitar 50 m dari tanggul.
Rafting di sungai Oyo
Penulis dan keluarga kemudian kembali memanfaatkan jasa rafting sungai Oya (atau dibaca Oyo) (river tubing). Tarif rafting ini adalah Rp. 45.000 rupiah per orang, termasuk asuransi, pelampung, sepatu, dan tubing; dengan fasilitas sama seperti jelajah goa Pindul. Harno kembali memandu kami dengan sabar dan telaten. Untuk menuju sungai tersebut, kami harus naik mobil bak terbuka sejauh sekitar 1.0 km dari kantor Dewa Bejo. Di mobil sudah tersedia 5 ban tubing untuk persiapan rafting. Dengan mobil itu, kami lalui jalanan tanah, berbatu dan berkapur. Di tepi jalan nampak pohon kayu putih bertumpangsari dengan tanaman pangan. Kami menuju titik awal rafting yang terletak di dusun Gelaran, desa Bejiharjo.
Setibanya di bibir sungai kami diberi briefing singkat yang kurang lebih sama saat mau masuk goa Pindul. Dataran bibir sungai sangat landai, di sekelilingnya merupakan lahan tegalan. Kami langsung turun ke sungai, kembali naik ban untuk bertubing ria. Air sungai mengalir tidak terlalu deras membawa kami. Nampak pengunjung lain ramai-ramai menikmati tube rafting ini. Menurut Harno, perjalanan ini akan menempuh jarak 1500 m dan memakan waktu sekitar 2 jam.
Ternyata aliran air sungai memiliki laju yang berbeda-beda. Hal ini tergantung fisiografi sungai dan wilayah sekitarnya. Ketika air nampak tenang, menandakan air cukup dalam hingga 6 m. Namun ketika mengalir deras dan airnya beriak, maka kedalaman airnya hanya sekitar 30 cm dan diselingi batuan. Saat air dangkal inilah, sensasi tubing muncul dengan menggoyang tubuh dan merangsang adrenalin,.. tentu disertai teriakan pengunjung yang benar-benar lepas. Penulis menyaksikan beragam dinding sungai. Ada yang berupa tanah dan berwarna gelap, menandakan disekitarnya ada kegiatan budidaya. Ada pula dinding yang berupa batuan, menandakan umurnya relatif tua dalam membentuk formasi geologi sungai. Pada dinding batuan sungai itu, nampak jelas horison pembentukan batuan, menambah eksotik pemandangan tubing.
Pada suatu tempat, nampak pengunjung turun dari tubing untuk menaiki dinding batuan sungai. Kiranya ada suatu aliran air deras dari atas sungai, mirip air terjun setinggi 5 m. Para pengunjung mencoba untuk menikmati air terjun tersebut,.. tentu sambil berfoto. Tapi ternyata dugaan penulis keliru, sebagian di antara pengunjung itu, termasuk putra-putri penulis naik ke tebing yang lebih tinggi, 7 m di atas permukaan air sungai. Disana sudah berkumpul para pengunjung lain, di suatu pijakan tebing yang rata. Mereka ternyata ingin terjun dari ketinggian itu ke sungai. .. whaooow. Ternyata ini adalah bagian skenario tubing di sungai Oya. Para pemandu sudah siap mengabadikan dengan kamera bagi pengunjung yang melompat dari tebing yang tinggi itu,.. termasuk Ilham (putra penulis). Sementara kakaknya (Gaby) nyalinya mengecil. Sementara bagi yang ingin adu nyali, ada tempat melompat yang lebih tinggi sekitar 12 m di sebelah air terjun.
Kami berhenti di sekitar air terjun itu cukup lama, sekitar 30 menit, untuk menyaksikan derasnya air terjun dan ramainya pengunjung melompat dari dua tebing tinggi di sebelahnya. Air terjun ini sebenarnya berasal dari sungai goa pindul, yang saat itu debitnya kurang lebih 200 liter per detik. Penduduk setempat menyebut air terjun tersebiut sebagai grojogan manten atau air terjun Pengantin. Penulis dan istri cukup puas menikmati keadaan sekitarnya dengan duduk di batuan tebing, sambil tersenyum mensyukuri kegembiraan dan kebersamaan dengan putra putri kami. Kami merasa terlalu tua untuk bisa mengikuti kegembiraan para pengunjung berusia muda itu, apalagi harus naik ke tebing yang tinggi.
Posisi air terjun pengantin baru sekitar dua per tiga perjalanan. Kami masih melanjutkan perjalanan dengan pemandangan yang tidak kalah bagusnya. Sebagian pengunjung masih berenang, tidak mau menaiki tubing, membiarkan tubuh terbawa air mengalir. Suasana seolah-olah diam sesudah hingar bingar di air terjun. Air sungai mengalir lebih pelan, lebih lebar dan fisiografinya lebih datar. Terkadang airnya dangkal sehingga tubing seperti menyentuh permukaan tanah. Saat itu suasananya menjadi sepi karena pengunjung lain (yang dipandu pengelola wisata lain) sudah menyudahi tubing. Pengelola wisata Dewa Bejo nampaknya memiliki rute jelajah tubing yang lebih panjang.
Kami mengakhiri river tubing sungai Oya pada suatu tempat. Disana sudah menunggu seorang bapak untuk membantu kami membawakan ban tubing, untuk dipindahkan ke mobil bak terbuka. Kami sempat berfoto di lokasi itu, dengan diarahkan oleh pemandu Harno. Sebelum kembali naik mobil, kami sempat membeli gorengan tempe hangat di sebuah warung sederhana, dan berbincang dengan pemilik warung. Terasa sekali, .. tempe goreng menghangatkan perjalanan kembali ke kantor Bewa Bejo.
Kami mengakhiri kegiatan wisata hari itu dan tiba kembali di kantor Dewa Bejo sekitar jam 13.30. Kami kemudian mengambil barang di loker, dan mandi membersihkan badan. Fasilitas kamar mandi cukup bersih. Disini juga ada mushola yang dapat memuat hingga 30 jamaah. Setelah sholat Dhuhur, kami pamit kepada Wisnu (pemasaran Dewa Bejo) dan mengucapkan terimakasih atas berbagai layanan yang diberikan. Kami sekeluarga mengakhiri dengan kuliner makan siang di sebuah tempat sederhana di sekitar parkir kantor Dewa Bejo. Kami menikmati lalapan ikan seharga 20 ribu rupiah per orang, dengan sajian yang bersih dan rasa yang mak nyus… Siang itu iklim agak tidak bersahabat dan terjadi hujan deras. Tapi secara umum tidak mengurangi rasa nikmat dan syukur atas kegiatan hari itu. Penulis merasakan bahwa layanan wisata ini melibatkan banyak orang, termasuk warung-warung kecil dan tenaga bantuan penduduk desa. Inilah dampak nyata kesejahteraan desa wisata.
Kontak Person Pengelola Wisata Dewa Bejo, Wisnu HP 087779104880, 082122365133
Lembah Panderman Malang, 9 April 2014.
Tulisan sebelumnya
Leave a Reply