Ketaatan Nabi Ibrahim dalam Konteks Kekinian
Hari ini umat Islam seluruh dunia mengumandangkan Takbir, Tahmid, Tasbih, dan Tahlil mengagungkan asma Allah. Umat Islam, laki perempuan, tua muda mendatangi masjid atau lapangan untuk melaksanakan sholat Ied. Selesai sholat, kita semua akan melakukan kurban, atau penyembelihan hewan kurban, dan membaginya kepada yang berhak. Ajaran berkorban dari nabi Ibrahim hanya sebatas simbol dalam bentuk ritual menyembelih hewan kurban seperti kambing, sapi, atau unta. Penyembelihan kurban tersebut bukan dinilai dari daging atau darah hewan kurban, melainkan ketaqwaan dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Pada saat ini juga, saudara-saudara kita juga sedang melaksanakan ibadah haji, tepatnya di Mina melaksanakan pelemparan jumrah, yakni melempar batu yang menandakan pengusiran kepada setan atau penolakan terhadap bentuk-bentuk rayuan duniawi dan kemaksiatan. Kemarin, tanggal 9 Dzulhijjah 1435H, jemaah haji melaksanakan wukuf di Arofah. Wukuf adalah rukun dan inti ibadah haji, sebagaimana disabdakan nabi Al Hajju Arofah. Makna arti wukuf adalah berhenti. Arafah berasal dari kata ‘A-ra-fa, yang berarti mengerti dan paham pada sesuatu. Makna spiritual kedua kata itu adalah manusia harus wukuf atau berhenti sejenak dari segala urusan duniawi, agar bisa bisa Arafah, yaitu mengenal dirinya secara hakiki sebagai media untuk dapat mengenal Allah SWT serta kasih sayangNya. Man ‘arofa nafsahu ‘arofa rabbahu, barang siapa yang mengenal dirinya pasti dapat mengenal Tuhannya.
Kedua momentum itu, yakni kurban dan haji, merupakan kehendak Allah terhadap perjuangan dan kehidupan nabi Ibrahim as. Seorang pribadi nabi Ibrahim as, diutus Allah untuk menyampaikan dan meluruskan kebenaran ketauhidan, yang pada jamannya, berlaku kesyirikan yang luar biasa. Ketaatan nabi Ibrahim kepada Allah, menjadi pedoman bagi seluruh umat untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Kesabaran dan pengorbanan nabi Ibrahim menjadi teladan bagi siapapun untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sejarah hidup nabi Ibrahim diabadikan pada banyak ayat di dalam Alquran.
Ketaatan dan Keteladanan Ibrahim
Kisah-kisah kehidupan nabi Ibrahim as dapat memberi hikmah, keteladanan dan manfaat bagi generasi kenabian lainnya, serta hingga generasi sekarang. Kita semuanya dapat mengambil manfaat dan pembelajaran luar biasa dari kehidupan Ibrahim as. Khotbah sholat Ied ini ingin mengurai kehidupan beliau dari berbagai sisi, dan relevansinya dalam kehidupan saat ini.
1. Ibrahim sebagai pemuda yang berkarakter dan berbakti kepada orang tua
Ibrahim kecil tumbuh menjadi pribadi berkarakter. Oleh Allah hati Ibrahim diisi dengan nilai-nilai ketauhidan. Ia menjadi pemuda yang beriman hanya kepada Allah SWT. Hatinya gelisah melihat kehidupan yang tidak semestinya, kehidupan kerajaan pimpinan Namrud, masyarakat, bahkan keluarganya sendiri, terjebak kepada kesyirikan penyembahan kepada berhala. Hatinya mengalami pertentangan dan pergelutan, menentang kejahiliyahan. Beban yang paling berat adalah saat beliau harus berhadapan dengan ayahnya, di mana ayahnya adalah pembuat patung dan berhala yang paling terkenal di seluruh kerajaan.
Singkat kata, Ibrahim dan ayahnya terlibat dalam perbedaan keyakinan yang tidak dapat ditemukan. Ibrahim berpihak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah berdiri bersama kebatilan. Pertentangan itu berakhir dengan pengusiran nabi Ibrahim dari rumahnya.
Namun demikian, sikap Nabi Ibrahim selamanya tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang mulia. Bahkan sebelum pertentangan itu terjadi, Ibrahim patuh kepada ayahnya memenuhi permintaan untuk menjual patung-patung itu ke pelosok negeri. Beliau berdialog dengan ayahnya dengan menggunakan adab yang santun, sabar dan hormat seperti para nabi yang lain. Ketika diusir ayahnya pun, beliau mendoakan ayahnya (QS. Maryam [19]: 47-48):
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.'”
2. Ibrahim sebagai pecinta ilmu
Pertentangan prinsip dalam ketauhidan antara Ibrahim dan ayahnya, merupakan dialog keagamaan tingkat tinggi. Itu adalah pergelutan hati Ibrahim untuk menguji kebenaran ketauhidan dan ketaatan hanya terhadap Allah SWT. Pada proses ini, sesungguhnya Ibrahim sedang menerapkan metodologi keilmuan dan hipotesis tentang keberadaan dan bukti-bukti Allah SWT. Hal ini juga terjadi dalam sejarah nabi-nabi yang lain.
Sepeninggal Ibrahim dari rumah ayahnya, temuan ilmu kebenaran semakin kuat. Semakin kuat hasrat Ibrahim mencari kebenaran itu, Allah merahmatinya dengan petunjuk, pertolongan dan bukti-bukti kebesaran Allah. Pada saat yang sama, keyakinan, keikhlasan, kesabaran dan ketaatan Ibrahim kepada Allah semakin kuat.
Allah memberikan Ibrahim kemampuan logika dan akal sehat untuk menjelaskan kepada kaum jahilliyah saat itu, bahwa bintang, bulan atau matahari adalah makhluk, bukanlah Tuhan. Logika orang-orang saat itu, yang besar adalah Tuhan seperti digambarkan melalui bintang, bulan atau matahari. Ibrahim berhasil mematahkan keyakinan itu, bagaimana mungkin manusia menyembah Tuhan yang muncul hanya pada malam atau siang hari. Metode bertanya itu (istifahmul inkar) adalah semacam hipotesis. Ibrahim menjelaskan Allah yang menciptakan langit dan bumi. Pertentangan itu tertulis di dalam QS. al-An’am (6): 78–81. Atas pencarian untuk memperteguh ketaatannya itu, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak takut terhadap ancaman umat pada saat itu. Allah SWT berfirman (QS. al-An’am [6]: 82):
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ”
Bukti tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang musafir pencari ilmu, mengembara untuk menemukan kebenaran di jalan Allah SWT. Ibrahim selalu memiliki hasrat, rasa tunduk, dan rasa ingin tahu dan cinta kepada Allah. Petualangan di setiap kali ia melalui perjalanannya, maka kehausan cinta kepada Allah pun meningkat. Allah SWT selalu memberikan hujah atau argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu menghadapi kaumnya. Allah SWT berfirman (QS. al-An’am [6]: 83):
“Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. ”
3. Ibrahim suka berderma atau dermawan
Ibrahim mengetahui bahwa Allah SWT pasti membalas orang-orang yang dermawan. Karenanya Allah memberikan kemurahan harta kepada Ibrahim dan istrinya. Ibrahim dan istrinya pernah menyembelih hewan untuk disumbangkan sebanyak 1000 kambing, 350 sapi, dan 150 unta. Beliau tidaklah menghiraukan hartanya. Masyarakat pun bertanya kepada Nabi Ibrahim: Apakah beliau tidak memikirkan harta yang dibagikan tadi? Nabi Ibrahim menjawab: “Harta tersebut merupakan titipan yang hanya sifatnya sementara dan tidak kekal. Namun pahala akan dibawa hingga ke akhirat nanti”.
Kedermawanan Ibrahim ditunjukkan dalam melayani tamu. Ia senantiasa mengajak tamu untuk makan di rumahnya. Ibrahim pernah tidak makan karena ingin menunggu tamu yang berkunjung. Dengan kedermawanannya itu, didasari ketaatan kepada Allah, Ibrahim diangkat menjadi rasul. Malaikat Jibril memberi kesaksian bahwa Ibrahim tidak pernah mengusir pengemis (peminta) yang datang ke rumahnya. Ibrahim tidak pernah membiarkan tamunya pergi dengan tangan kosong dari rumahnya.
Kisah yang sangat dikenal, adalah saat dimana Ibrahim menerima tiga orang tamu yang belakangan diketahui adalah malaikat Jibril, Israfil, dan Mikail. Ibrahim menjamu tamu itu seperti selayaknya manusia umumnya. Namun, tiga tamu itu justru tidak mau makan, tetapi memberi petunjuk kenabian, yakni Ibrahim akan memiliki anak dan menjadi bapak para nabi di jaman sesudahnya. Kisah ini termuat dalam Surat Hud: 71-72 dan Surat Al Hijr: 54-56.
4. Ibrahim mengajak keluarga kepada ketaatan
Nabi Ibrahim diberikan keistimewaan luar biasa oleh Allah dalam ketaatan. Ketaatan tersebut bermakna keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa, baik pada dirinya maupun keluarganya. Betapa tidak, kesabaran Ibrahim dan istrinya teruji hingga usia sekitar 90 tahun hingga dikaruniai seorang anak, yakni Ismail. Dalam masa penantiannya itu, Ibrahim tetap dalam ketaatan untuk menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah semata.
Demikian pula, setelah Ismail lahir pun. Ujian ketaatan oleh Allah terus diberikan. Pada suatu hari Nabi Ibrahim memerintahkan isterinya, Hajar, untuk membawa anaknya bersiap-siap untuk melalui perjalanan panjang dari Iraq, Yordania hingga jazirah Arab, sejauh sekitar 1500 km, sambil membawa anak mereka, Ismail yang masih menyusu pada ibunya. Istrinya patuh tidak sedikitpun mengeluh. Di tengah perjalanan, Allah memerintahkan Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya di suatu tempat, di gurun pasir kering kerontang, tanpa tanaman, yang kelak berkembang menjadi kota Mekah. Sang istri, Hajar, memahami bahwa Nabi Ibrahim tidak akan meninggalkannya kecuali mendapat perintah dari Allah SWT. “Apakah Allah SWT memerintahkan demikian ini?” Nabi Ibrahim menjawab: “Benar.” Nabi Ibrahim kemudian menuju ke tempat untuk berdoa kepada Allah SWT (QS. Ibrahim [14]: 37):
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”
Ketaatan Ibrahim dan istrinya juga menurun kepada Ismail anaknya. Ismail dengan ikhlas mengikuti kehendak ayahnya yang hendak menyembelih dirinya. Inilah yang menjadi titik awal makna idul kurban. Pengorbanan keluarga Ibrahim adalah wujud keimanan kepada Allah dan keikhlasan manusia demi menjunjung risalah Allah di muka bumi ini.
5. Ibrahim sebagai teladan kepemimpinan
Bentuk pengorbanan dan ketaatan kepada Allah oleh Ibrahim dan keluarganya merupakan prasyarat utama bagi suatu kepemimpinan. Kepemimpinan Ibrahim as dinyatakan oleh Allah dalam QS. AN Nahl (16): 120, yang mengandung makna bahwa pemimpin yang dijadikan teladan dan mengajarkan kebaikan kepada manusia. Kesuksesan kepemimpinan Ibrahim berlandaskan pada tiga sifat, yaitu: (i) Qanit, yang artinya tunduk kepada Allah, (ii) hanif, bermakna lurus dalam jalan kebenaran, dan (iii) syukur, yang artinya mengakui nikmat hanya dari Allah swt, bukan dari nikmat dunia atau wujud yang mempersekutukan Allah.
Kisah dan pribadi Nabi Ibrahim dapat menjadi model kepemimpinan. Ibrahim adalah sosok pemimpin ideal karena kepribadiannya yang paripurna. Pemimpin ideal lahir dari proses penempaan diri kuat, sungguh-sungguh, ikhlas dan berkualitas. Hal ini juga berlaku kepada diri Rasulullah saw. Laqod kaana lakum fii Rasulillahi uswatun hasanatun. Allah menegaskan dalam al-Quran (QS. Al-Baqarah [2]: 124),
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
Dari ayat inilah, kepemimpinan Ibrahim melahirkan kepemimpinan kenabian di jaman sesudahnya, hingga kepemimpinan Rasulullah saw. Siapapun pemimpin, pada jaman sekarang, dapat meneladani sifat nabi Ibrahim ini.
Penutup
Kisah nabi Ibrahim, bermakna bahwa pengorbanan harus dilakukan demi meraih kesuksesan dan kualitas hidup, baik di dunia maupun akhirat. Pengorbanan merupakan syarat dasar jika ingin menjadi manusia sempurna di hadapan Allah.
Para pahlawan bangsa telah memberikan contoh pengorbanan, baik itu harta, jiwa dan raganya demi mewujudkan kemerdekan negara Indonesia. Para ulama terdahulu, termasuk wali songo, berkorban dan berjihad untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia. Semangat berkorban generasi bangsa ini penting bagi kemajuan bangsa Indonesia, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Terlebih bagi seorang pemimpin, pengorbanan untuk melayani kepentingan umat dalam kerangka tunduk kepada Allah (qanit), lurus (hanif), dan syukur dan jauh dari perihal kesyirikan.
Pengorbanan dalam konteks sekarang, dapat berwujud harta, pikiran, kepedulian sosial, mendalami ilmu agama atau menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengorbanan seorang kepala keluarga untuk memelihara ketaatan anak dan istrinya hanya kepada Allah (Quw anfusakum wa ahlikum nara). Kepedulian sosial kepada lingkungan, di masyarakat, atau lingkungan kantor, atau organisasi lain, untuk senantiasa mengingatkan dan memelihara ketaatan, melaksanakan perintah dan mencegah hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Pengorbanan juga harus dalam kerangka membentuk rambu-rambu, yang mencegah dari gemerlap harta, kehidupan dunia dan segala nikmatnya, agar kita senantiasa mengingat dan dekat dengan Allah (QS al Munafiqun [63]: 9):
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.
Masjid Al Farabi; Universitas Widyagama Malang, 5 Oktober 2014 (10 Dzulhijjah 1435)
Sumber bacaan:
- http://harmoni-my.org/arkib/kisahnabi/index.htm#page=kisahnabiibrahimas.htm
- http://ronigaulmamen.blogspot.com/2012/07/ustad-caoni-prend-kisah-nabi-ibrahim_30.html?showComment=1343636580244#c7875830720788562906
- http://indonesiaindonesia.com/f/90318-nabi-ibrahim-pernah-mengalami-transisi-keimanan/
Leave a Reply