Kesahajaan seorang guru
Suatu sore ada sms masuk dari nomer yang belum dikenal, yang mengabarkan berita duka. Isinya: “Saya Fifi putrinya ibu Tati, mohon maaf kami terlambat mengabarkan bahwa ibu sudah meninggal dua minggu yang lalu”. Penulis sangat terkejut dengan kabar duka ini. Penulis segera memastikan dengan menelfon balik nomer HP tersebut, sekaligus mengucap bela sungkawa. Beliau meninggal pada usia sekitar 67 tahun karena sakit yang relatif mendadak. Dengan segera perasaan ini terhanyut dalam duka dan sedih. Penulis segera berdoa untuk beliau ketika selesai sholat maghrib.
Ibu Tati adalah teman kami (penulis dan istri) ketika naik haji pada tahun 2011. Beliau berangkat haji sendirian. Suami beliau telah lebih dulu meninggal dunia. Kenangan kami dengan beliau teramat mendalam, yang kami anggap seperti orang tua sendiri. Karena beliau berangkat haji sendirian, maka wajar kami (dan teman-teman lain) yang lebih muda berkewajiban menemani atau mendampingi beliau selama di tanah suci. Kebetulan istri sekamar dengan beliau di Mekah dan Madinah.
Ibu Tati adalah pensiunan guru SMP, mengajar bahasa Inggris. Orangnya ramah, rendah hati, bersahaja/sederhana, dan sangat terdidik (guru dengan idealisme pendidik). Beberapa kali penulis mendengar beliau berkata dalam bahasa Inggris seperti sedang mengajar muridnya. Beliau banyak cerita tentang almarhum suami (yang juga seorang guru), putra dan putrinya, cucu-cucunya serta pengalamannya ketika menjadi guru. Di usia pensiun, beliau mengisi waktu dengan pengajian dan mengerjakan ketrampilan membuat renda atau kristik dalam berbagai bentuk atau gambar. Beliau juga mengajarkan ketrampilan itu kepada teman dan tetangganya.
Persahabatan dengan ibu Tati terjalin terus, saling telfon, atau bertemu setiap tiga bulan (dalam reuni ikatan persaudaraan haji). Beliau dengan istri penulis saling nyambung berkomunikasi. Ibu Tati berdomisili tetap di sekitar Sidoarjo, namun sering juga tinggal di Malang mengunjungi putri dan cucu-cucunya. Rumah kami relatif berdekatan dengan rumah Fifi, putri beliau. Beberapa kali kami menjemput dan mengantar bu Tati untuk menghadiri reuni haji. Beliau juga pernah silaturahim ke rumah kami. Setiap bertemu, beberapa kali kami diberi hadiah renda hasil buatan beliau, bahkan membuatkan khusus sesuai warna kesukaan putri kami.
Pada reuni haji sekitar awal tahun 2013, beliau minta menjadi tuan rumah reuni berikutnya. “Monggo bapak ibu tindak ke Sidoarjo, ke rumah saya”, kata beliau. Semua jamaah menyetujuinya secara cepat dan bulat. Keputusan ini tidak seperti biasanya, karena menentukan tempat reuni biasanya saling menunggu diantara jamaah. Senantiasa ada perasaan sungkan berinisiatif. Apakah permohonan ini menjadi “pamit” beliau? Hanya Allah yang tahu.
Ketika saatnya tiba, rombongan reuni haji berangkat ke Sidoarjo bersama-sama dalam satu bis. Tiba di rumah beliau, kami disambut dengan ramah. Di depan rumah telah dipasang tenda sederhana dilengkapi tempat duduk plastik; dengan sound sistem seperti perlengkapan tenda di desa. Mohon maaf, rumah beliau sangat sederhana dan kecil, mungkin setara ukuran tipe 21, sehingga tidak cukup untuk menerima rombongan kami. Namun ini semua tidak mengurangi arti reuni dan keikhlasan beliau. Justru yang muncul adalah perasaan hormat dan kagum. Perasaan haru kami kembali hadir menyaksikan kesahajaan beliau. Suatu kesederhanaan dan kejujuran yang alamiah, tanpa dibuat-buat. Hal yang saat ini jarang ditemukan.
Kepergian haji ini nampaknya telah diimpikan ibu Tati dalam kesahajaan, keterbatasan keuangan, pengorbahan (mujahadah), dan kerendahan hati beliau. Gaji guru atau pensiunan guru jaman saat itu relatif kecil. Belum ada istilah tunjangan sertiifikasi guru. Gaji biasanya habis terutama untuk kehidupan dan biaya sekolah anak, sehingga tidak terpikir menabung untuk haji/umroh. Karenanya, pengorbanan beliau, sekaligus kesabarannya telah mendatangkan kasih sayang (rahmat) Allah, sehingga Allah mengundang untuk berangkat haji setelah pensiun dari profesi guru, dan setelah suaminya meninggal dunia. Itu semuanya kehendak Allah. Saat di Mekah dan Madinah, beliau sangat khusuk beribadah, benar-benar tawadhuk, berpasrah diri, seolah-olah melepas beban hidupnya kepada Allah. Beliau begitu antusias untuk berangkat umroh sunah (meniatkan) untuk suaminya. Di maktab/pemondokan, beliau mengisi waktu dengan mengaji, dan bercengkerama menghibur. Kata-katanya lembut, menyejukkan dan rendah hati. Beliau punya kebiasaan mencatat kegiatan apapun dalam buku hariannya, seolah-olah tidak mau melewatkan pengalaman perjalanan haji.
Kenangan tentang beliau sangat menyentuh dan penuh haru. Ibu Tati adalah seorang guru sejati, hidup dengan idealisme pendidik, sosok yang dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa. Beliau pantas menjadi teladan. Semoga Allah merahmati ibu Tati.
Para pembaca, marilah kita tingkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak, agar Allah memberikan rahmatNya dalam kehidupan kita, dan memberangkatkan kita ke tanah suci. Amiiin.
Catatan:
- Nama-nama dalam kisah ini telah diubah, untuk menghormati keluarga ibu Tati.
- Kisah di atas dekat dengan pengalamah kehidupan penulis. Penulis cukup paham tentang kehidupan guru karena ayah juga seorang guru SD. Ibu penulis juga naik haji setelah ayah meninggal dunia. Ibu menabung sedikit demi sedikit dari uang pensiun ayah untuk berangkat haji, tanpa mau merepotkan putra-putrinya.
Lembah Panderman, 28 Februari 2015
Tambahan tulisan (ditulis 27 Maret 2015)
Tambahan tulisan ini diberikan karena ada kehendak Allah kepada keluarga ibu Tati di luar kemampuan manusia.
Mendengar berita duka ini, kami anggota ikatan persaudaraan haji bersama-sama berkunjung ke rumah duka, yakni ke rumah Fifi, pada tanggal 1 Maret 2015. Disana kami diterima Fifi dan keluarga. Fifi menjelaskan tentang keadaan sakit ibunya, dan kenangan-kenangan lain menjelang meninggal dunia. Kami menyampaikan rasa duka yang mendalam, merasakan kehilangan dan bersama-sama mendoakan ibu Tati. Setelah itu, rombongan pulang dengan membawa kenangan masing-masing tentang ibu Tati.
Namun, kisah ini tidak berhenti sampai disini. Pada hari Sabtu, tanggal 21 Maret 2015, pas hari libur peringatan Nyepi, penulis dikagetkan dengan berita duka dari group facebook. Tertulis nama lengkap, dengan foto wajah seorang wanita, telah meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2015. Istri penulis sangat mengenali wajah ini. Itulah wajah Fifi, putri ibu Tati. Wanita muda, berusia 40 tahun, berputra/i 3 orang. Ia meninggal karena sakit. Kami terhenyak dan terkejut. Allah maha berkehendak. Ibu yang baik hati dan putrinya yang sholihah menghadap Allah dalam waktu tidak lama. Ibu dan anak yang saling menyayangi, semoga Allah merahmati mereka..
Leave a Reply