Oleh :

M. Ramadhana Alfaris, M.Si

Jika menoleh ke belakang, pasalnya hak angket tersebut muncul pada sistem pemerinthan parlementer, kemudian hidup kembali ketika Gus Dur menjadi presiden, di mana pada saat itu terjadi gonjang-ganjing dinamika pemerintahan, oleh karenanya amandemen konstitusi memasukkan hak angket tersebut. Dalam artian, karena sudah dimasukkan ke dalam konstitusi walaupun ini termasuk instrument parlementer maka dengan demikian masuk ke dalam presidensil yang sesungguhnya fungsi hak tersebut untuk mengawasi eksekutif. Secara umum, seperti yang telah diketahui bahwa DPR memiliki fungsi pengawasan, budgeting, dan legislasi. Jika pengawasan tersebut mengalami kendala, dengan demikian DPR bisa menggunakan hak yang luar biasa yaitu hak angket tersebut. Di mana telah diketahui bahwa kekuatan hak angket tersebut bisa memanggil paksa sejumlah pihak, kemudian di sisi lain hak angket juga memiliki privilese tertentu.

Berangkat dari hal tersebut, problematikanya adalah ketika mendefinisikannya sebagai pengawasan terhadap eksekutif, sesungguhnya hal tersebut menjadi tidak terpadu. Dalam artian KPK di sini merupakan ranah penegakkan hukum (law enforcement). Jikalau memang KPK bertindak sewenang-wenang maka jalurnya bisa menggunakan pengadilan, misalnya seperti pra peradilan yang sekarang ini pintunya semakin luas. Senada dengan hal tersebut sebanarnya secara jelas dikatakan bahwa hak tersebut adalah hak untuk mengawasi eksekutif, akan tetapi ketika diinterpretasikan memang sangat luas, seperti terhadap pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang bersifat strategis yang kemudian berdampak luas bagi masyarakat. Perlu disinyalir juga bahwa filosofi dari pengawasan itu sesungguhnya pengawasan terhadap cabang kekuasaan Negara. Kalau terhadap penegak hukum seperti KPK maka sesungguhnya ada jalurnya tersendiri di mana bertujuan untuk mengontrol kinerja KPK itu sendiri.

Namun, ketika sudah berada dalam ranah implementasinya kerap terjadi kesalahkaprahan, seperti misalnya pansus angket pelindo. Dalam hal ini mengingat bahwa Pelindo adalah BUMN dan pernah diangketkan kemudian sekarang KPK pun diangketkan juga. Dapat dikatakan hak angket tersebut masih simpang siur atau belum terperinci. Seyogianya hak angket tersebut diatur secara detail dan terarah, dengan kata lain hak angket tersebut bisa digunakan dalam suatu kondisi tertentu dan kepada siapa hak angket tersebut dapat ditujukan.

Sisi lainnya lagi ialah ketika DPR sudah menyalahi prosedur putusan sidang paripurna tempo lalu. Ketukan palu persetujuan hak angket yang telah dilakukan tanpa memperhitungkan jumlah anggota yang setuju dan tidak setuju. Padahal dari penolakan dan aksi walkout yang dilakukan oleh sebagian anggota DPR menunjukkan bahwa ada yang tidak setuju dengan hak angket tersebut. Oleh karenanya, mekanisme putusan pada saat sidang paripurna tersebut dinilai cacat hukum, di mana DPR tidak dapat bersinergi satu dengan lainnya dan menggunakan afektif dalam keputusannya bukan dengan kesadaran yang objektif.

Dewasa ini KPK tengah menangani kasus-kasus besar, salah satunya ialah kasus korupsi e-KTP yang saat ini masih berada dalam proses penyelidikan. Di mana dengan adanya kasus e-KTP tersebut telah merugikan Negara sampai Rp 2,3 triliun dari anggaran Rp 5,9 triliun. Pada kasus ini Novel baswedan merupakan penyidik KPK yang tengah menangani kasus e-KTP tersebut yang pada akhirnya dilansir terdapat insiden penyerangan terhadap Novel Baswedan, yakni penyiraman air keras di area wajah yang mengakibatkan cedera pada mata. Senada dengan hal tersebut, KPK tengah menjadikan politisi partai Hanura, Miryam S. Haryani sebagai saksi kunci untuk membongkar pemufakatan jahat dan pesta korupsi proyek e-KTP. Kemudian disinyalir dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahwa Miryam secara gamblang membeberkan nama-nama politisi DPR yang ikut andil dalam korupsi e-KTP tersebut.

Jka menilik dan mengamati lebih jauh, kontras terlihat kepanikan DPR dalam kasus e-KTP ini di mana yang pertama kali diserang ialah penyidik KPK yakni mencederai area wajah Novel baswedan yang tujuannya merusak mata hingga buta. Karena mata merupakan organ tubuh yang utama dalam konteks penyidikan agar tidak dapat melihat dan memperoleh data yang komprehensif dalam penyidikan yang dilakukan oleh KPK. Selanjutnya, KPK menjadikan Miryam sebagai saksi kunci yang memiliki banyak informasi yang akurat terkait kasus e-KTP, hal tersebut menimbulkan suatu tindakan banyak ancaman teror yang dilontarkan kepada Miryam. Karena Miryam berjenis kelamin perempuan, maka tindakan yang muncul ialah lontaran ancaman teror terhadap Miryam. Dapat dikatakan tindakan tersebut bertujuan untuk menyerang psikis dan kesadaran objektifnya agar membungkam selama proses penyidikan berlangsung.

Berangkat dari hal tersebut, selanjutnya pihak DPR mengkoar-koarkan hak angket yang ditujukan kepada KPK dengan dalih bahwa KPK tidak professional dalam kinerjanya karena tidak membuka hasil rekamannya. Kendati demikian, meskipun hak angket tetap bergulir, KPK masih bisa menolak untuk membuka hasil penyidikan lantaran kerahasiaan dokumen yang dimiliki KPK dilindungi oleh UU tentang keterbukaan informasi public pengecualian. Dalam artian, jika ada data yang memang dikaitkan dengan proses penyidikan, bisa saja tidak dibuka ke public meskipun diminta oleh hak angket DPR sekalipun.

Tindakan-tindakan tersebut dapat dikatakan bahwa DPR mencari celah untuk melemahkan KPK dengan cara memanfaatkan hak angket (hukum) dalam rangka melindungi oknum partai di DPR yang ikut terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Pasalnya, pihak DPR harus berhati-hati dalam konteks hak angket tersebut, konsekuensinya adalah tidak ada proses pemilihan umum terhadap partai politik yang bersangkutan.

Upaya-upaya yang kerap dilakukan oleh DPR sebanarnya akan menjadi senjata makan tuan, di mana stigmatisasi masyarakat akan terus berdatangan kepada DPR pada umumnya dan khususnya kepada partai politik karena tindakan yang telah dilakukan merupakan suatu kegagalan dalam berpolitik. Partai politik di DPR sudah mulai kehilangan modal politik yang sifatnya simbolik di mana besaran legitimasi, reputasi, dan tingkat penghormatan (respect) yang diperoleh tidak seimbang oleh aktor politik akibat tindakan-tindakan politik yang cenderung stokastik negatif.

Sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *