Kepemimpinan, Iman dan Ilmu

Kepemimpinan, Iman dan Ilmu

Seseorang menjadi pemimpin karena memiliki pengaruh terhadap anggota dan lingkungannya.  Pengaruh itu bisa berupa kelebihan-kelebihan tertentu dari profil seorang pemimpin sehingga lingkungan mempercayai, mematuhi, atau mengikuti kemana organisasi atau kelompok masyarakat dibawa mencapai tujuannya.  Dengan kata lain anggota masyarakat pasrah diri (pasrah bongkokan) atau memberi mandat (dan amanah) sepenuhnya kepada pemimpin tentang masa depan kehidupan.

Pemimpin dikatakan berhasil karena mampu memelihara amanah itu sepanjang periode jabatannya, bahkan sepanjang hidupnya.  Yang menilai amanah atau tidaknya seorang pemimpin adalah masyarakatnya, sesuai dengan aturan, tata nilai atau budaya organisasi atau masyarakat. Dari sinilah kemudian lahir konsep kepemimpinan. Amanah itu dijalankan oleh seorang pemimpin dalam konteks substansi (kebutuhan organisasi), struktur (pembagian tugas dan fungsi organisasi) dan budaya organisasi (memelihara produktivitas dan pengendalian).

Seorang yang sedang menjalankan kepemimpinan tidak berada dalam ruang kosong.  Dalam ruang itu sudah ada organisasi, anggota dan tata nilai atau norma, sesuai dengan karakternya.  Artinya, pemimpin tidak dapat mengabaikan hal-hal yang sudah ada.  Namun, pemimpin juga tidak bisa bermodal nol, atau tanpa modal, atau hanya modal dengkul.  Justru kepercayaan dan pengaruh seorang pemimpin harus dioptimalkan, kelebihan yang dimiliki digunakan untuk membawa perubahan positif untuk menggali potensi organisasi menjadi lebih produktif.

Kekeliruan yang sering terjadi, sehingga membawa kepemimpinan kepada kegagalan, karena pemimpin mengandalkan kepada kekuasaan.  Kekuasaan digunakan tanpa pertimbangan yang matang, di luar konteks substansi, struktur dan budaya organisasi.  Hal ini sangat sering terjadi, yang berakibat kepada penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, serta korupsi.  Mereka ini menjadi tidak amanah.  Penulis sering melihat hal ini, indikasi atau gejala-gejalanya, misalnya mementingkan gengsi jabatan, tidak taat aturan dan atasan, hobi mengumpulkan dana taktis (termasuk narik upeti, atau dari proyek), tidak terbuka dalam hal keuangan, tidak adil (hanya mementingkan kelompoknya), tidak ikhlas, tidak jujur, iri dan dengki, mudah emosi atau tersinggung dan upaya mempertahankan jabatan.  Mereka ini umumnya mengandalkan materi, harta dan uang (dari korupsi atau SPJ) untuk membiayai kepemimpinannya, memelihara gengsi jabatan, mengentertain orang lain, mencukupi keluarganya (lihat kasus Jero wacik). Ia tidak pernah merasa cukup dengan kondisi yang ada.  Tanpa materi atau uang, seolah-olah kepemimpinannya habis. .  Jelasnya ia mengandalkan kekuasaan untuk kepentingan keduniaan semata.

Pertanyaan besarnya adalah modal apa yang wajib dimiliki seorang pemimpin.  Seyogyanya seorang pemimpin memiliki iman dan ilmu yang benar dan kuat.  Kok Cuma itu?  (Ee..alah ngono thok!) Benar itu saja sudah cukup, yaitu dengan iman dan ilmu.  Kita coba bahas satu bersatu.

Iman akan membimbing pemimpin kepada suatu keyakinan tingkat tinggi (keyakinan langit).  Pemimpin harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya hanyalah hamba, yang kecil, lemah dan tidak mampu, yang tidak punya apa-apa.  Sekalipun ia seorang yang ahli, peneliti, profesor, CEO, smart, pintar, fisiknya kuat, gagah, ganteng atau cantik, atau mempesona, telah dipercaya oleh anggota organisasi, namun ia adalah hamba Allah, makhluk manusia biasa.

Allah yang menghendaki seseorang menjadi pemimpin atau tidak.  Seseorang menjadi presiden memang dipilih oleh rakyatnya, rektor dipilih oleh senat Universitas, dekan dipilih oleh senat fakultas.  Tapi itu semua atas kehendak Allah.  Bahkan Allah bisa saja berkehendak memilih seseorang presiden, rektor, dekan, direktur tanpa melalui melalui mekanisme buatan manusia.  Seorang manusia atau pemimpin hanyalah makhluk, yang tunduk terhadap kehendak Allah.

“Allah yang lebih besar, kuat, tahu, penyayang, dan berkehendak.  Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Ali Imron: 26)

Keyakinan itu harus tertanam dalam hati seorang pemimpin.  Hati seorang pemimpin harus senantiasa terisi oleh Allah.   Makhluk dan sifat-sifatnya harus dikeluarkan dari hati manusia. Keyakinan itu memberikan ruang hak Allah di dalam hati manusia, sehingga langkahnya akan sesuai tuntunan Allah, Al Quran dan sunah Rasulullah.  Hak Allah kepada manusia adalah mewajibkan manusia untuk beribadah kepada Allah.  “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepadaKu”(Az-Zaariyat: 56).  Karena itu, manusia harus meluangkan waktu, tenaga, tempat, dan harta untuk Allah, dan mau berjuang di jalan Allah.

Disinilah manusia atau seorang pemimpin dipandu oleh Allah menjadi makhluk yang mulia, memiliki derajad ketaqwaan tinggi. Keyakinan inilah yang memandu langkah pemimpin melaksanakan tugasnya, membedakan mana yang benar dan tidak benar, yang bermanfaat atau mudharat.  Implikasinya, maka manusia hanya tergantung kepada Allah, tidak lagi tergantung kepada makhluk.  Ia berkomitmen menegakkan agama dan kebenaran, mementingkan integritas dan kejujuran, menjauhkan diri kesyirikan, kemungkaran dari moral hazard.  Ia tidak perlu dana taktis, tidak tergantung fasilitas, tidak butuh prestise, tidak butuh dukungan (pengaruh) orang lain,  atau tidak mudah tersinggung.  Ia sudah punya Allah di hatinya, semua kebutuhannya, kesulitannya, urusannya dimohonkan kepada Allah.  Ciri-ciri pemimpin demikian antara lain rendah hati, sabar, ikhlas, mau berjuang (mujahadah) dan belajar, simpel dan sederhana, lurus, suka beramal dan berbagi (bukan dari uang kantor atau dana taktis), menyukai ilmu (dan nasehat) agama, suka mendatangi masjid atau majelis ilmu.  Pemimpin seperti ini akan dicukupi, dilindungi dan disayang oleh Allah

Ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu pengetahuan umum, teknis, atau sosial.  Untuk menguasai ilmu ini perlu didasari iman (dan ilmu agama) yang kuat, agar hatinya mudah dibukakan oleh Allah menerima pengetahuan dari berbagai sumber.  Seorang pemimpin pasti punya keterbatasan mengenai penguasaan ilmu, karena itu ia harus punya semangat belajar yang tinggi.  Ilmu ini bisa diperoleh dari membaca, mendengar atau melihat.  Pemimpin dapat mendengar dari office boy untuk menerima pengetahuan perihal operasional pemeliharaan kantor, belajar dari bagian keuangan tentang neraca, belajar dari rumah tangga tentang kebutuhan kantor, belajar dari produksi tentang business plan.  Semakin banyak mendengar dan belajar, pemimpin akan terasah kepekaannya memahami masalah dan mengambil keputusan.

Apa manfaat menguasai pengetahuan umum, teknis, atau sosial?  Penulis banyak berhadapan dengan hal ini.  Pemimpin perlu pengetahuan umum, teknis, atau sosial secara simultan untuk memahami suatu permasalahan  Suatu saat penulis didatangi rekanan ahli teknik yang menawarkan program bisnisnya.  Penulis menjawab bahwa kita sudah punya program itu.  Ia masih ngotot dengan idenya.  Akhirnya penulis tunjukkan program sejenis yang ada, isinya, beserta kelebihan dan kekurangannya.  Baru rekanan tadi mengerti bahwa programnya tidak bisa berjalan.  Ada juga yang menawarkan proyek kerjasama, dimana mereka minta feeWaduh, …ngapunten mas, kaliyan lintu mawon.  Penulis juga pernah mengingatkan seorang pemimpin untuk tidak tergiur tawaran menyesatkan.  “Ngapunten, kulo mboten badhe ngelawan panjenengan, kulo tetap patuh panjenengan, kulo siap didukani, namung, kadose menika kok mboten leres, menika penipuan“.

sumber: Tribunnews

Contoh lain sangat banyak, bahkan terlalu banyak.  Banyak orang berbicara ngalor ngidul, ternyata ia sendiri tidak mengerti atau tidak mampu mengoperasikannya.  Dan usulan itu sesungguhnya tidak bisa dijalankan.  Ada juga yang berpendapat salah dan keliru, karena ia tidak pernah membaca landasan peraturannya, tidak mengupdate pengetahuan. Menghadapi ini, penulis biasanya diam saja, ngelus dada, sekaligus prihatin dan ngeman (kalau panjenengan mau duduk, tenang, dan membaca, update informasi, pasti ngerti dan paham).   Substansi kesalah-pahaman itu biasanya berkaitan dengan teknologi informasi, peraturan baru, atau manajemen operasional.

Betapa bahayanya pemimpin tidak menguasai pengetahuan umum, teknis, atau sosial.  Ia akan mudah dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, dibawa kepada urusan-urusan yang bukan menjadi kebutuhan organisasi.  Pemimpin begini akan menjadi makanan empuk (baca: ditipu) oleh teman, temannya teman, rekanan, lobby, dan rent seeker.  Lihat kasus Ahok vs DPRD DKI, yang intinya adalah DPRD memaksakan pengadaan UPS untuk sekolah, padahal UPS tidak menjadi kebutuhan.  Ternyata harga UPS pun di markup.  Disinilah kepentingan pribadi, moral hazard, penyalahgunaan wewenang, korupsi dimulai.  Pemimpin harus teguh menolak dan menghindar ajakan, rayuan dan godaan para pencari keuntungan tersebut.

Ilmu pengetahuan umum, teknis, atau sosial, pada dasarnya membantu pemimpin menjalankan manajemen organisasi, lebih taktis, lebih peka, lebih efektif dan terukur.  Dari sini akan dapat dipandu mana kegiatan yang halal dan haram, yang perlu dan tidak perlu, yang penting dan tidak penting, yang berdampak kesejahteraaan dan merugikan, yang mendesak dan dapat ditunda, yang efisien dan tidak tidak efisien. Ilmu tersebut juga perlu untuk memahami sistem organisasi internal, memahami aturan dasar, mengenali staf, mengkalkulasi anggaran, mengukur potensi sumberdaya.  Dari kombinasi pengetahuan itulah, dapat disusun prioritas program atau kegiatan.  Kegiatan yang benar-benar bermanfaat untuk organisasi.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menempatkan kekuasaan bagi seorang pemimpin.  Ini bukan hal yang sulit.  Kekuasaan atau power bukan untuk ambisi pribadi, tetapi dimanfaatkan untuk memperkuat, memelihara atau meningkatkan iman dan ilmu, untuk kepentingan organisasi  Upaya meningkatkan iman antara lain meningkatkan kualitas keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan rasa syukur dan ikhlas, menegakkan kebenaran dan nilai-nilai agama, mengajak orang lain berbuat baik dan bermanfaat, dan menghidupkan amalan-amalan sunah.  Hal ini dilakukan dengan membangun sistem kelembagaan dan kehidupan organisasi, sehingga menjadi budaya organisasi.  Peraturan (aspek substansi), pembagian tugas (struktur) dan pengendalian (budaya organisasi) dibangun dan dipelihara dalam kerangka organisasi agar setiap orang meningkat keimanannya.

Upaya meningkatkan ilmu antara lain membangun iklim pembelajaran, mendorong orang suka membaca, mencegah banyak omong, disiplin, kerja keras, kerja dengan fokus, bekerja secara tim, menyediakan buku atau media belajar, membangun majelis ilmu dan sharing keilmuan,  dan memastikan jenjang karier berdasarkan keilmuan.  Hal ini juga dilakukan dengan membangun sistem kelembagaan dan kehidupan organisasi, sehingga menjadi budaya organisasi yang menyukai ilmu, paik ilmu manajemen, teknik maupun sosial.  Peraturan (aspek substansi) perihal ilmu dan inovasi, pembagian tugas (struktur) sesuai kaidah ilmu dan pengendalian (budaya organisasi) atau kediusiplinan dibangun dan dipelihara dalam kerangka organisasi agar setiap orang meningkat keilmuannya.

Kita ikuti teladan kepemimpinan  Rasulullah. Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah (QS Al Ahzab: 21). Sesungguhnya telah ada pada diri Rasul itu suri teladan yg baik bagimu.

Lembah Panderman, 6 Maret 2015

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *